KH, Musta’in Syafi’ie saat ceramah refleksi kemerdekaan di depan para santri di Masjid Tebuireng, Rabu (13/08/2017). Foto: Bagas).

إِنَّ الْحَمْدَلِلهِ، نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ، وَ نَعُوْذُ بِهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ اَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّابَعْدُ

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْ اللهَ، اِتَّقُوْ اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، أَعُوْذُبِالله مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ، صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ

Khutbah yang lalu kita membicarakan usia 40 tahun, satu-satunya usia yang disebut di dalam Al Quran, karena dianggap usia ini, usia yang eksekutif. Orang barat menyebut kehidupan bermakna itu diawali sejak usia 40 tahun. Life begin at fourty. Pada Khutbah lalu beberapa telah dibicarakan. Kini dari apa yang seharusnya dilakukan oleh orang yang sudah berusia 40 tahun.

Selanjutnya adalah mampu mengatakan “Rabb” (Tuhanku) ini sesungguhnya filosofis sekali dalam bidang teologis, karena tidak semua orang itu mampu mendasari sikap atau perilakunya dengan rububiyyah (ketuhanan). Dia mampu menjadikan Rabb Allah SWT sebagai dasar segalanya. Untuk itu, betul-betul orang yang sudah berusia 40 tahun itu mestinya sudah menjadi asuhan Tuhan. Karenanya, hal-hal yang bisa mereduksi ketuhanan itu perlu dihindari sedikit-sedikit sampai total.

Ada dua hal besar yang bisa menghilangkan sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia, yang pertama al maal (harta) dan kedua al jah (kedudukan). Mempunyai kekayaan yang berlimpah sehingga ia jadi pongah dan mempunyai kedudukan. Untuk itu, orang yang memiliki sifat rabb bisa mengatakan “Qola rabbi auzi’ni” tidak sembarangan orang.

Majalah Tebuireng

Banyak orang yang mengunduh sifat ketuhanan ini hangus karena kekuasaan. Orang yang mengejar kekuasaan rata-rata menyingkur dan melanggar  aturan Allah. Kalau salah satu orang gedean (congkak) itu sifat Rabb-nya hilang bisa terpinggirkan karena ego. Kalau wong cilik punya sifat rububiyah yang mengunduh sifat Allah yang ada di dalam diri, bisa tereduksi karena minder.

Kenapa orang bisa menjadi angkuh dan seenaknya tanpa memperhatikan kemaslahatan umum, mungkin karena angkuhnya itu. Tapi kalau ada orang mencontoh sifat Allah yang Robbul alamin yang memperhatikan sosial dan memperhatikan kemaslahatan umum, tidak (melakukan hal itu).

Saya ambil contoh yang paling mudah, bagaimana Allah mengfonis dan memutus membuat hari libur Ied, Idul Fitri dan Idul Adha. Allah membuat hari ied itu seluruhnya terlibat hatta ghilmal sampek anak-anak kecil itu ikut gembira kabeh, seneng kabeh. Puasa atau tidak puasa, anak-anak kecil mendengar hari raya itu, senangnya bukan main. Bapakne seneng, ibukne seneng, anake seneng karena atas dasar pertimbangan maslahah umum. Maka seharusnya orang yang mempunyai kebijakan itu menyontoh itulah. Kebijakan apasaja membuat kurikulum, membuat liburan misalnya, bisa senang semua, gurunya anak-anaknya di rumah juga senang bisa bercengkrama bareng.

Itu menunjukkan, pembuat kebijakan itu, menggunakan sifat ketuhanan, yaitu sifat maslahah. Karenanya, orang yang kecil, ada pandangan Allah, dia akan mampu mengoreksi dirinya mengoreksi orang lain termasuk bisa mengoreksi  atasannya, biar tidak takut karena yang Akbar (Maha Besar) itu hanya Allah. Manusia adalah manusia biasa. Untuk itu mohon maa, saya ulangi lagi tidak semua orang besar, murshit terekat, kiai, pengasuh, khatib, ustadz, belum tentu bisa terus menerus bisa mengatakan “Robbi qoola Robbi”. Mungkin ada egonya, Opo jare aku”.

Juga tidak mesti orang kecil kemudian mempunyai sikap-sikap ketuhanan yang indah. Mungkiin dia takut begini sehingga dia akan tertindas oleh keimanannya sendiri. Untuk itu pandangan terhadap Allah ini betul-betul pandangan yang hebat, tak terbatas dan universal.  Agar lebih aplikatif lebih jelas problem-problem yang ada di kalangan kita, yang mestinya fisik jawabannya secara umum diselesaikan secara fisik, secara ilmu, dan secara nyata. Pertanyaanya apakah semua problem-problem duniawi itu mesti diselesaikan secara duniawi juga?

