Imam Subhi[1]

Bulan Juli tahun 2015, merupakan hari penting bagi dunia pendidikan di Indonesia, karena tanggal tersebut adalah awal tahun ajaran baru 2015-2016. Setiap sekolah atau madrasah tentu ingin memberi sambutan yang baik terhadap peserta didik, sehingga hari pertama harus memberikan kesan tersendiri dan peserta didik baru merasa senang, nyaman belajar di sekolah/ madrasah yang dipilih. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan menyongsong tahun ajaran baru khusus pesarta didik baru yakni Masa Orientasi Peserta Didik Baru (MOPDB) atau yang lebih akrab disebut Masa Orientasi Siswa (MOS).

Tujuan MOS sesungguhnya telah diatur dalam permendiknas Nomor: 55 tahun 2014, pasal 2, tentang masa orientasi peserta didik bertujuan  untuk mengenalkan program sekolah, lingkungan sekolah, cara belajar, penanaman konsep pengenalan diri peserta didik, dan kepramukaan sebagai pembinaan awal ke arah terbentuknya kultur sekolah yang kondusif bagi proses pembelajaran lebih lanjut sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Bentuk kegiatannya mulai dari perkenalan antar siswa, siswa dengan guru, dan pengenalan kegiatan-kegiatan di sekolah/ madrasah, baik yangbersifat wajib maupun pilihan seperti eksrakurikuler.

Namun, di balik kegiatan positif tersebut, ternyata secara perlahan MOS bergeser menjadi ajang perpeloncoan. Yang lebih miris lagi, sebagai arena balas dendam sang senior (kakak kelas/Panitia MOS) kepada juniornya (siswa baru), indikasinya bisa dilihat dari beragam kegiatan-kegiatan yang tidak ada korelasinya dengan pendidikan, hingga peserta diwajibkan mengenakan atribut aneh-aneh, memberatkan siswa, memalukan, tidak nyambung dengan tujuan MOS, dan yang lebih aneh itu semua dilakukan atas nama kreatifititas dan latihan disiplin mental.

Kebijakan Mendiknas Anis Baswedan sudah tepat dengan memberikan larangan melalui surat edaran nomor 59389/mpk/pd/tahun 2015, tentang “Pencegahan Praktik Perpeloncoan, Pelecehan dan Kekerasan Pada Masa Orientasi Peserta Didik Baru di Sekolah”. Akan tetapi keputusan tersebut dianggap angin lalu saja, buktinya masih ada sekolah yang masih membandel. Salah satu bukti nyata ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan, melakukan kunjungannya ke SMKN 4 Tangerang Rabu (29/07/2015). Dia geram ketika melihat para siswa baru dipelonco dengan dipaksa memakai pakaian aneh-aneh layaknya badut. Anies pun langsung meminta semua atribut aneh itu dicopot. “Penyebab terjadinya kejahatan karena penyalahgunaan wewenang, bukan karena banyaknya kesempatan, tetapi karena diam dan mendiamkan,” kata Anies.

Majalah Tebuireng

Saat itu, para siswa baru di sekolah itu diharuskan untuk mengenakan kaos kaki warna warni dengan tali sepatu dari rafia, mengenakan pita rambut warna-warni, serta membawa papan nama dari kardus dan tas dari karung goni. Ketika dikonfirmasi pada panitia MOS (OSIS), Guru dan Kepala sekolah jawabanya kompak melatih disiplin mental dan kreatifitas.  Menurut penulis ini perlu diklarifikasi pemahaman yang salah kaprah mengenai kreatifitas dan disiplin mental.

Secara teori kata “kreatifitas”, menurut Utami Munandar (1995:25) adalah suatu kemampuan umum untuk menciptakan sesuatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya. Kata kuncinya  adalah karya baru, pemecahan masalah dan nilai manfaat.  Bagaiamana dengan tindakan-tindakan perpeloncoan diatas, apakah itu bentuk kreatifitas? Apakah itu sebuah karya baru? dan Apa manfaat pentingnya bagi siswa? Idealnya jika ingin membentuk jiwa kreatif peserta didik baru, maka berikan pada mereka stimulasi sederhana untuk kreatif, misalnya diperkenalkan dengan karya-karya kegiatan ekstrakuler seperti Pramuka, Kir (karya ilmiah remaja), dll. Dengan demikian maka kreatifitas  diperkenalkan secara nyata, bukan dipaksa untuk mencari dan mengenakan atribut yang nyeleneh.

Disiplin mental dalam teori belajar, disiplin mental diartikan sebagai pengembangan dari kekuatan, kemampuan, dan potensi-potensi yang dimiliki setiap individu. Teori ini menganggap bahwa secara psikologi individu memiliki kekuatan, kemampuan atau potensi-potensi tertentu. Belajar adalah pengembangan dari kekuatan, kemampuan dan potensi-potensi tersebut. Adapun faktanya, seringkali kata mental selalu dipersepsikan dengan kekuatan psikis dalam menanggung malu ketika diharuskan mengenakan atribut nyeleneh. Sekali lagi bahwa untuk membentuk dispilin mental siswa tentu tidak bisa dengan instan atau bim salabim, namun membutuhkan faktor yang sangat kompleks, misalnya internal siswa maupun eksternal siswa, yang harus ditempa secara berkesinambungan bukan sepotong-potong.

Dari ilutrasi diatas, maka secara prinsip bahwa MOPDB/ MOS tetap penting adanya untuk dilaksanakan bagi peserta didik baru, tinggal teknik pelaksanaannya yang perlu mendapat perhatian serius, supaya tujuan inti dari kegiatan tersebut dapat tercapai. Oleh karena itu penulis menawarkan beberapa solusi sebagai upaya penyempurnaan.

Pertama, fihak sekolah yakni kepala sekolah, guru dan OSIS hendaknya berkoordinasi secara intens untuk membahas tujuan dan target  sesungguhnya yang ingin dicapai. Mengagendakan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan target pendidikan, tidak hanya cenderung pada kegiatan yang formil saja, namun lebih mengedepankan subtansi bagi peserta didik baru.

Kedua, bagi fihak Kemendiknas, jika tahun depan masih ada yang terbukti terulang kembali, tindak secara tegas sekolah yang masih mentradisikan perpeloncoan berkedok MOS, karena ini sangat mencoreng martabat pendidikan. Selain itu perlu dibuatkan sejenis buku panduan standar umum, sehingga sekolah tinggal menyesuaikan dengan kultur sekolah masing-masing dalam merancang bentuk-bentuk kegiatan yang akan dilaksanakan.

Ketiga, bagi wali murid hendaknya selalu berkoordinasi dengan fihak sekolah berkaitan dengan segala kegiatan MOS, setidaknya para orang tua memahami aktifitas dan tujuan kegiatan didalamnya. Ini sebagai antisipasi jika si siswa terdapat keterbatasan-keterbatasan yang tidak memungkinkan untuk mengikuti agenda tersebut, maka wali murid bisa mengkoordinasikan dengan fihak sekolah. Dan endingnya jika terjadi hal-hal yang diluar dugaan, semua fihak telah memahami dan tidak saling meyalahkan. Semoga tahun depan pendidikan kita jauh lebih baik dari sekarang. Wallahu a’lam

Bandar lampung, 2 Agustus 2015

[1] Penulis adalah Alumni PP. Tebuireng dan Kini Dosen STIT Pagaralam Sumsel.