Sumber: http://www.faktakita.com/

Oleh: Ipoel Simatoepang*

Pak Sastro sebagai kepala sekolah yang baru diangkat begitu bersemangat menjalani hari-hari baru sebagai pejabat nomer satu di sekolah. Sebagai kepala sekolah baru dengan berbagai macam idealisme diusungnya agar sekolahnya menjadi sekolah yang maju dan berprestasi. Berbagai macam pelatihan pun juga sudah diikutinya untuk menjadi bekal menjabat kepala sekolah.

Jabatan kepala sekolah yang diperolehnya dengan segala macam jalan harus dilalui agar mendapatkan posisi yang didambakan oleh sebagai kalangan dianggap sebagai puncak karier sehingga harus dicapai dengan berbagai macam perjuangan yang begitu berliku-liku.

Sebagai kepala sekolah baru tentunya Pak Sastro sudah paham betul dengan berbagai macam tugas pokok dan fungsinya termasuk ilmu tentang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang diperolehnya ketika mengikuti pembekalan sebagai calon kepala sekolah. In service learning diikuti dengan tertib dan lancar. On the job learning dilalui dengan baik.

Manajemen Berbasis Sekolah menjadi satu keharusan materi yang dipahami sampai di luar kepala. Pemahaman MBS di luar kepala ini dapat menjadi kekuatan kepala sekolah dalam mengatur manajemen di sekolah. MBS ini diterapkan sudah cukup lama di sekolah-sekolah di Indonesia.

Majalah Tebuireng

Kalau dilihat dari asal usulnya, MBS mulai diperkenalkan pada 1999 oleh Departemen Pendidikan Nasional melalui proyek perintisan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), sehingga MBS merupakan model otonomi pendidikan yang diterapkan di sekolah. Sampai hari ini kalau dihitung-hitung MBS sudah berjalan hampir 20 tahun dan kita sama-sama dapat melihat hasil diterapkannya MBS pada mutu pendidikan Indonesia saat ini. Apakah beranjak semakin maju atau stagnan?

Selama hampir 20 tahun pastinya yang berubah adalah banyaknya berbagai macam pelatihan MBS yang diikuti oleh sekolah. Apakah pelatihan itu dilakukan oleh Kementerian Pendidikan ataupun Kementerian Agama. Masing-masing mengadakan pelatihan dengan versi sendiri-sendiri. Begitu juga lembaga-lembaga donor dengan berbagai macam programnya juga telah memberikan pelatihan MBS ini sampai pada akar-akarnya.

Bila dilihat secara seksama Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupkan salah satu strategi wajib yang Indonesia tetapkan sebagai standar dalam  mengembangkan keunggulan pengelolaan sekolah. Penegasan ini dituangkan dalam USPN Nomor 20 tahun 2003 pada pasal 51 ayat 1 bahwa pengelolaan satuan pendidikan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah. Prinsip-prinsip ini memerlukan pengawalan dan pengetatan dalam pelaksanaannya melalui dukungan yang signifikan dari masyarakat baik dana maupun tenaga. Masyarakat yang mengulurkan tangannya untuk berbuat membantu sekolah. Masyarakat yang memberikan pendapatnya yang positif untuk membantu mengembangkan sekolah. Masyarakat yang ringan tangan untuk memberikan sumbangan ke sekolah. Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) yang mendukung pengembangan sekolah bukan malah menakut-nakuti kepala sekolah sampai ke-puyuh-puyuh.

Pak Sastro paham betul mengenai  manajemen atau pengelolaan merupakan komponen integral dari keberhasilan sekolah dalam mencapai visi, misi, dan tujuan sekolah. Materi diserap di luar kepala ketika in service learning. Pokoknya belajar sampai ngelontok memahami MBS dari narasumber. Tetapi ketika kembali ke sekolah, implementasi MBS tidak seperti yang ada di dalam teori. Banyak hal yang harus dilakukan agar anggaran yang tersedia dapat cukup membahagiakan sesama.

Secara kasat mata MBS memang tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan di satuan pendidikan karena dengan  manajemen yang baik, maka  tujuan pendidikan dapat diwujudkan secara optimal, efektif, dan efisien melalui perencanaan baik di RKJM, RKS, RKT dan RKAS. Ini pun dapat menjadi masalah bila anggaran yang harusnya untuk mencukupi ini tidak ada.

Akhirnya, MBS (Manajemen Bergerundel Sekolah) dapat dialami banyak sekolah ketika kepala sekolah dan tim pengembang sekolah membuat rancangan ideal sekolah tetapi anggaran yang dibutuhkan tidak tersedia atau disediakan. Anggaran yang diperlukan untuk operasional sekolah saja masih ngos-ngosan untuk mencukupinya dari anggaran bantuan operasional sekolah yang begitu ribet aturannya dan laporannya.

Kepala sekolah memang dapat menerapkan MBS (Manajemen Bergerundel Sekolah) karena yang diprogramkan hanya melaksanakan operasional sekokah bukan pada pencapaian visi sekolah. Akhirnya kepala sekolah hanya gerundel atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan “menggerutu” tanpa akhir. Mengapa hanya menggerutu tanpa akhir? Karena tidak ada yang dapat mengakhiri penderitaan ini di sekolah.

Penderitaan untuk melaksanakan konsep tersebut berlaku di sekolah yang memerlukan manajemen yang efektif dan efisien dalam kerangka menumbuhkan  kesadaran akan pentingnya manajemen berbasis sekolah di satuan pendidikan. Menggerutu dan konsultasi dengan pengawasnya bisa jadi malah mendapatkan berbagai macam “permen” yang justru menakut-nakuti sekolah untuk dapat keluar dari penderitaan kekurangan anggaran yang mendukung program sekolah untuk mencapai visi yang diinginkan.

Belum lagi, sekarang ini adrenalin kepala sekolah ditambahi dengan saber pungli yang terus disosialisasikan di mana-mana termasuk pada satuan pendidikan. Kepala sekolah ketika mendengar kalimat saber pungli bisa ndredek tidak karu-karuan yang dapat membuat jantung berdetak tidak beraturan, dapat meloncat-loncat tanpa henti. Ini dapat menjadi hantu yang menakutkan dengan 58 poin dan sudah beredar luas di masyarakat. Lima puluh depan poin itu bagi sekolah menjadi penghalang untuk berkreasi dan berinovasi bersama masyarakat.

Dapat dicoba membaca 58 poin saber pungli yang tidak boleh dilakukan di sekolah, misalnya pada poin Nomer 12. Membawa kue/makanan syukuran. Jika syukuran saja terkena saber pungli, sekolah tidak dapat mengadakan sykuran untuk mensyukuri nikmat yang telah dilakukan. Padahal syukuran dan tumpengan merupakan budaya asli orang Indonesia yang biasa bersyukur atas nikmat dari Allah swt. Kalau urusan kecil begini saja sudah menjadi ketakutan tanpa batas kepala sekolah maka kewenangan sekolah otomatis akan berkurang dengan tragis.

MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) yang sesungguhnya memberikan kewenangan penuh kepada sekolah dan guru dalam mengatur pendidikan dan pengajaran, merencanakan, mengorganisasi, mengawasi, mempertanggungjawabkan, mengatur, serta memimpin sumber-sumber daya insani serta barang-barang untuk membantu pelaksanaan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan sekolah hanya sebatas teori yang enak dibaca. Namun, ini sulit di implementasikan dengan baik karena adanya aturan yang menumpang dan menindih.


*) Penikmat Pendidikan