ilustrasi: nahdlatul ulama (nu)

Oleh: Luluatul Mabruroh*

Sebagai ormas terbesar Islam di dunia, NU telah membersamai dan berperan aktif dalam dinamika sejarah Rebuplik Indonesia, sejak masa pra kemerdekaan hingga saat ini. NU telah berdiri melintasi berbagai zaman dan generasi. Sejak masa penjajahan, masa kemerdekaan, masa reformasi, hingga era kemajuan teknologi dan informasi. Meski zaman terus berganti, NU tetap relevan mengikuti perkembangan dan tetap dicintai. Hal tersebut tidak lepas dari kekokohan pondasi yang telah dibangun oleh para pendirinya. Peran dan kiprah NU sepanjang sejarah membangun peradaban tidak lepas dari visi misi yang tersirat dari nama Nahdlatul Ulama sendiri.

Nahdlatul Ulama (NU) hadir berangkat dari kesadaran terhadap tantangan dan keprihatinan terhadap realitas masyarakat pada masanya, hingga NU dibentuk untuk membangun kesadaran tanggung jawab keagamaan melalui ulama untuk menemukan solusi-solusi yang kreatif, produktif dan aplikatif pada tiap generasi dalam urusan keagamaan maupun sosial. Peran dan tanggung jawab tersebut tidak hanya berangkat dari kesadaran individu, melainkan bagaimana NU menjalin kesadaran untuk pihak lain dalam ikut serta menghadirkan kemaslahatan bagi masyarakat luas.

Hingga saat ini kehadiran NU di tengah masyarakat telah mencapai satu abad lamanya. Satu abad NU bukan sekadar perayaan maupun perhelatan seremonial, melainkan juga sebagai sebuah tanda keta’dziman kepada para ulama serta salah satu cara dalam menjaga dan melestarikan marwah NU dengan semangat kesatuan dan segala khidmahnya.

Dalam mewujudkan abad baru (kedua), upaya yang perlu dilakukan dan digencarkan adalah merawat tradisi mengaji dan mengkaji ilmu keislaman dan keaswajaan agar memberi pemahaman yang baik untuk mewujudkan moderasi beragama serta menghindari fanatisme yang berlebihan. Mengaji di sini tidak hanya mengacu pada membaca kitab suci Al-Qur’an ataupun pengajian umum, namun mengkaji kitab serta pemikiran-pemikiran KH. Hasyim Asy’ari maupun ulama-ulama yang berpegang pada Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebab, salah satu jalan bagi kebangkitan ulama terdahulu adalah dengan tetap melestarikan kajian terhadap kitab-kitab salafus sholeh atau yang biasa disebut dengan kitab kuning atau pun kitab gundul (KH. Maimoen Zubair).

Majalah Tebuireng

Standar mengaji NU menurut KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha’) adalah dengan mengkaji teks kitab serta menganalisa secara ilmiah. Hal demikian sudah mulai tergeser dan menghilang dari tradisi ke NU an. Padahal kunci tegaknya NU sejak awal kebangkitan hingga saat ini adalah mengikuti jejak ulama pendahulunya dengan senantiasa istikamah dalam mengaji untuk memahami dalil-dalil secara tafsil bukan hanya secara mujmal agar manfaat dari kajian yang telah dipelajari dapat memberikan implementasi yang nyata di tengah keruhnya spiritualitas umat yang tercampur dengan ideology yang tidak jelas.

Hal tersebut selaras dengan cita-cita NU untuk membentengi kekacauan yang berlawanan dengan tujuan pokok agama yang lima, yaitu: menjaga nyawa, menjaga agama, menjaga akal, menjaga keluarga, dan menjaga hartra. Dengan demikian kesejahteraan dan kemaslahatan umat dapat diwujudkan seiring dengan jejak langkah para ulama.

*Alumnus Pondok Pesantren Putri Walisongo Jombang.