Oleh: Minahul Asna*

Imam as-Syafi`i radhiyallahu’anhu berkata: “Tidak akan bahagia orang yang mencari ilmu disertai tinggi hati dan kemewahan hidup. Tetapi yang berbahagia adalah orang yang mencari ilmu disertai rendah hati, kesulitan hidup dan khidmah pada ulama”.

Maqolah tersebut dikutip oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab beliau Adabul Alim wal Muta’allim pada bab adab seorang santri. Beliau menyampaikan betapa indahnya hidup seorang santri yang mana senantiasa bahagia meski dengan menerima apa adanya (neriman).

Konsep neriman atau qana’ah ini, diterangkan oleh Kiai Hasyim Asy’ari dalam kitabnya, akan mendatangkan ilmu yang luas, kefokusan hati dari angan-angan yang bermacam-macam dan hikmah-hikmah yang terpancar dari sumbernya. Dengan begitu seorang santri yang mengamalkan neriman akan mudah dalam menerima ilmu.

Maqolah Imam Syafi’i bukanlah sebuah keharusan di mana santri harus hidup serba kesulitan dan serba kekurangan. Namun seorang santri harus siap menghadapi semua rintangan dalam hidup dan tidak berharap balasan, ikhlas semata karena Allah, lillahi ta’ala.

Majalah Tebuireng

Falsasah ungkapan Narima ing Pandum diartikan oleh masyarakat Jawa sebagai sikap penerimaan secara penuh terhadap berbagai kejadian pada masa lalu, masa sekarang, serta segala kemungkinan yang bisa terjadi pada masa yang akan datang. Hal ini merupakan upaya untuk mengurangi kekecewaan apabila yang terjadi kemudian ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Falsafah itu mengungkapkan rasa syukur namun setelah ikhtiar.

Konsep ini sering disalahartikan, sehingga banyak alumni-alumni pesantren yang terlalu neriman sehingga tidak ada perkembangan dalam hidupnya. Ada 3 hal kenapa seorang santri tidak boleh terlalu neriman.

Pertama, terkait Rukun Islam. Ada syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji. Hanya syahadat yang tidak memerlukan dukungan finansial. Shalat perlu mengenakan pakaian, bagaimana kita bisa menghadap sang Pencipta jika kita tidak berpakaian yang layak, hal ini perlu dukungan finansial. Apalagi puasa, zakat, dan haji, tentu perlu.

Kedua, ada hadits Nabi Muhammad SAW., yang berbunyi, “Tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah.” Ketika kita melihat hadits ini, betapa mulianya seorang alim mengajarkan ilmu kepada santri-santrinya yang juga sekaligus kaya raya hingga bisa bersedekah, terlepas ada kewajiban zakat pula.

Ketiga, periodisasi hidup Rasulullah SAW. sendiri. Sejak bayi hingga 12 tahun hidup sebagai kanak-kanak. Kemudian, pada usia 12 tahun Nabi SAW., ikut pamannya berniaga ke Suriah. Bakat dagang beliau SAW., mulai dipupuk sejak dini. Maka pada usia 17 tahun, Rasulullah SAW., mendirikan perusahaan sendiri dalam bidang distribusi. Salah satu pelanggan beliau SAW., adalah Khadijah, yang kelak melamarnya dan menjadi istri pertama Nabi SAW.

Mahar atau Mas kawin Nabi SAW., adalah 20 ekor unta merah, yang merupakan jenis unta terbaik. Jika kejadian itu sekarang mungkin setara dengan 20 mobil mewah keluaranaterbaru. Menginjak usia 37 tahun, Nabi SAW menjadi saudagar yang kaya raya. Dalam masa itu, beliau SAW melakukan uzlah karena hatinya gelisah melihat kondisi jahiliyah lingkungannya.

Pada usia 40 tahun, beliau SAW., menerima wahyu pertama dari Allah. Sejak saat itu, ia berjuang menyampaikan risalah Islam. Akhirnya, Nabi Muhammad SAW., wafat dalam usia 63 tahun.  Jika kita lihat perbandingan masa pedagang dan masa nubuwah jelas lebih banyak selisih 27 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kekayaan bisa menjadi salah satu pendukung dalam dakwah kita.

Wallahu A’lam


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari