sumber gambar: Denaihati

Nafas Impian

Oleh: Azminatul Alfay Rohmah*

Aku adalah anak-anak manusia yang mencari celah kedamaian untuk hidup lebih tenang mengenal Tuhan.

Dentuman rudal dan kilatan cahaya memenuhi langit malam Gaza. Hal itu sudah menjadi pemandangan sehari-hari bagi kami. Warga jalur Gaza. Malam ini adalah malam kesekian, tentara Zionis Israel menyerang kami. Gencatan senjata hanya berlangsung tiga hari, setelah itu rudal-rudal kembali berterbangan dan menghancurkan rumah, masjid, sekolah atau apa saja yang dihinggapinya.

Aku mengintip dari balik jendela kamarku, menyaksikan ledakan-ledakan itu hampir tiap waktu. Aku benci mereka. Merekalah yang selama ini senang akan segala penderitaan kami, mereka itu kaum yang Allah kutuk dan murkai. Aku membenci mereka dengan sejuta alasanku. Aku berjanji pada diriku, bahwa suatu saat nanti aku akan membalas perbuatan mereka.

Majalah Tebuireng

“Youssef, kau belum tidur Nak?” suara ibu mengagetkanku.

“Belum Bu,” jawabku singkat. Mataku menatap nanar langit malam.

“Tidurlah Nak, besok kau harus sekolah,” ucap ibu lembut.

“Bu, apakah perdamaian tidak akan pernah tercipta?” tanyaku pada Ibu, mengabaikan perintahnya barusan.

“Kedamaian pasti tercipta Nak, tapi…” kalimat Ibu menggantung.

“Tapi entah kapan,” sambungnya.  Ibu memelukku dan aku balas memeluknya. Saat aku merasa gelisah, pelukan ibu adalah tempat yang paling nyaman bagiku.

“Tidurlah Youssef,” perintah Ibu sekali lagi. Aku menganguk pelan. Ibu menyelimutiku seraya mengecup lembut keningku.

Aku menatap punggung wanita berkerudung lebar itu melangkah keluar kamarku. Semenjak kepergian ayah, ibu harus berjuang seorang diri menghidupi aku dan Fatimah Adikku yang masih berusia 5 tahun. Ya, Ayahku telah meninggal 2 tahun lalu. Zionis itu, siapa lagi kalau bukan mereka yang menyebabkan kepergian Ayahku. Ayahku adalah petugas rumah sakit terbesar di Gaza City. Suatu hari, tentara-tentara Israel menjatuhkan bom di rumah sakit itu. Ayahku telah menanamkan semangat jihad sejak aku berusia 4 tahun. Beliau mengajari agar aku menjadi anak yang tegar dan tidak cengeng. Beliau juga yang setiap pagi menyimak hafalanku.

“Aku rindu Ayah,” tak terasa air mataku menetes mengiringi mimpiku. Mimpi tentang kedamaian yang mungkin seluruh penduduk Gaza malam ini juga bermimpi hal yang sama.

Selepas Isya, aku pulang bersama teman-teman. Di tengah perjalanan, tiba-tiba rudal melintas dan hinggap di salah satu pusat perbelanjaan. Hancur. Aku melihat kejadian itu tepat di depan mataku. Kepanikan terjadi, orang-orang berlarian meninggalkan lokasi.

“Lari Youssef!” teriak teman-teman panik.

Aku masih berdiri tercengang, sesak melihat kejadian itu. Namun aku tidak sendiri, Anwar dan Ismail masih berdiri di sampingku. Tiga ambulan datang ke tempat lokasi, beberapa relawan, dan tentara HAMAS mengevakuasi korban. Ismail menggenggam erat tanganku, sementara Anwar matanya berkaca-kaca melihat beberapa korban diangkat tandu. Kondisi mereka mengenaskan. Dua korban kehilangan separuh tubuh mereka dan anak-anak menangis kehilangan orang tuanya.

“Aku benci Zionis itu” gumamku pelan.

***

“Kita harus melakukan intifadha[1]tegasku pada Ismail dan Anwar. “Aku lelah melihat penderitaan Gaza” sambungku.

“Bisakah kita melakukan itu?” tanya Anwar ragu-ragu.

“Kita pasti bisa asalkan kita bersatu dan bersungguh-sungguh” sahut Ismail berapi-api. Ini adalah puncak kebencianku pada tentara laknat itu.

Kemarin sore, saat aku pulang sekolah, tujuh tentara menghadang kami di tengah jalan. Mereka menggeledah tas kami, entah apa yang mereka cari. Setelah tidak menemukan barang yang mereka inginkan, salah satu tentara memukul Ismail yang mencoba berteriak melawan dengan senjata laras panjang. Aku sungguh tidak bisa berbuat apa-apa saat itu. Tiga tentara menodongkan pistol padaku dan Anwar, mereka mengancam akan menarik pelatuk pistol itu jika aku melawan. Sementara tentara yang lain tertawa melihat kami.

***

“Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan  maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui[2].

Air mataku menetes kala mendengar ayat itu. Semangat jihadku semakin berkobar, begitu juga dengan kedua sahabatku. Kami tidak lagi takut dengan tentara-tentara itu. Kami tidak takut jika akhirnya kami harus kehilangan nyawa, karena orang yang meninggal saat berjihad di jalan Allah sesungguhnya mati dalam keadaan syahid. Mati syahid adalah cita-cita tertinggi kami.

