tebuireng.online– Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan buku berjudul “Benturan NU-PKI 1948-1965”. Kemarin Kamis, 07/05), BEM Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng bekerjasama dengan Halaqah BEM Pesantren Se-Jawa Timur dan Tebuireng Media Group membedah buku tersebut di Gedung KH. M. Yusuf Hasyim Lt. 3 Pesantren Tebuireng Jombang. Hadir sebagai narasumber adalah penulis buku tersebut, H. Abdul Mun’im DZ didampingi oleh Dr. (Hc). Ir. K.H. Salahuddin Wahid untuk menjawab tuduhan terhadap NU sebagai dalang pembantaian PKI tahun 1965.

H. Abdul Mun’im DZ menegaskan bahwa kekuatan PKI 1948, terletak pada kekuasaannya selama dua tahun dalam memegang beberapa jabatan penting dintaranya adalah Menteri Pertahanan, Gubernur, Bupati, dan Walikota. Karena Menteri Pertahanan dipegang PKI, maka segala pembentukan militer diambil alih oleh golongan sempalan tersebut. H. Mun’im mengutip pernyataan Dr. Subandrio yang mengatakan bahwa PKI memiliki 3 juta pasukan nyata dan 17 juta pasukan bayangan melawan TNI yang hanya berjumlah ratusan ribu.

Kiai asal Perak Jombang tersebut juga mengatakan bahwa untuk memuluskan jalan, PKI menggunakan profokasi-profokasi dan teror-teror. Di bidang pertanian misalkan, PKI mengambil tanah milik petani dan menuduh para kiai sebagai setan desa yang harus diganyang. Dalam bidang agama PKI melakukan penistaan agama dan merusak rumah ibadah. Sedangkan dalam bidang budaya dan politik PKI menggunakan tradisi warga lokal sebagai pengembangan ajaran komunis dan mengendarai roda pemerintahan dengan jabatan-jabatan strategis.

Penulis juga mengungkap beberapa kronologi tuntutan PKI. Pada Tahun 2001, organisasi pro-PKI menuntut pencabutan TAP MPRS XXV tahun 1966, tahun 2005, menuntut ganti rugi 750 juta hingga 2,5 miliar bagi setiap anggota PKI, tahun 2014, membentuk gerakan nasional PeopleTribunal Court, tahun 2015 mengajukan TNI dan NU ke International Tribual Court Den Haag Belanda serta menuntut diadakannya perayaan besar 50 tahun G-30-S/PKI sebagai arena penuntutan.

Ketika ditanya prihal sikap resmi NU, H. Mun’im menjawab bahwa NU sudah menunjukkan sikap resminya diantaranya adalah menghimbau publik agar tidak memahami sejarah secara sepenggal, tidak bersikap anakronis (ahistoris) dan tidak mendramatisasi jumlah korban. Selain itu, lanjut H. Mun’im, NU menyesalkan peristiwa tersebut dan tidak akan meminta maaf, bahkan malah akan terus menjaga dan melanjutkan rekonsiliasi, mewaspadai profokasi baru sebagai bentuk penjagaan terhadap integritas NKRI. “Hidup NU, Pancasila Jaya, NKRI harga mati!”, pekik H. Mun’im di tengah pemaparan sejarah benturan NU-PKI. (anita/abror)

Majalah Tebuireng