sumber ilustrasi: www.google.com

Oleh: Qurratul Adawiyah*

Embun pagi membasahi reranting pepohonan dan dedaunan serta bunga-bunga dengan penuh kedinginan yang merasuk hingga ke sumsum tulangku, suara burung pun dan desiran angin menemani kesendiriaanku. Aku masih mengamati alam sekitar, pemandangan yang terlihat biasa namun menjadi arti yang mendalam bagiku, sebuah pohon yang berdiri di tengah-tengah seakan mengucapkan selamat datang para pencari ilmu. Begitu indah pikirku.

Huhf…. desahku sambil bangkit dari dudukku setelah mengamati suasana indah itu. Jilbab hijau yang ku kenakan masih berbau parfum minyak melati, kesukaanku. Kusandarkan kembali tubuh kurusku di kursi tua yang berada di depan mushalla. Aku sentuh leherku yang agak panas akibat kelelahan. Aku memandang keadaanku sendiri entah berapa lama aku terdiam membisu dalam lamunan. Badanku terasa semakin panas, mataku terasa sakit, kakiku sulit untuk aku gerakkan sekuat mungkin aku berusaha melangkah menuju kamar yang tak jauh dari mushalla dengan langkah tertatih-tatih, aku membuka pintu kamar dengan keras yang tertutup rapat hingga aku jatuh terpental, sakitku semakin bertambah.

Kamar yang penuh dengan kaligrafi dan tertata rapi mulai buram ku pandang, mataku semakin sakit saat ku memaksanya untuk melihat dengan jelas. Selimut dan susunan bantal yang tersusun rapi kuturunkan untuk merebahkan badanku. Kesunyian yang menemaniku dengan penuh kesakitan yang tak jelas penyebabnya semakin menjadi-jadi, tak ada seorang pun yang menemaniku, semua anak-anak kamar keluar mengerjakan piket daerah.

Suara kegirangan dengan tawa yang lepas terdengar di gendang telingaku, keramaian semakin terjadi di segala sudut kamar. Anak-anak kamar mulai berdatangan dengan wajah penuh ceria sambil membawa kertas-kertas yang disimpan dalam map warnah merah. Aku berusaha membuka mulutku yang membisu menanyakan apa yang sebenarnya terjadi namun Dek Lita keburu menceritakannya tanpa aku pinta, aku pun mendengarkannya dengan senyuman. Seketika itu rasa sakitku perlahan menghilang meskipun mataku masih terasa sedikit sakit. Ternyata mereka kegirangan karena mereka dinyatakan LULUS. Sebagian teman-teman sudah menyiapkan semua berkas-berkas untuk persiapan pendaftaran kuliah.

Majalah Tebuireng

Pikiranku sudah mulai menjalar kemana-mana, bayangan demi bayangan berputar di otakku, mataku langsung memandang ke arah jendela kamar yang sudah terbuka sejak tadi pagi, entah karena apa mataku tak lagi terasa sakit. Angin segar menerpa wajahku yang lelah, sesaat aku memandang ke luar melalui jendela, disekitar jendela aku melihat dedaunan kering beterbangan menumpuki atap rumah para tetangga. Sejenak aku berpikir tentang keinginanku untuk masa depanku.

Di situ pun aku merasa bingung antara melanjutkan pendidikanku atau bekerja di pabrik milik saudara sepupuku. Memang aku sadar untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi ke universitas yang terkenal merupakan cita-cita yang mustahil untuk aku gapai, apalagi biaya rumah sakit ibu yang saat ini semakin menumpuk karna tidak memiliki biaya yang cukup untuk melunasinya. Namun Ayah tetap memaksaku untuk melanjutkan pendidikanku dengan penuh keyakinan bahwa ia bisa membiayainya, aku menunduk dan mengatakan, “maaf pak Nafisa tak lagi memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, lebih baik Nafisa bekerja membatu meringankan beban bapak untuk membiayai rumah sakit ibu,” namun perkataan itu tak didengar bapak.

