KEBANGGAANNYA KEPADA PESANTREN

Tak cuma sulit menandingi bagaimana Yai Ka’ mentasharrufkan energi, potensi, waktu dan kehidupannya untuk mendidik para santri. Namun juga kecintaan dan sekaligus kebanggaannya begitu kuat kepada pesantren yang bisa disaingi dan ini yang patut untuk ditelusuri. Rasanya, menarik menyandingkan potret Yai yang seperti itu dengan yang dinarasikan oleh ayahanda menteri agama yang sekarang, H Lukman Saifuddin. Coba simak atau diingat ingat testimoni KH Saifuddin Zuhri lewat tulisannya, “Berangkat Dari Pesantren” dan “Guruku Orang Orang Pesantren”.

Lihatlah, fenomena santri santri belakangan ini. Entah ini lantaran salah motivasi, keberangkatannya ke pesantren dihardik orang tuannya atau tak rajin membaca sejarah pesantren, tak jarang dijumpai santri yang dililit patologi tak percaya diri atau rendiri. Justru eksistensi dirinya sebagai santri dan tengah menggembleng dirinya di kawah condrodimuko pesantren ditutup tutupi. Bahkan–ada yang seolah meminjam ajaran “taqiyah dari Syi’ah” mengenai kebolehan menyembunyikan identitasnya–tak mengaku berpendidikan di pesantren saat di mana sekolahnya.

Sebagaimana kiai pesantren terdahulu–menarik pula menyimak sejarah bagaimana KH Wahab Hasbullah yang mau kalah ketangkasan politik dengan Soekarno–Yai Ka’ mengajarkan kebanggaannya kepada pesantren.Bila melecut semangat belajar habis-habisan, muthalaah tak kenal lelah dan riyadhah-pun tak ditanggalkan, produk pesantren mempunyai banyak kelebihan dan keunggulan. Kiai Wahab Hasbullah, kiai Bisri Syansuri, kiai Wahid Hasyim, kiai Saifuddin Zuhri, Gus Dur, Yai Ka’–untuk menyebut sebagiannya saja–adalah contoh yang terbaik dalam etalase sejarah pesantren. Dus, tak ada nalar yang membenarkan bagi santri tak bangga dengan pesantren, melainkan rendah diri hinggap karena ketak mengertiannya ihfwal pesantren. (cholidy ibhar, alumni Tebuireng, dosen IAINU kebumen)

 

Majalah Tebuireng