gambar: cnnindonesia.com

Oleh: Almara Sukma, P*

Kurang lebih setahun belakangan ini masyarakat dicemaskan dengan hadirnya virus Corona, virus tersebut menyerang masyarakat Indonesia. Virus yang sangat cepat penularannya ini sangat meresahkan masyarakat dan mengusik ketenangan masyarakat, selain itu juga menyebabkan dampak yang besar bagi masyarakat secara umum.

Berbagai cara telah ditempuh untuk meminimalisir penyebaran virus tersebut, akan tetapi usaha ini belum sepenuhnya berhasil. Pemerintah tidak putus asa dan akhirnya muncullah pencegahan yang mendorong kekebalan tubuh yang disebut dengan vaksin.

Vaksin menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bibit penyakit yang sudah dilemahkan (seperti: cacar) digunakan untuk vaksinasi. Vaksinasi menurut KBBI adalah penanaman bibit penyakit (seperti: cacar) yang sudah dilemahkan ke dalam tubuh manusia atau binatang (dengan cara menggoreskan atau menusukkan jarum) agar orang atau binatang itu menjadi kebal terhadap penyakit tersebut.

Islam adalah agama rahmatan lil alamin, segala sesuat sudah diatur didalam agama Islam termasuk perkara yang boleh dikonsumsi dan tidak boleh dikonsumsi. Fiqh menyebutkan beberapa faktor perkara haram dikonsumsi atau dimasukkan ke dalam tubuh seseorang.

Majalah Tebuireng

Pertama, karena membahayakan tubuh atau akal. Kedua, mengakibatkan mabuk dan hilang kesadaran. Ketiga, karena status kenajisannya. Keempat, dinilai tidak layak dimakan oleh pemilik akal sehat. Kelima, tidak mendapat lisensi hukum syariat karena terkait hak orang lain.

Dunia farmasi modern mengenalkan tekhnologi rekayasa genom / DNA Adenovirus sebagai salah satu pilihan metode pembuatan vaksin covid 19. Dan lahirnya vaksin AstraZeneca merupakan hasil nyata dari kecanggihan tekhnologi tersebut.

Suci atau tidak vaksin AstraZaneca? Bolehkan mengkonsumsi vaksin tersebut?

Berdasarkan perspektif Fiqh, Vaksin AstraZaneca suci dan halal, karena proses produksi vaksin AstraZeneca dimulai dengan pengembangan sel HEX 293 oleh Thermo Fisher memanfaatkan tripsin dari unsur babi yang berfungsi memisahkan sel inang dari pelat atau media pembiakan sel, bukan sebagai campuran bahan atau bibit sel.

Fungsi semacam ini semakna dengan fungsi ishlah dalam permasalahan penggunaan khamr untuk mensupport obat-obatan dan wewangian agar terjaga baik dan agar minyak wangi lebih harum. Sehingga Fiqh menetapkan obat-obatan dan minyak wangi tetap suci dan boleh dipakai karena pemanfaatan najis tersebut termasuk ma’fu (dapat ditoleransi).

Atau contoh lain penggunaan bulu babi untuk menjahit sepatu yang dihukumi ma’fu (ditoleransi) sehingga benda apapun yang bersinggungan dengan bulu babi tersebut tetap dihukumi suci meskipun dalam keadaan basah.

 ومنها المائعات النجسة التى تضاف إلى الادوية والروائح العطرية لإصلاحها فانه يعفى عن القدر الذى به الاصلاح قيا

“Bahkan pada obat-obatan atau wewangian agar menjadi lebih baik (ishlah), maka dapat ditolerir (ma’fu) sekadar kebutuhan ishlah tersebut dengan dianalogikan dengan cairan najis hewan yang membantu proses pembuatan mentega”.

 لَوْ خَرَزَ خُفَّهُ بِشَعْرٍ نَجِسٍ، وَالْخُفُّ أَوْ الشَّعْرُ رَطْبٌ طَهُرَ بِالْغُسْلِ ظَاهِرُهُ دُونَ مَحَلِّ الْخَرَزِ وَيُعْفَى عَنْهُ، فَلَا يُنَجِّسُ الرِّجْلَ الْمُبْتَلَّةَ وَيُصَلِّي فِيهِ الْفَرَائِضَ وَالنَّوَافِلَ لِعُمُومِ الْبَلْوَى بِهِ قَوْلُهُ: (بِشَعْرٍ نَجِسٍ) وَلَوْ مِنْ مُغَلَّظٍ

“Apabila khuf (sepatu) seseorang dijahit dengan bulu yang najis, sedangkan khuf atau bulu tersebut basah maka bagian luarnya suci dengan dibasuh, tidak bagian yang dijahit dan hukumnya ma’fu. Sehingga tidak bisa menajiskan kaki yang basah. Dan dia boleh shalat fardlu atau sunat menggunakan khuf tersebut karena sudah merebak secara umum. (Ucapan pengarang : dengan bulu najis) : meskipun berasal dari najis berat (mughaladzah).”.  

Hukum kesucian sel hasil pengembangan HEX 293 di atas disempurnakan dengan fakta bahwa dalam tahapan produksinya sel-sel tersebut diproses menggunakan beberapa bahan termasuk air dalam skala besar. Dalam arti tahapan tersebut memastikan terjadinya penyucian sempurna bahkan untuk benda-benda yang terkena najis babi sekalipun. المجموع شرح المهذب (2 / 586):

وَاعْلَمْ أَنَّ الرَّاجِحَ مِنْ حَيْثُ الدَّلِيلُ أَنَّهُ يَكْفِي غَسْلَةٌ وَاحِدَةٌ بِلَا تُرَابٍ وَبِهِ قَالَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ الَّذِينَ قَالُوا بِنَجَاسَةِ الْخِنْزِيرِ وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَارُ لِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ الوجوب حتى يرد الشرع لاسيما فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ الْمَبْنِيَّةِ عَلَى التَّعَبُّدِ

“Ketahuilah bahwa pendapat yang unggul secara dalil bahwa najis babi cukup dibasuh satu kali tanpa campuran debu. Pendapat ini disampaikan mayoritas ulama yang berpendapat babi hukumnya najis. Pendapat ini adalah qoul mukhtar karena secara hukum asal (lebih dari sekali basuhan) tidak wajib, hingga ditemukan dalil syara’nya, terlebih permasalahan yang didasari prinsip ta’abbud (irrasional).”

Mempertimbangkan uraian di atas dapat dipastikan bahwa vaksin AstraZeneca secara hukum suci dan halal dipergunakan baik di masa darurat pandemi maupun di masa normal.

Terkait vaksin AstraZaneca masyarakat tidak perlu ragu-ragu tentang status kehalalannya dan menjadi kewajiban pemerintah untuk menyampaikan hasil bahtsul masail ini sebagai salah satu upaya mengedukasi mereka yang masih ragu-ragu atau enggan melakukan vaksinasi.

Sumber: Hasil Bahtsul Masail, Lembaga Bahtsul Masail PBNU, No. 07 Tahun 2021 Tentang Kehalalan Vaksin Astrazeneca.

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Jombang.