Foto: M. Masnun

Oleh: KH. Salahuddin Wahid

Teknologi Informasi (TI) adalah suatu sarana komunikasi yang sudah menjadi kebutuhan dan menimbulkan konsekuensi yang tidak selalu bisa kita hindari. Informasi datang dari mana saja, tentang apa saja, dan dalam jumlah yang amat banyak. Informasi yang datang itu kebanyakan dari pihak Barat dan kita menerimanya sebagai kebenaran dan satu-satunya fakta yang ada. Sering terjadi informasi itu menyesatkan dan membuat kita mengambil kesimpulan yang keliru. Kita perlu mendengar informasi dari sumber non Barat

Saya ingin mencoba menyampaikan informasi dari sumber bukan Barat untuk mengimbangi informasi yang datang dari Barat itu. Yang pertama dari seorang kolumnis di Timur Tengah, yang kedua dari Wakil Ketua Majelis Ulama Irak yang belum lama berkunjung ke Indonesia. Dengan adanya informasi itu semoga kita tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan.

Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Muhammad bin Salman mengatakan bahwa umat Islam, terutama yang tinggal di Saudi, harus kembali pada masa sebelum 1979 yaitu ketika itu Islam yang diikuti ialah Islam wasathiyah, yang terbuka pada dunia, pada semua agama dan saling menghormati tradisi yang ada di dalam masyarakat

Apa pentingnya tahun 1979 sehingga tahun itu dijadikan patokan? Menurut kolumnis as Sharq al Awsat bernama Ridwan Said, ada tiga peristiwa besar yang terjadi pada tahun 1979. Peristiwa pertama, intervensi Uni Sovyet ke Afghanistan. Intervensi ini kemudian dibalas oleh AS dengan “memanfaatkan” para pejuang dari Afghanistan, Pakistan, Arab dan negara-negara Islam lain termasuk Indonesia untuk memukul balik pasukan Uni Sovyet (1979-1989). AS memberi bantuan persenjataan, dana dan latihan perang.

Majalah Tebuireng

Bagi para pejuang melawan intervensi Rusia, keberhasilan perang di Afghanistan merupakan pengalaman tersendiri. Banyak pelajaran yang mereka dapatkan; dari strategi perang, membuat senjata, merekrut kader, hingga mengorganisir para pejuang. Terbentuknya al Qaidah dan Taliban adalah salah satu hasilnya.

Peristiwa kedua adalah keberhasilan Revolusi Islam Iran di bawah Ayatollah Khomeini untuk menggulingkan Rezim Shah Iran Reza Pahlevi yang amat pro Barat. Keberhasilan revolusi ini memberi ilham berbagai gerakan Islam untuk melakukan hal yang sama. Banyak negara Arab yang direpotkan. Iran berubah menjadi negara agama.

Peristiwa ketiga adalah pendudukan Masjidil Haram oleh Juhaiman al Otaibi dan kawan-kawannya dalam upaya untuk menentang penguasa Arab Saudi yang dinilai sudah melenceng dari ajaran agama Islam.

Menurut Ridwan Said, ketiga peristiwa itu telah memunculkan kekerasan dalam tradisi keagamaan, sosial dan ideologi di dalam kalangan umat Islam. Juga untuk pertama kalinya muncul penentangan terhadap sistem negara-negara nasional Arab yang berlaku di abad 20.

Berbagai peristiwa pada 1979 itu telah menyebabkan perubahan besar dalam dalam geopolitik dan geostrategi dunia, antara lain runtuhnya Uni Sovyet dan munculnya AS menjadi superpower satu-satunya di dunia.

Peristiwa-peristiwa 1979 dan dampaknya juga telah menyebabkan perubahan besar di dalam kalangan umat Islam yang berlangsung hingga kini, yakni fanatisme Syiah dan Sunni di sejumlah negara nasional Arab. Ada perbedaan antara fanatisme di kalangan Sunni dan Syiah. Di kalangan Sunni, fanatisme itu tidak terorgainisir dan tidak jelas siapa pemimpinnya. Sedangkan di dalam kalangan Syiah, amat terorganisir dan dipimpin oleh sebuah lembaga yang dinamakan Wilayatul Faqih.

Dalam menghadapi tantangan perpecahan dan fanatisme di kalangan Sunni, dalam banyak peristiwa para penguasa Arab terpaksa harus memakai kekuatan militer untuk menjaga keamanan, stabilitas serta kesatuan bangsa dan negara. Tidak hanya untuk menumpas kelompok-kelompok radikal yang mengatasnamakan agama, tetapi karena pihak-pihak asing telah berhasil menunggangi gerakan kelompok radikal itu untuk kepentingan pihak asing itu sendiri.

