Zahara Luthfiyani, Ketua KOPRI PMII Hasyim Asy’ari memberikan penghargaan kepada Nyai. HJ. Farida Salahudin seusai acara Dialog Publik SIG PMII, Rabu (29/11/17). (Foto: Nurul)

Tebuireng.online- Dalam rangka melaksanakan kegiatan Sekolah Islam dan Gender (SIG), PMII Hasyim Asy’ari menghadirkan Nyai. HJ. Farida Salahudin sebagai pemateri dalam dialog publik, di Gedung Muslimat Jombang, Rabu (29/11/17) yang merupakan hari pertama dilaksanakannya SIG.

Dalam hal ini diketahui bahwa Nyai. HJ. Farida Salahudin juga ikut dalam rapat pembentukan PMII bersama 13 tokoh lainnya di Jakarta tempo dulu. Beliau yang sudah menjadi aktivis sejak muda dianggap tepat sebagai pemateri pada dialog publik SIG bersama Nyai Fauziyah.

Isu gender menjadi hal sangat menarik untuk didiskusikan. Diskusi ini dibungkus dalam wadah dialog publik yang mana Nyai Farida Salahudin dan Nyai Fauziyah adalah pematerinya.

“Sepanjang kita memahami Islam dengan baik dan mendalam, maka tidak akan ada pemikiran tentang ketimpangan antara laki-laki dan perempuan, yang ada hanyalah pembagian tugas (hak dan kewajiban). Nggak usah capek-capek memikirkan gender. Tinggal kamu pelajari saja Islam mulai dari hadits, akidah, sampai fikih. Tidak ada di dalam Islam yang namanya menerlantarkan perempuan,” ungkap Nyai Fauziyah.

Menurutnya gender sudah ada implementasinya sejak zaman kenabian. Dibuktikan dengan Aisyah yang menjadi sumber kedua dalam periwayatan hadits setelah Abu Hurairoh. Ini merupakan sesuatu yang luar biasa, perkataan seorang perempuan yang dipakai di dunia ini selama berabad-abad sebagai sumber rujukan hadits umat Islam.

Majalah Tebuireng

Dalam dialog publik itu, Nyai Farida juga menceritakan bahwa tanpa disadari Ayah beliau sudah mengajarkan gender dalam lingkungan keluarganya. Ini dibuktikan dengan penyamarataan tugas kepada anak laki-laki maupun perempuan, seperti mencuci, mengepel, belanja, dan lain sebagainya.

Dalam ceritanya, Ayah Nyai Farida juga mewajibkan semua anaknya untuk belajar mengendarai mobil dan itu diawali dengan mencuci mobil, mengecek oli, dan radiator setelah itu baru diizinkan untuk belajar menyetir.

“Secara tidak langsung Ayah saya mengajarkan gender, tanpa koar-koar,” tegasnya.

Sekarang ini, lanjut Nyai Farida, yang harus digelisahkan adalah peran perempuan dalam kehidupan dan yang paling penting adalah dalam membina anak. Orang yang mampu membina masyarakat, belum tentu dapat membina anaknya dengan baik. Saat perempuan membina anak, tidak lain perempuan itu juga sedang membina masyarakat.

“Masyarakat yang baik pasti berasal dari orang tua yang cara mendidiknya baik pula.” Tandas Istri Pengasuh Pesantren Tebuireng itu.


Pewarta: Nurul Fajriyah

Editor/Publisher: Rara Zarary