Foto asli Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari yang sekarang viral

Oleh: Muh Sutan*

Sekeping Kisah

Tak banyak orang yang mampu menempuh jalan ‘sunyi’. Jalan yang menanjak, terjal, dan menguras waktu serta tenaga. Itu tergambar dari pengembaraan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam menimba lautan ilmu. Kita tidak mengelak, tiap langkah kaki pasti punya tujuan. Sayyid M. Asad Shihab (1994) menyebut bahwa selepas dari tanah Haramain di tahun 1314 H., Hadratussyaikh pulang ke Indonesia tidak membawa gelar kebesaran yang hampa, tidak pula harta yang berlebih yang tidak berguna di dunia. Tetapi, beliau kembali dengan membawa ilmu yang bermanfaat, untuk diajarkan pada anak negerinya, membina kaumnya. Dan untuk menunjukkan, mendidik, dan mengenyangkan mereka dengan ruh Islam.

Kiai A. Aziz Masyhuri dalam buku 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara menulis diantara guru Kiai Hasyim selama di Mekkah antara lain, Syekh Machfudz at-Tarmazy. Dikalangan kiai di Jawa, Syekh Machfudz dikenal sebagai seorang yang sangat ahli dalam ilmu hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari.  Dari Kiai Machfudz, akhirnya Kiai Hasyim mendapat ijazah untuk mengajar Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dalam sanad kelimuan kitab hadits ini, Syekh Mahfudz merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima (isnad) hadits dari 23 generasi penerima Sahih Bukhari.

Hal ini cukup beralasan, karena sebagian besar santri telah mempelajari fikih dengan baik di Jawa. Sementara di Mekkah mereka perlu mempelajari ilmu hadis, disamping al-Quran serta tafsirnya. Sehingga mereka dapat menyempurnakan pemahaman tentang fikih dengan belajar ilmu hadis.

Majalah Tebuireng

Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh Hadratusyekh, memusatkan kegiatan akademiknya dalam bidang agama, khususnya pelajaran hadis. Pengenalan mata pelajaran hadis sebagai objek studi di pesantren, menurut Martin Van Bruinessen merupakan inovasi baru dalam pendidikan pesantren. Van de Berg, seperti dikutip Martin, dalam penelitiannya tentang kitab-kitab yang digunakan di pesantren pada abad ke-19 tidak mencantumkan kitab hadis. Oleh karena itu, KH. M. Hasyim Asy’ari tercatat sebagai seorang ulama yang pertama kali memperkenalkan dan mengajarkan mata pelajaran hadis di pesantren.

Aboebakar Atjeh dalam buku Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim (2015) mepaparkan sedikit gambaran suasana ngaji pasanan di Tebuireng kala Hadratussyekh masih hidup. Pakaian beliau sederhana, di antara yang jarang ditinggalkan, baik waktu mengimami sembahyang atau pada waktu mengajar; ialah memakai jubah dan sorban.

Pengajiannya itu biasanya mengenai fikih, ilmu hadis, dan tafsir, sangat menarik karena tidak saja bacaan lafaznya fasih, tetapi juga terjemah dan uraian kata-katanya tepat dan jelas, sehingga murid-murid yang mengikuti pengajian itu dapat menangkap dengan mudah. Beliau  selalu ramah dan sabar dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari murid-muridnya, dan suaranya yang lemah lembut dapat menawan hati murid-muridnya.

Beliau selam bulan puasa memberi kuliah istimewa mengenai ilmu hadis karangan al-Bukhari dan Muslim. Kedua kitab hadis yang penting ini harus khatam dalam sebulan puasa itu dan oleh karena itu, jadilah bulan ini suatu bulan yang penting bagi kiai-kiai bekas muridnya di seluruh Jawa. Dalam bulan puasa, bekas murid-muridnya yang sudah memimpin pesantren di mana-mana, biasanya memerlukan datang tetirah ke Tebuireng, tidak saja untuk melanjutkan hubungan silaturahmi dengan gurunya, tetapi juga  untuk mengikuti seluruh kuliah istimewa mengenai hadis al-Bukhari dan Muslim guna mengambil berkah atau tabaruk.

Tentang perpustakaan pribadi Hadlratussyekh termasuk perpustakaan paling kaya, karena berisi buku-buku pengetahuan keislaman yang sangat penting dan jarang dijumpai. Dalam buku Wahid Hasyim: Untuk Republik dari Tebuireng (Seri Buku TEMPO: Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan) disebutkan, kamar itu sempit dan nyaris gelap. Luasnya 3×4 meter persegi dan tanpa jendela. Hanya sebuah lampu sentir yang menerangi ruangan.