Bapak tak mengizinkanku untuk bekerja. Entahlah kadang aku tak mengerti dengan keputusan bapak, mengapa bapak selalu saja memaksaku untuk kuliah. Padahal sudah benar-benar jelas kondisi keluarga saat ini sangat sulit. Kulihat sosok bapak dengan lekat yang penuh dengan ketegaran tanpa ada beban sedikit pun, aku coba kembali menjelaskan alasanku untuk tidak kuliah namun tetap saja bapak tak mengizinkanku. Hingga akupun menuruti keinginan bapak untuk kuliah. Meskipun sebenarnya terasa berat untuk memenuhi keinginan itu. Mau tidak mau aku harus berangkat besok karna ayah telah menyiapkan segalanya untuk keberangkatanku.

Pagi-pagi sekali aku bangun dan menyiapkan segala sesuatu yang akan aku bawa untuk perjalanku nanti. Lonceng di depan rumahku berbunyi menandakan seseorang yang bapak suruh untuk mengantarku telah siap. Dengan spontan aku langsung bergegas ke luar menemui seseorang tersebut dengan membawa koper yang berisi berbagai kebutuhanku. Tak lupa pula aku mampir kerumah sakit dan berpamitan kepada bapak yang duduk di samping ranjang menemani ibu, sementara ibu masih terbaring lemah, segala aku hapus wajah kesedihanku agar bapak tak melihatnya. Langsung aku ambil tangan bapak untuk aku cium dan berpamitan kepadanya. Sedikit demi sedikit aku langkahkan kakiku untuk meninggalkan mereka. Tetapi Bapak menghentikan langkahku dan berpesan, “jaga dirimu baik-baik nak! Jangan pernah memikirkan keadaan bapak dan ibu di sini, berdoalah agar ibumu cepat sembuh.” Aku tak tahan mendengar pesan bapak. Benih-benih air seketika itu jatuh tanpa kusadari, secepat mungkin aku menghapusnya namun tetap saja benih-benih air mata itu tak bisa aku hentikan. Akupun memaksakan diri untuk menahannya, tetapi itu hanyalah sebuah keinginan yang tak bisa aku lakukan. Dan tak lagi aku lihat sosok bapak yang tengah melihat kepergianku.

Di tengah perjalanan menuju tempat di mana aku akan menggapai impian-impianku untuk bisa membanggakan kedua orang tuaku, aku berusaha melupakan semua kejadian yang begitu membuatku merasa tersiksa jika aku mengingatnya. Aku akan memulai kehidupan baruku dengan penuh kesungguhan. Hari-hariku kini terasa berbeda dan lebih indah dari selumnya meskipun terkadang aku memikirkan sosok ibu yang jauh di sana, namun aku selalu mengelaknya supaya aku lebih fokus pada tujuanku.

Hobi membaca dan menulisku yang telah lama aku tinggalkan kembali aku lakukan itu dengan penuh keseriusan, hingga suatu ketika tulisanku itu membuahkan hasil yang membanggakan dan termuat di media-media sosial. Segera aku ambil ponsel di tas kecilku yang terletak di laci untuk menghubungi bapak dan memberi tahu tentang keberhasilanku. Betapa kecewanya saat melihat kontak hpku tidak tercantum nomor bapak. Aku coba untuk mengingat nomor hp bapak tetapi itu semua hanyalah sia-sia. Aku duduk dan termenung memikirkan bagaimana caranya untuk menghubunngi bapak.

Suara terikan dari jarak yang agak jauh memanggilku akupun menghampirinya ternyata bibiku mengulurkan tangannya dan memberi hpnya bahwa bapak ingin berbicara denganku. Segera aku ambil hp itu di tangan bibi. Syukurlah bapak memberikan kabar dan inilah kesempatanku untuk menceritakan keberhasilanku kepadanya batinku. Alangkah kecewanya saat mendengar perkataan bapak, segera pulanglah karena keadaan ibumu semakin mengkhawatirkan.

Seketika tanganku gemetar mendengar kabar dari bapak tadi, akupun bergegas pergi meninggalkan tempat kosanku. Pikiranku kacau ketika memikirkan keadaan ibu yang semakin parah. Setelah sampai di halte bus aku pun tak sabar untuk masuk ke dalam bus. Ingin rasanya aku segera sampai di rumah namun perjalanan cukup macet hari ini. Sambil berdoa semoga keadaan ibu membaik.