Dalam sepuluh tahun terakhir berbagai lembaga besar keagamaan, ulama dan akademisi telah ambil bagian untuk memberantas kelompok-kelompok radikal yang mengatasnamakan agama. Selain mengecam kekerasan atas nama agama, mereka juga mengupas dan menjelaskan dalil-dalil agama bahwa Islam itu anti kekerasan dan bersifat rahmatan lil alamin. Sayang sekali tindak kekerasan atas nama agama terus terjadi. Mengapa demikian?

Menurut Ridwan Said, meski sudah banyak dilakukan upaya untuk menumpas radikalisme oleh pemerintah, lembaga keislaman, dan para ulama, kampanye itu baru satu sisi yaitu dar’ul mafasid (mencegah kerusakan) atau baru sebatas nahi munkar. Belum banyak dilakukan upaya menyeru pada kebaikan

Kita perlu juga mendengar pendapat Dr. Munir Hasyim al Ubaidly, Wakil Ketua Majelis Ulama Irak. Dr. Munir Hasyim menjelaskan bahwa sejak penjajahan AS atas Irak pada 2003, maka mereka telah menghancurkan negara Irak. Hancur semua, sistemnya, lembaganya, dan juga militernya. Masyarakatnyapun terpecah belah di antara segmen-segmennya. Tank-tank AS yang menguasai jalan-jalan di wilayah Irak, membuat rakyat Irak mempercayai bahwa penjajah baru telah datang. Sebelumnya mereka tidak membayangkan situasi akan berubah menjadi seperti itu.

Sejak AS menguasai Irak, Aswaja secara sistematis dijauhkan dari semua posisi penting, baik itu kepolisian, militer, intelijen, ekonomi, pemerintahan secara luas. Yang diuntungkan adalah pihak Syi’ah dan Kurdi yang Sunni. Mengapa demikian? Kurdi dan Syi’ah adalah pihak yang tidak melawan penjajahan AS, bahkan bekerja sama dengan mereka.

Anak-anak muda Sunni Irak yang menyaksikan situasi yang menyedihkan di mana umat Sunni Irak didzalimi, merasa amat bersemangat untuk keluar dari situasi tertindas itu. Sayangnya pengetahuan dan informasi mereka amat terbatas. Mereka pikir ISIS akan bisa menyelamatkan mereka. ISIS datang sepuluh tahun mulai berlangsungnya kedzaliman, situasi ekonomi yang buruk, dan dampak perang. Puluhan ribu orang ditahan, banyak orang kehilangan rumah. Banyak anak yang orang tuanya dibunuh, adik perempuannya diperkosa.

Anak-anak muda yang frustrasi dan ingin memperbaiki keadaan ini menjadi sasaran yang diincar ISIS. Perlu dicatat bahwa tidak semua anak muda Sunni Irak bergabung dengan ISIS. Pengikut ISIS di Irak tidak hanya orang lokal tetapi juga datang dari berbagai negara. Maka daerah dan kota dimana Sunni Irak tinggal hancur. Dr Munir Hasyim percaya bahwa AS dan Israel adalah pihak yang merancang ISIS.

Dr. Munir Hasyim berpesan supaya umat Islam mesti dijaga dari infiltrasi pemikiran sesat, radikal, dan ekstrem. Sebab semua pemikiran itu bisa menghancurkan sebuah negeri seperti yang dialami Irak. Anak-anak muda muslim harus diberi ilmu agama yang benar, ditanamkan pengertan tentang Islam wasathiyah. Perlu ditegaskan bahwa ISIS justru merugikan Islam.

Dalam pemberitaan tentang perang Suriah juga terjadi keadaan yang berat sebelah. Sejumlah media massa Barat cenderung menganggap bahwa pemberitaan tentang perang Suriah sebagai tugas patriotik mendukung kebijakan negara mereka. Jurnalis perang kawakan Robert Fisk menulis, “Sangat banyak kerusakan yang mencederai kredibiltas jurnalisme dan politisi dengan menerima hanya satu sisi cerita, ketika tak ada satupun reporter yang bisa mengonfirmasi apa yang mereka beritakan. Kita memberikan jurnalisme kepada media dan orang-orang bersenjata yang mengontrol daerah itu”.

Sebagai contoh adalah pemberitaan yang belakangan ini kita baca tentang Ghouta Timur, sebuah wilayah di Suriah. Diberitakan bahwa Aleppo sedang menjadi korban genosida oleh tentara Suriah. Berita itu akhirnya terbantahkan ketika setelah dibebaskan pada 25 Desember 2017 muncul berita bagaimana ribuan rakyat Aleppo merayakan Natal untuk pertama kalinya setelah lima tahun tercekam kengerian akibat kehadiran kelompok-kelompok fanatik yang menghalalkan teror demi membentuk khilafah.

