BUNYI KNALPOTNYA SAJA BERKHARISMA

Ungkapan berlebihan ya ? Tidak. Dari kejauhan raungan knalpotnya motor Yai Ka’ terdengar begitu beda dan terbayang sosok si empunya atau pengendarainya. Jangankan santrinya, orang lain yang bertetangga dengan pondok menghapali motor, knaplpot dan tentu saja pemiliknya. Kiai yang yang alim, berkulit bersih, tampan, fashionable, meski kurus.

Soal kharisma inilah yang perlu distabilo dan hendak diurai di sini. Tentu, tak ada yang menampik Yai Ka’ disebut kiai kharismatik. Meski terminologi kharismatik yang berbeda dengan konsep yang diperkenalkan oleh Ann Ruth Wilner, Doorothy dan Marx Weber.

Yai ka’ dikagumi, memiliki magnet yang magis, banyak penggemar, pengikutnya berbaris pajang, titahnya “digugu dan ditiru” dan banyak santri berusaha mengfoto copy laku-nya. Kaharis yang menyebul dari pribadi Yai Ka’ terlahir dari “keindahan” kepribadian beliau yang memadukan kealiman, integritas, kebapakan dan keteladanan.

Sifat sifat inilah yang memancar dan menjadi karakter Yai Ka’ yang kuat dan nemiliki garis demarkasi dengan lainnya. Trademark itulah menjadi pembeda dan kekhasannya. Menjadi tak mudah menyamai tipologi Yai Ka’, karena kharisma merupakan “keindahan pribadi” yang muncul dari personality dan tidak bisa melaui rekayasa.

Majalah Tebuireng

Pribadi kharismatik itu–meminjam teologi jabariyah– takdir, given dan di luar jalur ikhtiar. Boleh jadi, ada yang menyamai kealiman Yai Ka’, namun kharismanya tidak bisa disamai dan apalagi hendak mengunggulinya. Lha, wong suara knalpot motor Yai Ka’ saja memiliki charisma. (cholidy ibhar, alumni Tebuireng, dosen IAINU kebumen)