ilustrasi: masa silam

Oleh: Fadrika Hening Mangesti*

Kelam

Aku meremang menelan kelam
Jenuh akan napas yang kian lama kian memelas 
Rapuh raga; jiwa terseok mulut-mulut tetangga
Masih sanggupkah kuberlayar di samudera?

Nahkodaku telah pensuin usia 
Pilar-pilar kokoh mulai keropos dimakan masa
Di kapal sebesar ini aku terdampar sendiri 
Tenggelam enggan; berlayar sepi 

Badai hinggap berkali-kali, tapi Ia tak pernah ijinkan kuberhenti
Kapalku sering karam, tapi tak pernah dibuat tenggelam 
Entah mengapa, aku terus dipaksa berkelana di samudera fana ini
Aku lelah, tapi senyum rentanya beriku sihir untuk tetap jejak melangkah

Fana ini membuatku gila 
Aku terengah-engah berjalan menyamai mereka
Demi senyum Pusakaku terus berkibar, aku akan tetap berlayar 
Dan kataNya, “Tuhan selalu bersama orang-orang yang sabar.”

Januari, 2024



Hina

Akulah insan berselimut dosa
Busung dada; tegak kepala walakin hina
Terseok-seok menjalani lakon manusia
Mengerang mengeluh bila ditimpa coba

Akulah sang nista jalanan
Selalu mendikte ingin, melupa kewajiban
Tangan kotor ini selalu menengadah meminta
Kotor memang! Aku hanya datang disaat butuh saja

Akulah sang cacat yang nihil tanpaNya
Walakin berkali-kali kukhianati, Ia tetap setia
Afeksi dalam hirup napas ananta hitungannya
CintaNya terjaga sampai aku kembali padaNya

Januari, 2024



Ramai

Kepalaku penuh benang menggenang
Sudah coba kuurai tapi justru ramai
Aku tenggelam dalam jiwa yang kian malam
Mendadak lupa aku cara tertawa

Kadang aku menduga-duga akhir cerita
Namun nihil kutemukan jawabannya
Menari ke sana ke mari; aku tak bisa merasa lagi
Semuanya hambar dan hampa 

Entah apa cita-cita si gila ini
Kadang ingin kuterbang laiknya burung di angkasa
Atau menyelam dan terus berenang seperti ikan di samudera
Ah, kuakhiri saja ceritaku sendiri 

Di atas gedung tinggi menjulang
Nampak banyak kurang tapi tetap melahirkan pelangi
Lantas mataku yang buta kembali melihat lagi
Ternyata aku hanya kurang mendekat ke Pemilik tempat pulang

Januari, 2024



 

Majalah Tebuireng