Saya ingin menghadirkan satu contoh yang tidak populer. Problem rumah tangga fisik murni, tapi Nabiullah Muhammad memberi solusi religius. Tersebutlah keluarga Ali bin Abi Tholib dan istrinya Sayyidatina. Fatimah az Zahra binti Rasul. Pasangan muda ini serba mengerjakan rumah tangga sendiri, termasuk menggiling gandum, masak dan lain-lain. Namanya anak masih muda mengeluh lalu matur kepada Hadraturrasul. Maunya “Pak Yak apa saya kok berat melakukan pekerjaaan rumah tangga”. Waktu itu mau matur ke Nabi, beliau tidak adal. Lalu Aisyah yang beritahu, tadi Fatimah dan Ali ke sini.

Lalu Rosul ke rumah anaknya ini, “Onok opo nak?”. Fathimah mengeluh “Bagaimana kalau kami ini mengambil pembantu untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Berat, berat Pak, berat”. Apa yang didawuh Hadraturrasul “Kamu mau nggak saya kasih solusi yang jauh lebih bagus dari pada mengambil pembantu?”. Ya tentu saja wong seng ndawuhi Nabi, jelas mau. Kata Nabi, “Lakukan pekerjaan rumah tangga secara ikhlas, nanti mau tidur, untuk menghilangkan payah, pegal-pegal, sebelum tidur dalam keadaan suci, wudlulah, lalu bacalah Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, Allahu Akbar 34 kali, genep 100”. Kalau kiai-kiai kita 33 kali Allahu Akbar ditambah satu, Allahu Akbar kabiro dan seterusnya. Sama saja seratus lah.

Penelitian menunjukkan, tapi ini belum valid, belum banyak diteliti silahkan saja diteliti silahkan saja dipraktekkan, apakah Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, Allahu Akbar 34 kali, bisa mengurangi, bisa menyehatkan, dan bisa menghilangkan letih dan pegal-pegal itu, coba aja. Itu artinya kehadiran Allah itu segala-galanya. Megeluh pegal ya salahnya sendiri tidak menggunakan obat yang datang dari Allah, hanya mengeluh saja. Pegal linu ya salah sendiri. Jangankan hanya mengihalangkan pegal, apa saja tidak ada yang sulit di hadapan Allah.

Dan setelah itu Fatimah tidak pernah mengeluh dan tidak pernah pegal-pegal dan tidak ada pembantu. Saya kasih contoh lagi. Sahabat itu bernama Abu Umamah. Abu Umamah ini, usai jamaah shalat itu melamun, pusing. Nabi tahu dia sedang pusing. Kata Nabi, “Lah opo?”. Abu Umamah menjawab, “Ya Rasulullah hutang saya banyak, ke sana  ke mari ditagih, akeh utange. Bagaimana ini caranya?”. Nabi menjawab, “Ya udah, kamu mau nggak saya kasih solusi biar cepet bayar utang. Tapi, setelah itu ya jangan berani-berani hutang lagi, karena utang iku lebih bahaya dibanding dosa”.

Mohon maaf ya mohon maaf. Ada orang yang melakukan dosa, entah dosa kecil, tanggung, besarlah, na’udzubillah misalkan zina, dibanding punya hutang, itu lepih menyengsarakan bagi orang yang punya utang. Orang berzina itu bisa selesai dengan taubat dan istighfar, bisa selesai. Musyrik saja bisa selesai kok dengan taubat. Tapi kalau utang itu tidak bisa diselesaikan dengan istighfar sampek nangis keluar air mata darah, nggak iso. Hutang yo dikembalikan. Amalnya banyak, tapi punya hutang, tidak ada yang mengembalikan, ya dicekel (dipegang). Kalau habis, ya dosa orang yang menghutangi diberikan ke dia. Ingat baik-baik, hutang tidak bisa selesai dengan istighfar.

Nabi lalu berkat, ”Mau nggak saya kasih solusi, biar bisa segera bayar utang, tapi setelah jangan tambah-tambah hutang lagi”.  Kata Abu Umamah, “Nggeh ya Rasulallah”. “Berdoalah:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ

Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari rasa sesak dada dan gelisah, dan aku berlindung pada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, dan aku berlindung pada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung pada-Mu dari hutang yang melilit dan debt Collector

Kamu Baca yang khusuk, pagi dan sore”. Loh, inikan namanya solusi religius. Dari mana uangnya? Loh, berarti berlum percaya, kalau wiridan saja (bisa memberi solusi), belum percaya pada Rububiyah Allah. Yo mesti ikhtiar, tetapi solusi religius penting, sangat penting dan keberhasilanya betul-betul atraktif dan tidak pernah kita duga-duga. Gak percoyo yo wes, yo salahe dwe ono servis yang bagus kok nggak percoyo. Dan Abu Umamah pun  selesai urusannya, karena percayanya, karena imannya, beres utangnya.

