sumber ilustrasi: nu.or.id

Oleh: Fathur Rohman*

Perbincangan tentang khilafah ramai lagi, padahal organisasi yang mengusung ide ini telah dibubarkan oleh pemerintah Indonesia. Diskusi tentang khilafah memang tak pernah ada kesepakatan sehingga membutuhkan ketegasan moderator untuk mengakhirinya, walaupun tentu hasilnya bisa ditebak yaitu ada yang pro dan ada yang kontra atau tidak setuju.

Bagi yang setuju pastilah menyampaikan dalil-dalil tentang khilafah, walaupun di Al Qur’an tidak ditemukan kata خلافة namun mereka merujuk kepada kata derivasinya untuk memperkuat argumentasinya seperti kata خليفة, ليستخلفنهم, dan lain-lain.

Bagi yang tidak setuju dengan penggunaan kata خلافة juga menyampaikan dalil dalilnya, bahwa kata خليفة dan derivasinya dalam Al Qur’an tidak bermakna pemimpin politik, melainkan bermakna nubuwwah (penunjukkan langsung dari Allah sebagai khalifatullah), dan menyampaikan bahwa bayak dalil-dalil lain yang menggunakan istilah selain khalifah untuk masalah politik seperti istilah إمارة, إمامة, dan lain-lain yang pemimpinnya bisa disebut إمام, أمير, أولى الأمر dan lain-lain yang semuanya juga memiliki dalil.

Bila kita mencermati argumen-argumen yang disampaikan baik dari kelompok yang setuju khilafah atau kelompok yang tidak setuju, kita menemukan kesepahaman makna diantara mereka yaitu tentang tujuan ditegakkannya khilafah, imamah, imarah, mamlakah, daulah, atau yang lainnya yaitu memberikan kemaslahatan kepada umat, khususnya kepada umat Islam yang dalam artian mereka adalah umat Islam bebas dalam menjalankan syariatnya, mendapatkan keadilan, keamanan, kedamaian, dan kemaslahatan lainnya.

Majalah Tebuireng

Itulah kenapa para sahabat yang diberi gelar sebagai Al khulafa’ Ar Rasyidun tidak mempermasalahkan tentang julukan yang diberikan kepada mereka, sebagai contoh Sayyida Abu Bakar Assiddiq tidak menolak ketika dijuluki dengan khalifah Rasulullah dan menolak dijuluki kholifatullah. Bila kita teliti kenapa beliau menolak julukan tersebut, kita temukan bahwa ayat yang menyebut kata khalifah baik yang bercerita tentang Nabi Adam atau Nabi Daud itu bermakna Nubuwwah (kholifatullah).

Selanjutnya Sayyida Umar Bin Khotob juga menolak dijuluki sebagai khalifah Rasulullah, namun beliau menerima dijuluki khalifah-khalifah Rasulullah yang artinya adalah pengganti-penggantinya Rasulullah atau dengan kata lain bermakna penggantinya Sayyidina Abu Bakar Assyiddiq, dan beliau juga tidak menolak ketika dijuluki amirul mu’minin. Kita tidak pernah mendengar cerita beliau marah-marah kepada rakyatnya agar memanggilnya khalifah saja, jangan memanggil amirul mu’min. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa khalifah itu hanyalah sebutan istilah pemimpin dalam kekuasaan politik saja, sehingga beliau menyadari bisa disebut khalifah, bisa juga disebut Amirul Mu’minin. Belum lagi cerita tentang Sayyidina Utsman Bin Affan dan Sayyidina Ali Bin Abi Tholib.

Keempat shahabat Nabi tersebut disebut sebagai khalifah karena beliau-beliau menjadi pengganti Nabi sebagai pemimpin politik, bukan sebagai pemimpin agama, karena memang pewaris Nabi adalah Ulama’ dalam masalah agama sebagaimana haditsnya.

Bila kita analisa gelar keempat sahabat Nabi tersebut terdiri dari dua kata yaitu kata Khulafa’ dan kata Rosyidun. Kata khulafa’ merupakan bentuk jama’ dari kata khalifah yang artinya pengganti, jadi beliau-beliau disebut khulafa’ karena menggantikan posisi Nabi sebagai pemimpin politik setelah Nabi wafat. Sedangkan kata Rasyidun adalah bentuk jama’ dari kata Rasyid yang artinya adalah orang yang menunjukkan kepada kabaikan (kemaslahatan) atau orang yang senantiasa berusaha membimbing kepada kebaikan/kemaslahatan ummat yang identik dengan makna keadilan, keamanan, kedamaian, kemakmuran, dan makna kemaslahatan yang lainnya.

Dari uraian di atas masih perlukah kita berdebat tentang penggunaan Istilah Khilafah atau Khalifah, sementara sahabat Nabi yang termasuk dari salah satu dari Khulafa’ Rasyidin saja tidak mempermasalahkan istilah penggunaan nama khalifah atau amirul mu’minin untuk diri beliau, bahkan sejarah telah mencatat bahwa beliau dikenal sebagai pemimpin yang adil, bijaksana, dapat membawa kejayaan umat Islam, dan perestasi-perestasi baik lainnya.

Untuk itulah, bukankah lebih baik energi kita kerahkan untuk mewujudkan cita-cita Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang disebut Al Kulafaurrosyidin tersebut yaitu menciptakan keadilan, kedamaian, keamanan, kemaslahatan, dan kebebasan umat Islam dalam menjalankan syariatnya dalam hal pokok-pokok ajaran agamanya, dari pada berdebat terus tentang keharusan menggunakan istilah khilafah.

Allahu a’lam bisshowab.

*Ketua Prodi dan dosen PBA Unhasy Jombang.