Dua jam kemudian aku sampai di rumah sakit, betapa terkejutnya aku melihat bapak yang terlihat putus asa dan wajah ibu yang sudah pucat dan sudah tak bernafas lagi. Bibirnya sudah membiru dan tubuhnya pun sudah kaku. Aku menjerit dan menangis di dekat bapak. “Pak sebenarnya apa penyakit yang selama ini di derita ibu?” Tanyaku kepada bapak. Dan bapak pun menjawab, “Ibumu terkena penyakit kanker paru-paru nak, dan untuk menyebuhkannya ibu harus dioperasi dengan biaya yang sangat mahal tapi bapak tak memiliki uang sepeser pun untuk membayarnya.”

Jiwaku terasa remuk, beribu-ribu penyesalan yang aku rasakan saat ini. Aku hanya anak yang tak pernah bisa membuat bahagia kedua orang tua, bisanya hanya menyusahkan saja. Seandainya aku bisa memutar kembali waktu. Aku akan memutarnya dan tak akan pernah melakukan apa yang bapak inginkan, namun semua itu sudah terlambat. Tak ada gunanya kusesali semuanya tak akan  pernah kembali lagi, aku harus bangkit,  aku harus sukses.

Kembali aku melangkah dengan langkah pasti, penuh berbagai macam imajinasi yang harus kujalani dengan mesti. Semuanya yang terjadi harus kujadikan sebagai penguat untuk lebih kuat dan maju menjalani hidup. Tantangan demi tantangan aku lewati dengan keikhlasan dan kesabaran seorang diri. Kini waktu menuntutku untuk berproses kembali setelah sekian tahun lamanya aku berdian tanpa tujuan yang mesti.

Kuraih tangan bapak yang sudah keriput dengan tangisan yang tak bisa ku hentikan untuk berpamitan. “Bapak, Nafis berangkat dulu melanjutkan studi Nafis, jangan lupa doanya buat Nafis,” sela tangisku.

“Bapak mengikhlaskan dam meridaimu pergi nak,  pesan bapak jangan pernah berpikir tentang keterbatasan, keterbatasan ada karena kamu yang menciptakan, beranilah bertindak dan mengambil resiko, berproseslah dengan kesungguhan,” dengan tekad yang kuat penuh harap aku melangkahkan kaki dengan cepat meninggalkan bapak yang hanya dapat membuat aku tak ingin kembali berproses.

Tak pernah lepas aku ikuti berbagai kompetisi-kompetisi menulis dan berusaha  untuk bisa memenangkan dalam kompetisi. Dan kini kembali aku ikuti kompetisi menulis se Indonesia, dengan keyakinan dan penuh harap. Aku mulai menulis berbagai tulisan dengan begitu semangat tanpa kata lelah. Usai aku tulis segera aku kirimkan naskah itu lewat email yang telah tercantum dalam brosur.

Tiga hari sudah aku lupakan akan kompetisi se Indonesia itu. Dengan penuh ceria Nisa, teman akrabku mendekatiku dan mengucapkan selamat, aku heran dengan sikap tak jelasnya itu. Tanpa kuminta ia langsung memberitahuku akan makna dibalik wajah cerianya itu, bahwa aku menjadi pemenang dalam kompetisi menulis se Indonesia. Sujud syukur seketika itu kulakukan,

Alhamdulillah usahaku tak sia-sia, sesuai harapan. Kembali kulihat hadiah pemenang kompetisi menulis se Indonesia di brosur yang kini tertempel di dinding kampus sebelah perpustakaan. Tercantum haji gratis bersama keluarga dan pendidikan S2 ke Turki. Tangis penuh bahagia seketika itu tak bisa kugambarkan lewat kata-kata hanya terus berdoa semoga Allah SWT meridai semua prosesku. Secepat mungkin kuambil ponsel untuk memberi tahu bapak akan keberhasilanku dalam kompetisi menulis itu. Kebahagiaan yang menuai pada hidupku, telah dipetik secara sempurna.

Pihak yang mengadakan kompetisi itu mulai mengurusi pemberangkatanku bersama bapak. Tepat pada tanggal 28 Juni 2017 kami berangkat, namun lagi-lagi bapak tak lupa menasehatiku akan keberhasilanku yang harus disyukuri tak usah  bertinggi hati.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.