Kebanyakan dari kita tidak memberi simpati terhadap Bashar Assad, pada hal menurut seorang pengamat politik Dr Marcus Papadopoulos dalam wawancara dengan Sky News Australia memberi informasi yang membuat kita terhenyak. Dia mengingatkan publik Australia bahwa yang dilawan tentara Sirya di Ghouta Timur adalah kelompok dengan ideologi sama dengan mereka yang melakukan pemboman di Bali, yang sebagian korbannya adalah warga negara Australia.

Sebagian besar warga Suriah masih mendukung Bashar Assad sehingga sudah lebih dari enam tahun perang berlangsung dia masih bisa bertahan. Bandingkan dengan Saddam Husein yang tidak didukung oleh rakyatnya. Juga bandingkan dengan Khaddafi.

Dalam konteks masa kini di Indonesia kita bisa melihat pengalaman banyak dosen dan mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan HTI, JAT dan JAD atau bahkan kelompok teroris. Kelompok teroris tidak saya singgung, hanya HTI, JAT dan JAD. JAT itu memperjuangkan negara berdasar Islam seperti yang dulu dilakukan NU, PSII dan Masyumi. Mereka tidak mau belajar dari pengalaman NU dll. JAD kabarnya berafiliasi dengan ISIS. Keduanya tidak mempunyai banyak pengikut.

HTI berbeda dengan kedua kelompok yang saya sebut. Pengikut HTI banyak dan jaringannya cukup luas. Aktivis dan pengikut HTI banyak yang menjadi dosen dan mahasiswa. Kegiatan mereka terorganisir dengan rapi. Mereka beberapa kali mengadakan konferensi khilafah internasional. Banyak tulisan atau buku yang membantah pendapat atau gagasan Khilafah Islamiyah yang diperjuangkan HTI, tetapi mereka tetap bersikukuh dengan gagasan mereka.

Saya pernah menjadi pembicara bersama seorang tokoh HTI dan penulis buku berjudul “Gagal Paham HTI Tentang Khilafah Islamiyah”. Saya tidak berbicara tentang gagasan khilafah Islamiyah, tetapi berbicara tentang kenyataan yang kita hadapi terkait khilafah Islamiyah itu. Saya katakan bahwa tidak mungkin HTI mendirikan khilafah Islamiyah di Indonesia. Begitu mereka menyatakan berdirinya Khilafah di Indonesia, mereka langsung ditangkap. Khilafah Islamiyah hanya bisa berdiri di Indonesia kalau ada dukungan dari kekuatan besar dari luar negeri, besar secara politik, besar secara militer dan besar secara ekonomi.

Saat ini tidak ada kekuatan besar yang mendukung gagasan itu. Kalau kita anggap ada negara besar yang mendukung, apa yang akan terjadi? Apakah TNI, Polri, parpol kekuatan masyarakat sipil di Indonesia diam saja dan membiarkan khilafah Islamiyah itu berdiri? Tentu tidak. Maka yang akan terjadi adalah peperangan seperti yang terjadi di sejumlah negara di Timur Tengah.

Bagi HTI ada dua pilihan, mendirikan Khilafah yang belum tentu memberi maslahah atau menghindarkan bencana berupa perang saudara yang sudah pasti terjadi yang akan membawa kita pada kesengsaraan atau bencana. Dalam kaidah usul fiqh ada prinsip dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih. Menghindarkan mafsadah yang sudah pasti lebih didahulukan dari pada mengharapkan kebaikan yang belum pasti

Selama era Orde Baru kita selalu diingatkan akan bahaya ekstrem kiri dan ekstrem kanan. Ekstrem kiri adalah komunisme dan ekstrem kanan adalah kelompok jama’ah Islamiyah dan Komando Jihad. Banyak yang mengatakan bahwa Komando Jihad itu adalah buatan pemerintah. NU pun pernah dicurigai saat masih memperjuangkan negara berdasar Islam. Setelah NU secara resmi menerima dasar negara Pancasila (menjadi muallaf Pancasila), NU tidak dipojokkan oleh Pemerintah. Saya meningatkan bahwa dulu ada istilah ektrem tengah yaitu Pemerintah yang menafsirkan Pancasila sesuai kepentingannya dan menganggap tafsir lain pasti salah. Saat ini pun ada ektrem tengah yaitu pihak yang merasa paling Pancasilais dan paling membela NKRI.

Kelompok kiri dalam konteks saat ini menurut saya adalah kelompok liberal dan kelompok kanan adalah Abu Bakar Baasyir dan kawan-kawan serta HTI. Kelompok liberal adalah yang memperjuangkan HAM dalam tafsiran Barat.

Semoga apa yang saya sampaikan secara singkat itu bisa menjadi masukan yang membuka wawasan dan cakrawala pembaca, khususnya dari kalangan mahasiswa dalam menanggapi derasnya arus informasi yang mungkin membuat mereka tidak seimbang dalam membuat penilaian dan kesimpulan.


*Disampaikan dalam seminar Bedah Pemikiran Tiga Rektor Unhasy di Pesantren Tebuireng pada Sabtu (17/03/2018).