Di dalamnya, empat rak berisi penuh tumpukan buku menempel ke tembok. Di kamar inilah para anak kiai di Tebuireng belajar ilmu soal Islam. “Pak Wahid dan ayah saya belajar di tempat itu,” kata Abdul Hakam, 68 tahun, putra Kiai Haji Abdul Kholik Hasyim, adik kandung Wahid Hasyim.

Gus Hakam bercerita, ruangan  yang direkanya adalah sebuah kamar perpustakaan khusus milik kakeknya, KH. M. Hasyim Asy’ari. Di ruang itu dulu, Wahid dan Kholik bisa tinggal berhari-hari, hanya untuk membaca. Kitab apa pun yang ada di ruang mini itu mereka baca.  “Keluar sudah bisa, langsung pintar,” kenang Gus Hakam.

“Perpustakaan Hadratussyekh ini memuat sejumlah kitab-kitab dalam bahasa Arab, Indonesia, Jawa, Malaysia, dan beberapa bahasa asing lainnya. Perpustakaan ini menyaingi perpustakaan Lembaga Penelitian Islam di Jakarta”, keterangan dari tulisan Kiai A. Aziz Masyhuri.

Ada banyak hal yang bisa kita ambil teladan, saat kita menulusuri sosok dan kiprah Hadratussyekh KH. M. Hasyim Asy’ari, terlebih dalam bidang keilmuan Islam. Termasuk penulisan karya-karya beliau yang sampai ke tangan kita sekarang, termuat dalam kitab Irsyadu as-Sari. Buah pemikiran dan gagasan Hadratussyekh dalam bidang fikih, hadis, tasawuf, maupun aqidah.

Filologi dan Pesantren

Pesantren tidak bisa terlepas sama sekali pada sejarah keilmuan Islam. Termasuk sejarah mengenai keilmuan dan pemikiran tokoh pesantren itu sendiri. Setiap manusia mempunyai alat penglihatan berupa indra mata,  tapi untuk melihat dan membaca sejarah ada hal yang harus terpenuhi, salah satunya adalah kecakapan dalam ilmu filologi. Bisa dikatakan masih jarang, santri zaman sekarang (now) mengenal ilmu filologi. Kalau pun ada, itu sekedar mengenal perangkat dalam ilmu tersebut tapi belum mendalam. Seperti ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah yang tertuang dalam teks atau naskah masa lampau.

Soeratno menyebut filologi merupakan studi teks yang diperlukan karena muncul varian-varian teks yang tersimpan dalam naskah. Menurut Djamaris filologi merupakan suatu ilmu penelitian yang berobjek kepada mansukrip atau naskah. Konsekuensi santri yang berkecakapan ilmu filologi, dia akan bisa mengkaji naskah dan teks para ulama terdahulu, khususnya naskah milik para kiai dan ulama Nusantara. Ini adalah tolok ukur yang baik, dikarenakan satu sisi sanad keilmuan tidak terlampau jauh, di sisi lain juga kita akan mengenal corak pemikiran dan gagasan para ulama kita sendiri.

Dalam tulisan Fathurrahman Karyadi (Filologi di Pesantren), Alumni Ma’had Aly, menyebut bahwa; “Beberapa tokoh cendekiawan muslim dari Pesantren yang bisa dikatakan sebagai filolog, ahli filologi. Di antaranya KH. Maimun Zubair, KH Sahal Mahfudz, dan KH Abdul Qayyum Manshur. Ketiganya bersentuhan langsung dengan karya agung Syaikh Mahfudz al-Tarmasi (1868-1920), guru pendiri NU Hadratus Syaikh KH M Hasyim Asy’ari. Kiai Maimun men-tahqiq kitab Syaikh Mahfudz bertajuk Nabi Hidr As dengan judul Inayah al-Muftaqarr. Kitab itu merupakan saduran dari Imam Ibnu Hajar al-Asqalani. Tampaknya naskah asli dari kitab tersebut hanya dimiliki oleh Kiai Maimun saja. Diterbitkan oleh Pesantren al-Anwar Sarang Rembang tahun 2007”.

Sekarang karya tersebut hadir dalam bentuk terjemahan dengan judul “Nabi Khidir & Keramat Para Wali” terjemahan dari dua kitab, bughyah al-Adzkiya’ fi al-Bahtsi ‘an Karamat al-Auliya’ dan ‘Inayah al-Muftaqir fi ma Yata’allaq bi Sayyidina al-Khidir. Dicetak oleh Penerbit Sahifa dan diberi kata pengantar oleh KH. Maimun Zubair dan KH. Harir Muhammad.


*Alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari

**Pernah dimuat di MAHAmedia edisi 37