“Kapan kita akan berangkat?”  Tanya Ismail membuyarkan lamunanku.

“Lusa” jawabku singkat.

Kulihat ibu dan Fatimah sedang terlelap, aku tak tega membangunkan mereka untuk berpamitan. Ku menatap wajah ibu dan adikkku lekat-lekat. Aku ingin sekali memeluk erat ibu karena rasa takut tiba-tiba menyergap hatiku, tapi dengan segera ku tepis perasaan itu. Ku putuskan untuk menulis sepucuk surat untuk ibu. Dengan air mata berlinang, kutuliskan kata demi kata di atas kertas. Aku harap setelah ibu membaca surat itu, ibu tidak akan marah dan tetap mendoakanku.

***

Ketika terbangun aku sudah berada di dalam suatu ruangan. Ruangan yang gelap, pengap, dan ada besi-besi penghalang yang menghalangiku untuk keluar.

“Kau baik-baik saja?” tanya seorang pemuda padaku. Wajah pemuda itu tampan dan usianya kira-kira 20 tahun.

“Alhamdulillah kak. Kakak ini siapa?”.

“Aku Fathi, dan siapa namamu?” kakak itu balik menanyaiku.

“Aku Youssef”.

Sejenak aku merasa nyaman dengan Kak Fathi. Kak Fathi adalah tentara HAMAS. Ia bercerita panjang lebar tentang penangkapannya dan sahabatnya yang dibunuh tepat di depan mata. Sahabat? Astaghfirullah hal ‘adzim di mana mereka? Apa yang terjadi pada mereka?.

“Di mana Anwar dan Ismail?” aku panik. Aku baru menyadari kalau kedua sahabatku tidak lagi di sisiku.

“Kenapa? Apa yang terjadi?” tanya Kak Fathi kebingungan.

“Sahabatku. Aku tidak sendiri. Di mana Anwar dan Ismail?” aku takut terjadi apa-apa dengan mereka.

“Sabarlah Youssef, berdoalah pada Allah agar sahabatmu dilindungi” Kak Fathi menenangkanku.

Aku terus berteriak memanggil nama Anwar dan Ismail. Aku menyumpah tentara-tentara itu. Seorang tentara datang dengan muka merah padam, dia sangat marah dan mengancam akan menyiksaku jika aku terus berteriak. Aku tidak peduli, tanganku mencoba menggapai tentara itu meski jeruji besi menghalangiku. Tentara itu

mengeluarkan cambuk dan mendaratkan cambuknya di tanganku dengan keras. Splaassh..! Tak hanya sekali, tiga kali cambuk itu melukaiku dan membuat kulit tanganku sobek. Aku menangis.

Aku merasa itu semua hanya mimpi. Ketika aku membuka mata, kulihat sosok mungil terbujur dengan tubuh penuh darah. Sosok itu sangat mirip denganku. Siapa dia?

Kulihat Ustadz Fathi menangis dan memeluk tubuh itu. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Ustadz Fathi menangis?

“Ustadz Fathi jangan menangis. Aku di sini, lihatlah aku,” aku meneriakinya. Aku mencoba menggapai tangannya, tapi aku tak bisa. Berkali-kali aku berteriak memanggil Ustadz Fathi, tapi tak ada yang mendengarku. Si Penyiksa dan rekannya bahkan tertawa puas dan mengejek Ustadz Fathi yang menangis tersedu.

“Apa yang sedang terjadi Ustadz? Siapa yang kau peluk itu? Apa yang sebenarnya terjadi?” ucapku lirih. Aku baru menyadari apa yang sedang terjadi. Tubuh mungil yang tak berdaya, tubuh mungil penuh darah itu, tak lain adalah AKU!

Dingin kematian mulai merambatiku. Aku melihat dua cahaya indah mendekat, aku gemetar saat cahaya itu semakin dekat. Namun, aku merasa nyaman dan aman saat cahaya itu di depan mata.

“Tempatmu bukan disana lagi Nak, dunia yang fana tak lagi tempatmu. Ikutlah denganku ke tempat terindah dan kekal yang diimpikan setiap orang di dunia,” ucap cahaya itu sayup-sayup.

Mataku berbinar mendengarnya, “Benarkah aku akan mendapatkan tempat itu?”

“Ya, bersama Rasulullah, para syuhada, sahabat, dan juga ayahmu, kau akan mendapatkan kenyamanan dan kedamaian yang selama ini kau impikan. Kemarilah, Jannah Firdaus telah menantimu”.

Cahaya itu menghilang. Kini di depan mataku, tempat paling indah yang menjadi impian setiap mukmin. Sungai-sungai mengalir di dalamnya, burung-burung berkicau dengan merdu, sebuah keindahan yang tak dapat dilukiskan siapa pun. Di tempat itu, aku bersanding dan dipeluk ayah yang selama ini kurindukan. Akhirnya aku mendapatkan kedamaian dan kenyamanan yang selama ini ku impikan bersama para syuhada dan sahabatku.  Terima kasih untuk surgaMu ya Rabb.

[1] Perlawanan tanpa senjata, biasanya hanya menggunakan batu.

[2] Q.S. At-Taubah : 41


Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Walisongo sekaligus Siswa MA Perguruan Muallimat

*Cerpen ini pernah dimuat di majalah Uswah Walisongo