Sapardi Djoko Damono (sumber gambar: www.google.com)

Oleh: M. Irkham Thamrin*

Ketika saya membuka smartphone tiba-tiba ada kabar seorang penyair besar yang dimiliki bangsa yang minim literasi ini telah pergi. Dialah Sapardi Djoko Damono yang karnya abadi direlung jiwa-jiwa yang sepi mulai Hujan Bulan Juni sampai Lirik Klasik Parsi. Jujur sebelumnya saya tidak tahu secara detail sosok yang karyanya mampu menembus ruang dan waktu ini. Hanya sebatas melihat story media sosial kawan-kawan, sahabat, dan kolega saja tidak lebih dari itu. Kadang juga screenshoot dan merepost ulang karena memang sastranya sarat makna dan nilai tersendiri di relung hati.

Layaknya orang yang gagap dengan tekhnologi, saya mencoba mencari di mesin pencarian google untuk mengenal lebih jauh siapa sebenarnya sosok SDD ini. Awalnya saya hanya membaca dari berbagai media seperti detik, kompas, dan beberapa media mainstream lainya. Setelah mencari dan searching akhirnya saya fokus pada laman yang sering menjadi rujukan mahasiswa kekinian yang mengandalkan control c dan control v yaitu wikipedia. Dari wikipedia saya sedikit lega walapun belum puas menemukan ulasan dan profil singkat tokoh sastra kelahiran Surakarta ini.

Sapardi Djoko Damono 

(lahir di Surakarta20 Maret 1940 – meninggal di Tangerang Selatan19 Juli 2020 pada umur 80 tahun) adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka. Ia kerap dipanggil dengan singkatan namanya, SDD. SDD dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum.[1]

Majalah Tebuireng

Masa mudanya dihabiskan di Surakarta (lulus SMP Negeri 2 Surakarta tahun 1955 dan SMA Negeri 2 Surakarta tahun 1958). Pada masa ini, SDD sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang Bahasa Inggris di Universitas Gadjah MadaYogyakarta.

Tahun 1973, SDD pindah dari Semarang ke Jakarta untuk menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra Horison. Sejak tahun 1974, ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, tetapi kini telah pensiun. SDD pernah menjabat sebagai dekan FIB UI periode 1995-1999 dan menjadi guru besar. Pada masa tersebut, SDD juga menjadi redaktur majalah Horison, Basis, Kalam, Pembinaan Bahasa Indonesia, Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, dan country editor majalah Tenggara di Kuala Lumpur. Saat ini SDD aktif mengajar di Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta sambil tetap menulis fiksi maupun nonfiksi.

Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986, SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar. Ia menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri. Beliau meninggal dunia pada tanggal 19 Juli 2020 di Rumah Sakit Eka BSD, Tangerang Selatan setelah sempat dirawat karena penurunan fungsi organ tubuh.

Sajak-sajak Sapardi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah. Ia tidak saja aktif menulis puisi, tetapi juga cerita pendek. Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esai, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola. Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti “Aku Ingin” (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), “Hujan Bulan Juni”, “Pada Suatu Hari Nanti”, Akulah si Telaga”, dan “Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari”. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi oleh mantan-mantan mahasiswanya di FIB UI, yaitu Ags Arya DipayanaUmar MuslimTatyana SoebiantoReda Gaudiamo, dan Ari Malibu. Dari musikalisasi puisi yang dilakukan mantan-mantan mahasiswa ini, salah satu album yang terkenal adalah oleh Reda dan Tatyana (tergabung dalam duet “Dua Ibu”). Selain mereka, Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.

Berikut ini adalah karya-karya SDD (berupa kumpulan puisi) serta beberapa esai.

