sumber gambar: www.google.com

Oleh: Zulfikri*

Muhammad Ma’shum bin Ali bin Abdul Muhyi Al Maskumambangi, nama lengkap dari KH. Ma’shum Ali, lahir di Desa Maskumambang, Gresik pada tahun 1305 H/1877 M. Di Pondok Pesantren yang didirikan sang kakek, Kiai Abdul Jabar. KH. Ma’shum Ali anak pertama dari Kiai Ali dan Nyai Muhsinah.

KH. Ma’shum Ali mengahabiskan masa kecilnya di pesantren dengan belajar kepada ayahnya, Kiai Ali, yang merupakan ulama yang ikut berkiprah dalam mengajar di Pesantren Maskumambang. Selain belajar pada ayahnya.

Kiai Ma’shum juga belajar pada pamannya, Kiai Faqih Maskumambang. Pada pamannya KH. Ma’shum belajar berbagai disiplin ilmu agama, salah satunya ilmu falak yang dikuasai oleh Kiai Faqih.

Setelah belajar pada ayah dan pamannya, Kiai Ma’shum melanjutkan belajarnya di Pesantren Tebuireng. Kiai Ma’shum termasuk santri generasi awal asuhan KH. Hasyim Asy’ari.

Majalah Tebuireng

Selain dituntut belajar, para santri juga harus siap berjuang melawan penjajah yang sering kali menganggu aktivitas para santri. Di Pesantren Tebuireng, Kiai Ma’shum belejar berbagai ilmu agama, salah satunya ilmu Hadis yang memang diungguli oleh pengasuhnya.

Selama belajar di Pesantren Tebuireng, Kiai Ma’shum memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh teman santri yang lain. Kiai Ma’shum santri yang cerdas. Hal ini yang kemudian membuat Kiai Hasyim Asy’ari menaruh perhatian dan mengambil mantu untuk anaknya, Nyai Khairiyah.

Setelah melakukan akad nikah, Kiai Hasyim Asy’ari memerintah Kiai Ma’shum untuk menunaikan haji dan mematangkan ilmunya di Haramain.

Menimba ilmu kepada guru dan sahabat Kiai Hasyim Asy’ari, seperti Syaikh Baqir al-Jukjawi, Syaikh Umar Hamdan al-Mahrusi, Syaikh Umar ibn Sholeh al-Samarani, dan Syaikh Mahfudz al-Termasi yang merupakan seorang pakar qiraah, disamping seorang musnid, faqih, dan ahli Hadis.

Kecerdasan Kiai Ma’shum Ali tidak dapat diragukan lagi. Selain berguru kepada para Ulama ternama. Kecerdasan Kiai Ma’shum juga bisa dibuktikan dengan banyaknya karya yang dimilikinya.

Antara lain sebagai berikut:

1. Kitab Amstilatu al-Tashrifiyyah Kitab ini menerangkan Ilmu Sharaf, yang merupakan ilmu penting dalam mendalami bahasa Arab. Kitab ini diapresiasi oleh banyak kalangan, karena susunannya yang sistematis, sehingga mudah dipahami. Kitab ini diberi pengantar oleh Menteri Agama Republik Indonesia (1965).

2. Kitab Badi’u al-Mistal fi Hisabi al-Sinin wa al-Hilal Kitab ini menjelaskan ilmu Falak. Kiai Ma’shum berpatokan yang menjadi pusat peredaran alam semesta bukanlah Matahari seperti teori yang telah ada, melainkan bumi yang menjadi pusat peredaran alam semesta.

3. Kitab al-Darusu al-Falakiyyah Kita ini juga menjelaskan ilmu Falak. Di dalam kitab ini menjelaskan tentang ilmu hitung, logaritma, almanac masehi dan hijriah, dan posisi matahari.

Menurut KH. Abdul Hakim Mahfudz atau Gus Kikin, kitab ini dikarang ketika Kiai Ma’shum sedang menjalani proses ibadah haji, seperti kitab sebelumnya, Kitab Badi’u al-Mistal fi Hisabi al-Sinin wa al-Hilal.

4. Kitab Fathu al-Qadir fi-ajaibi al-Maqadir Kitab ini menjelaskan ukuran yang berkaitan dengan amalan agama, seperti nisabnya emas, beras jagung, jarak qashar shalat, dan lain-lain.

Selain empat kitab di atas, Kiai Ma’shum masih mempunyai karyanya yang lain. Tetapi belum sempat disusun hingga akhir hayatnya.

Berdasarkan uraian di atas Kiai Ma’shum Ali adalah terkenal sebagai santri yang produktif. Sama halnya dengan gurunya, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.

Ia meneladani betul kiprah gurunya dalam mengapresiasikan sebuah ilmu, salah satu karya monumental beliau adalah Amsilatu al-Tashrifiyyah. Kitab ini membahas seputar metode cepat dalam mempelajari ilmu Sharaf. Berbagai pondok pesantren telah banyak yang mengkajinya. Ini menjadi bukti bahwa keilmuan Kiai Ma’shum Ali diterima di khalayak umum.

Disisilain, beliau juga menekuni ilmu Falak. Mempelajari ilmu ini tentunya harus memahami Matematika dengan bagus. Hal ini menjadi bukti bahwa Kiai Ma’shum Ali adalah tokoh yang menimba berbagai ilmu, yakni memadukan antara ilmu umum dengan agama.

Keduanya sama-sama dicari dan tidak memilih salah satu dari kedua ilmu tersebut. Tentu, kita selaku santri harus meneladani perhatian beliau terhadap ilmu pengetahuan. Apalagi pada zaman sekarang ilmu agama dapat hilang apabila tidak diimbangkan dengan ilmu pengetahuan. 

Teknologi semakin canggih, zaman serba modern, sehingga menuntut perbuatan manusia tak beraturan. Bagi yang agamanya kuat tidak akan termakan arus perkembangan. Menjadi tokoh yang produktif adalah ciri orang islam yang pekerja keras, ia berpikir lalu mengapresiasikan dalam bentuk tindakan.

Sebenarnya ini sindiran keras bagi umat muslim yang lemah dan malas. Kemalasan akan mendatangkan musibah. Islam menghendaki ummatnya kuat, terutama soal ilmu pengetahuan. Kekuatan adalah awal kebangkitan. Dan dengan ilmu pengetahuan kita dapat menumpas kejahililan.

Sumber: Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari (2019: 9) 

*Mahasiswa Unhasy Tebuireng Jombang.