MENCAMBUK SANTRI INSTAN

Bagaimana mungkin “tafaqquh fi al-din” bila menjadi santri sekedar “ngicipi” dan numpang lewat. Di antara karakter ulama al-salaf al-shalih terdahulu adalah mufafir ilmu, dahaga yang tiada tara terhadap ilmu. Tak ditemui dalam biografi mereka, berguru dan belajar pada sedigit guru dan dan terbatas di satu wilayah. Tak cuma puluhan, bahkan berguru kepada ratusan msyayikh. Itu juga ditunjukkan oleh kiai kiai di masa lalu. Tidak cukup keliling di berbagai pesantren dalam negeri, namun hingga ke mancanegara. Adalah menarik, syech Cholil Bangkalan, tak merasa malu dan risih, mengaji kepada muridnya. Beliau mengikuti khataman shahih Buchari dan Muslim di pesantren pada bulan ramadhan yang dibaca hadratusy syech Hasyim Asy’ari. Amboi, mana ada sekarang ini, kendati dijumpai mantan muridnya yang sangat alim, kiai yang mengaji kepada muridnya. Tentulah, dibalut rasa gengsi dan malu. Ini sekedar menunjuk semangat nyantri, spirit belajar yang “thul al-zaman” di masa lalu yang luar biasa. Ini pula, sebagaimana dipesankan oleh al-Zarnuji dalam panduan etika studi yang menjadi kode etik santri belajar di pesantren,Ta’lim al-Mut’allim. Belakangan arus utama budaya yang muncul serba instan, kilat dan maunya bak lampu aladin. Nyantri tiga tahun sudah dianggap lama. Baru nyatri di satu pesantren dan satu kiai, telah berpuas diri. Memanglah–semoga bukan sosok yang terakhir–membaca buku Yai Ka’ sekaligus tak ubahnya santri melecut diri sendiri. Membaca kecintaan Yai Ka’ kepada ilmu, bagi santri merupakan kritik diri dan mencambuk semangat dan “ngecas” gairah mencari dan sekaligus mencintai ilmu yang tak pernah berujung batasnya. Meski, sulit meniru Yai Ka’ yang rela melajang demi kecintaannya kepada ilmu dan berkhidmat kepada pesantren Tebuireng. Padahal, Yai Ka’ beritba’ kepada sejumlah ulama besar sebelumnya. Sebutlah misalnya, Yunus ibn Hubaib al-Mishri, Bisyr al-Hafi, Ibnu Jarir al-Thabari, Abu Bakar ibn Anbari, Abu Ali al-Farisi, Abu Ali al-Jufni, Abu Sari al-Kufi, Abu Nashr al-Sajzi, Abu Said al-Samman al-Razi, Ibn al Kasyaf al-Baghdadi, Abu Nashuhuddin al-Hambali, Imam Nawawi al-Muhaddits, Ibnu Taimyah dst. Bahkan, Imam ibn Hambal melukiskan kelajangan Bisyr al-Hafi dengan mengatakan, “Bisyr seperti itu, ahli ibadah, zuhud dan wara’, lantaran dia hidup melajang”. Masya Allah. Allah a’lam bi al-shawab. (cholidy ibhar, Alumni Tebuireng, Dosen IAINU kebumen)

 

Majalah Tebuireng