  • Dukamu abadi (1969)
  • Lelaki Tua dan Laut(1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
  • Mata Pisau(1974)
  • Sepilihan Sajak George Seferis(1975; terjemahan karya George Seferis)
  • Puisi Klasik Cina(1976; terjemahan)
  • Lirik Klasik Parsi(1977; terjemahan)
  • Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak(1982, Pustaka Jaya)
  • Perahu Kertas(1983)
  • Sihir Hujan(1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
  • Water Color Poems(1986; translated by J.H. McGlynn)
  • Suddenly The Night: The Poetry of Sapardi Djoko Damono(1988; translated by J.H. McGlynn)
  • Afrika yang Resah(1988; terjemahan)
  • Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia(1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
  • Hujan Bulan Juni(1994)
  • Black Magic Rain(translated by Harry G Aveling)
  • Arloji(1998)
  • Ayat-ayat Api(2000)
  • Pengarang Telah Mati(2001; kumpulan cerpen)
  • Mata Jendela(2002)
  • Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?(2002)
  • Membunuh Orang Gila(2003; kumpulan cerpen)
  • Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia Periode Awal(1870an – 1910an)” (2005; salah seorang penyusun)
  • Mantra Orang Jawa(2005; puitisasi mantra tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
  • Before Dawn: The Poetry of Sapardi Djoko Damono(2005; translated by J.H. McGlynn)
  • Kolam(2009; kumpulan puisi)
  • Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita(2012; kumpulan puisi)
  • Namaku Sita(2012; kumpulan puisi)
  • The Birth of I La Galigo(2013; puitisasi epos “I La Galigo” terjemahan Muhammad Salim, kumpulan puisi dwibahasa bersama John McGlynn)
  • Hujan Bulan Juni: Sepilihan Sajak(edisi 1994 yang diperkaya dengan sajak-sajak sejak 1959, 2013; kumpulan puisi)
  • Trilogi Soekram(2015; novel)
  • Hujan Bulan Juni(2015; novel)
  • Melipat Jarak(2015, kumpulan puisi 1998-2015)
  • Suti(2015, novel)
  • Pingkan Melipat Jarak(2017, novel)
  • Yang Fana Adalah Waktu(2018, novel)

Dalam Musikalisasi puisi

Musikalisasi puisi karya SDD dimulai pada tahun 1987 ketika beberapa mahasiswanya membantu program Pusat Bahasa, membuat musikalisasi puisi karya beberapa penyair Indonesia. Kegiatan tersebut sebagai upaya mengapresiasikan sastra kepada siswa SLTA. Saat itulah tercipta musikalisasi Aku Ingin oleh Ags Arya Dipayana dan Hujan Bulan Juni oleh Umar Muslim. Kelak, Aku Ingin diaransemen ulang oleh Dwiki Dharmawan dan menjadi bagian dari soundtrack “Cinta dalam Sepotong Roti (1991), yang dibawakan oleh Ratna Octaviani.

Beberapa tahun kemudian, lahirlah album “Hujan Bulan Juni” (1990) yang seluruhnya merupakan musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Duet Reda Gaudiamo dan Ari Malibu adalah bagian dari sejumlah penyanyi, yang merupakan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Album “Hujan Dalam Komposisi” menyusul dirilis pada tahun 1996 dari komunitas yang sama.

Karena banyaknya permintaan, album “Gadis Kecil” (2006) diprakarsai oleh duet Dua Ibu, yang terdiri atas Reda Gaudiamo dan Tatyana dirilis, lalu dilanjutkan oleh album “Becoming Dew” (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu. Ananda Sukarlan pada Tahun Baru 2008 juga mengadakan konser kantata “Ars Amatoria” yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi SDD serta karya beberapa penyair lain.

Karya karya Nonsastra

  • Sastra Lisan Indonesia(1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.
  • Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan
  • Dimensi Mistik dalam Islam(1986), terjemahan karya Annemarie Schimmel “Mystical Dimension of Islam”, salah seorang penulis.
  • Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia(2004), salah seorang penulis.
  • Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas(1978).
  • Politik Ideologi dan Sastra Hibrida(1999).
  • Pegangan Penelitian Sastra Bandingan (2005).
  • Babad Tanah Jawi(2005; penyunting bersama Sonya Sondakh, terjemahan bahasa Indonesia dari versi bahasa Jawa karya Yasadipura, Balai Pustaka 1939).
  • Bilang Begini, Maksudnya Begitu(2014), buku apresiasi puisi.
  • Alih Wahana(2013)
  • Kebudayaan (Populer) (di Sekitar) Kita(2011)
  • Tirani Demokrasi(2014)

Inilah secuil ulasan dan profil dari tokoh dan karya  yang barusaja meninggalakn kita ini yaitu Sapardi Djoko Damono yang mana darinya kita belajar ketulusan. Tulus dalam pengabdian, pengorbanan, dan cinta. Seoarang yang karyanya melampui usianya yang punya nasihat yang fana adalah waktu kita abadi memungut detik demi detik merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari lupa untuk apa.

Dan sosok yang selalu mensupport siapapun untuk bisa menjadi apapun dengan baitnya siapapun memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan apapun, selama usahanya dilandasi dengan pengertian.

Selamat jalan pak Sapardi, hujan air mata di bulan Juli.

Ruang Inspirasi, 19 Juli 2020

*Penulis adalah ketua PC PMII Jombang.