Oleh : Yayan Musthofa*

 

Salah satu tradisi menarik di bulan ramadlan adalah semaraknya televisi menyuguhkan serial “Islami”, mulai dari sinetron, iklan, lawakan, berita dan program lainnya. Artis yang biasanya tidak berkerudung menjadi berukut tertutup semua badannya, obrolan sinetron percintaan dibumbui dalil-dalil, humor bertemakan Islam, begitu seterusnya.

Hal tersebut menjadi sumber inspirasi tersendiri bagi pengkaji keislaman dan santri pesantren untuk sekedar mengkritik penampilan luar yang mendadak “Islami”. Baik tertuangkan dalam tulisan media ataupun hanya sekedar menguap dalam obrolan warung kopi.

Terlepas dari penampilan design busana yang bersifat “bisnis” melalui iklan gratis yang dihidangkan artis sinetron agar penikmatnya berhasrat untuk membeli busana serupa. Mungkin juga memang si artis ingin menghormati bulan penuh berkah ini, atau hanya sekedar mengikuti trend terkini karena melihat temannya berbondong-bondong berbusana “rapet”. Saya kira, hal tersebut adalah satu point plus bagi mereka yang sudah bersusah payah bersolek di bulan ramadlan.

Majalah Tebuireng

Pernah suatu ketika, waktu proses belajar keislaman di Cape Town, saya mengenakan celana jean dan berbaju lengan panjang untuk shalat Jumat dengan alasan sekalian menikmati hari libur mingguan setelah shalat Jumat. Sontak teman akrab saya, Isa Abdul Majid asal Trinidad, berkomentar halus “Begini kah kamu menghormati Jumat untuk shalat?”. Itu dikarenakan kewajaran berbusana untuk shalat di sana mengenakan jubah Moroccan Style atau disebut Jalaba, seperti sarung yang wajar digenakan di Indonesia untuk shalat.

Dari situ kemudian, saya menyadari bahwa penghormatan dhahir (performa luar), baik dalam pakaian, ucapan “suka memuji dan support”, serta hal lainnya yang bersifat positif menjadi penting untuk diperhatikan. Imam al-Ghazali memberikan ilustrasi dalam Ihya’ Ulumiddin, tentang seseorang yang mengerti bagaimana performa menghadap raja dari segi berpakaian dan tindak tanduknya. Akan tetapi orang itu tidak melakukan apa yang ia ketahui itu . Lantas menghadap raja dengan pakaian kumuh dan tindak tanduk yang tidak disukai raja. Lalu apa gunanya pemahaman untuk menyenangkan raja jika tidak diamalkan?

Ramadlan adalah bulan yang penuh diberkahi, dan patut bahkan keharusan untuk memuliakannya dengan beramal baik sebanyak mungkin. Salah satu penghormatan itu bisa juga dengan berpakaian yang sopan seperti yang ditampilkan para artis edisi ramadlan. Barangkali dengan sikap menghormati bulan penuh berkah ini, kemudian seseorang itu menjadi tersirami hatinya dan berubah menjadi lebih baik setelah Ramadlan.

Kita tidak bisa menghakimi secara universal bahwa mereka yang berpenampilan anggun selama bulan Ramadlan ini adalah kamuflase semata. Seperti kisah sahabat Nabi, Usamah Bin Zaid di Hurawah yang membunuh seorang kafir yang sudah bersyahadat menyerah perang dengan landasan bahwa masuknya mereka dalam Islam hanya karena takut mati dan minta perlindungan, maka kemudian Nabi Saw meluruskan perbuatannya.