Kurang? Ada orang sakit, orang ini muhaddits, yang menulis kitab al Mustadrok, Abu Abdillah al Hakim. Abu Abdillah al Hakim ini sakit gatal-gatal parah sekali sampai waktu ngaji iku diumumkan  minta doa kepada jamaahnya, “Tolong dong aku dungakan biar cepet sembuh, minta sampek sehat”. Ada jamaah yang waktu itu sedang ikut ngaji seorang perempuan abidatin ‘ajus (ahli ibadah yang tua renta) didawuhi kiainya diminta mendoakan, dia doa betul. Ingat bahwa mengakses situs Rasulullah itu bisa menyelesaikan segalanya. Shalat malam, dia, subhanallah, mimpi dihadiri Nabi, Ibu, bilang ke Syaikh Abu Abdillah al Hakim suruh shadaqoh air minum, suruh shadaqoh air minum”.

Nabi ini kan pernah menyatakan “Afdlolus shodaqoh As suqya” (seutama-utamanya sedekah adalah air). “Jadi kasih tahu, orang ahli hadis kok sakit kayak gitu tidak ada solusi. Ingatkan suruh sedekah air minum”. Klau sekarang ya kira-kira air mineral gelasan gitu lah. Dia bilang ke Abu Abdillah al Hakim, “Syaikh tadi malam saya ketemu Rasulullah, jenengan disuruh sedekah air minum. Masya’allah” benar shodaqoh dengan ikhlas, sembuh.

Kurang? Ini yang sangat religius. Orang-orang yang akademik yang sok hadits yang sok mengecam para ‘ulama dan kiai-kiai sepuh. Di kalangan thariqat itu ada yang sudah mentradisi mengamalkan shalat dua rakaat setelah wudhu. Para kyai menyebut shalat itu dengan “syukrul wudhu”. Itu biasanya dalam akademik, sarjana yang sombong-sombong dan sok-sokan itu bertanya-tanya, “Dalilnya ada kah, shalat syukrul wudhu?”. Ya begitulah kalau ngajinya tekstual.

Ceritannya begini, shalat syukrul wudhu itu, suatu ketika Hadrotur rosul itu diperlihatkan keadaan surga, dan ternyata  mendengar suara sandal bilal. Bilal memang terkenal sekali suara “srek-srek” sandalnya. Orangnya masih hidup di dunia, belum meninggal, tapi sudah ada isyarat bahwa sandalnya berjalan-jalan di surga. Rasulullah mendatangi Bilal. Bayangkan orang setingkat Rasul belum tahu rahasianya. Rasulullah mendatangi Bilal yang budak kulit hitam itu. Kata Rasul, “Aku penasaran kok sampek aku dapat isyarat mendengar suara saldalmu ada di surgaamal apa yang kamu kerjakan. Kata bilal, “Mestinya panjenengan ya Rasulullah yang lebih tahu dari pada saya?”

Nabi memaksa agar Bilal menjawab. Akhirnya spontan nyeletuk “Saya ini selalu wudhu, batal, wudhu, tapi saya setelah wudhu sholat dua rakaat”. Rasulullah menerima, “Oh yo iku amalanmu, yang menyebabkan kamu sesandal-sandalmu masuk surga”. Kalau kata orang yang akademis, itu tidak ada dalilnya. Tapi kiai-kiai kita bukan mengambil dalil itu dari tekstual hadis saja, tapi dengan hikmah seperti itu dan diiyakan oleh Rasulullah bahwa shalat dua rakaat setelah wudhu itu dibenarkan oleh Rasulullah.

Sekarang, surga telah dibuka dan bilal sudah diisyaratkan masuk, termasuk sandalnya. Pertanyaanya seberapa sulit sih, kita melakukan seperti Bilal? Nggak sempat kah ketika selesai wudhu, shalat dua rakaat? Apa ya susahnya begitu? Semua orang bisa melakukan, karena ini sangat mudah. Mudah-mudahan kita selalu dalam bimbingan Allah SWT.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْم، وَنَفَعَنابه وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأٓيَةِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْم، فتقَبَّلَ اللهُ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ تعالى جَوَّادٌ كَرِيْمٌ البَرُّ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ، و الحمد للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ


Transkiptor:       Minahul Asna

Editor/Publisher: M. Abror Rosyidin