Tentang hati, hanya Allah SWT yang tahu, tapi penampilan luar, kita bisa menilai dengan nalar sehat manusiawi. Bukankah Ibn Athoillah menuliskannya dalam karyanya al-Hikam, bahwa iman yang perlu disyukuri itu ada dua macam, pertama syukur karena dikarunia iman (al-ijad), dan kedua adalah syukur karena ketetapan iman itu (al-idam). Maksudnya, keimanan manusia itu bisa saja berubah dari detik satu ke detik berikutnya. Bisa saja seorang itu mukmin dalam detik pertama menjadi kafir dalam detik kedua kemudian kembali lagi muslim dalam detik ketiga dan seterusnya. Bisa jadi si artis itu dalam beberapa detik sempat terbesit keikhlasan total kepada Tuhannya dengan menghormati bulan berkah ini, lantas malah itu yang diterima Allah SWT?

Berangkat dari yang dhahir

Berpakaian elegan “berukut” tidak harus mahal. Santri yang biasanya tertutup rapi namun sederhana tubuhnya di pesantren, juga terlihat anggun. Hanya karena sudah menjadi wajar, maka tidak menjadi menarik dibicarakan. Busana “Islami” Cape Town juga ala kadarnya, tidak ada bedanya antara Ramadlan dengan bulan Biasanya.

Idealnya memang, harus ada keseimbangan antara yang dhahir (outer) dan yang batin (spiritual). Sedangkan, berjibaku dengan spiritual tidaklah pernah ada hentinya sampai kita benar-benar telah meninggal dunia, dari detik ke detik. Oleh karenanya Nabi menyebutnya sebagai Jihadul Akbar, perang besar. Akan tetapi performa luar, bisa kita jadikan tradisi seperti edisi Ramadlan televisi ini. Baik dari segi pakaian, tindak tanduk, tutur kata dan seterusnya yang menyenangkan bagi orang lain untuk menjaga martabat manusia.

Dalam tarekat misalnya, kita akan menemui usaha-usaha dhahir, melalui dzikir atau amalan yang mendorong kuatnya batin. Orang yang dzikir, belum tentu hatinya sudah tertata. Tapi dzikir membantu seseorang untuk menata hati. Sekali lagi, pertarungan hati tiada habisnya. Maka selalu dibutuhkan dorongan luar semisal dzikrullah guna terus mensupport kekuatan tentara hati dalam memerangi nafsu.

Tampilan luar pun, baik pakaian, dzikir, ucapan baik, dan semaisalnya bisa membahayakan tentara hati. Imam al-Ghazali membahas detil dalam Bab Ghurur (terkelabuhi) dalam Ihya’ Ulumiddin. Dalam bab itu al-Ghazali mengatakan bahwa penampilan luar itu juga bisa bertransformasi menjadi sombong, pamer, dan semisalnya. Oleh karenanya selalu butuh koreksi diri luar dan dalam.

Beralandaskan pada kalimat “yang penting hatinya” kemudian tanpa memperhatikan performa luar menjadi sangat berbahaya bagi seseorang. Gamblangnya, performa luar diacuhkan tidak ditata guna menghormati sesama manusia sebagai makhluk sosial,  lantas berfokus menuju perjuangan batin yang selalu bertarung tiada henti. Seandainya diakhir hayat, tentara batin kita dikalahkan oleh tentara nafsu, maka kita rugi dua kali lipat dalam hitungan matematis. Dhahir jelek dimata orang, batin pun gagal diperjuangkan.

Oleh karenanya kenapa dhahir menjadi penting sebagai pintu gerbang yang perlu dijaga, sembari berperang dalam medan batin. Fiqh menjadi penting sambil mendalami tasawuf. Menyeimbangkan keduanya adalah kehidupan yang ideal.

Barangkali, si artis atau pelaku dibelakang layar berusaha memulai dari yang dhahir di bulan Ramadlan ini, sambil terus bertarung membenahi nafsu “bisnis, kamuflase, atau yang lain”. Dengan harapan mendapatkan berkah Ramadlan, dan kemudian menjadi lebih baik sampai akhir hayat. Siapa yang tahu? Yang jelas, mereka sudah mencoba menampilkan keeleganan dhahirnya di bulan penuh berkah ini. Allahu a’lam!

*Penulis adalah Mahasiswa Mahad Aly Hasyim Asy’ariTebuireng Jombang dan Kepala Divisi Balitbang Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng