Sumber gambar: google.com

Oleh: Al Fahrizal*

Tak ada gading yang tak retak, tak ada lautan yang tak berombak.

Pepatah di atas paling tepat jika dikaitkan dengan problematika hidup. Karena setiap yang mengaku hidup pasti akan dilibatkan dengan berbagai masalah. Tidak ada orang yang hidup tak punya masalah. Karena masalah dan hidup merupakan sunnatullah yang sudah semestinya harus begitu. Sejak manusia terlahir ke alam dunia, sejak itu pula ia akan dihadapkan dengan masalah.

Masalah dikejar deadline, garapan yang tak kunjung selesai, desakan atasan, hingga asmara yang masih bertepuk sebelah tangan. Masalah datang seolah tiada menemui titik akhir. Mulai yang kaitannya pribadi, orang lain, komunitas, hingga lembaga yang sedang dilibatkan. Seperti piramida yang tersusun rapi dan menukik ke atas. Semakin tinggi, masalah yang dihadapi juga semakin tajam dan berisiko. Namun, jika diamati lagi piramida yang tinggi tidak pernah goyah sedikitpun berkat pondasi kokoh yang dibangun di bawah. 

Hal ini berbanding sama dengan cara kita menghadapi masalah, artinya perlu pondasi berpikir yang kuat dan kokoh agar masalah sebesar apa pun tidak mempengaruhi kebahagian dan keharmonisan dalam hidup. 

Ada sebuah resep berpikir yang diangkat oleh KH. Bahaudin Nursalim (Gus Baha) dari kitab Al-Hikam karangan Syaikh Ibn Atha’illah As-Sakandari, dalam kitab tersebut dituliskan:

Majalah Tebuireng

لِيَقِلَّ مَا تَفْرَحُ بِهِ يَقِلَّ مَا تُحْزِنُ بِهِ 

Usahakan standar yang membuatmu senang itu rendah, maka sesuatu yang membuatmu susah juga sedikit.

Merupakan hal yang manusiawi saat ekspektasi yang ada dalam benak, tidak sesuai dengan realita yang tampak, lalu kemudian manusia menjadi kecewa. Dengan kata lain, manusia sering merasa sedih dan sesal saat berbagai rencana yang dibangun tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Sehingga, sering kali merasa kecewa, marah, sedih dan sikap negatif lainnya saat rancangan yang pikirkan melenceng atau bahkan gagal. 

Oleh karena itu, logika berpikir yang disampaikan oleh Gus Baha ini, jika ditanamkan dengan kuat, maka tidak akan menjadi masalah saat berbagai rancangan manusia gagal. karena masalah muncul saat realita tidak sesuai dengan ekspektasi manusia. Maka dari itu, ketika standar bahagia diturunkan, maka intensitas kecewa juga akan menurun. 

Gus Baha juga menceritakan bahwa Nabi Muhammad Saw pernah ditanya, “Yaa Rasulullah kenapa tidak menyiapkan makan untuk besok?.” Rasulullah menjawab, “Saya itu tidak yakin, jika hidup saya sampai besok.” 

Demikianlah cara hidup nabi, di mana beliau hanya berpikir untuk hidup dua menit, dua detik. Sehingga beliau selalu merasa tenang dan tidak banyak berpikir ke arah lain. Saat kebanyakan manusia berpikir untuk lima tahun lagi dan seterusnya, maka sederhananya manusia akan jatuh dalam kekhawatiran, padahal tidak ada yang dapat menjamin bahwa ia akan hidup selama itu.

Manusia sering menaruh standar kebahagiaan yang tinggi, sehingga untuk senang saja, manusia perlu berusaha lebih. Padahal ada banyak hal-hal kecil dan sepele yang dapat membuat kita senang. Kerap kali seorang suami membayangkan, saat pulang kerja disambut istri, wajahnya segar berseri, dibuatkan kopi. Namun, saat melangkah ke dalam rumah, istri berpakaian seadanya, muka lelah mengurus rumah, bukan dibikinin kopi malah disuruh menidurkan bayi. Kecewa.

Kejadian seperti ini pasti jadi masalah, karena menaruh standar ideal kepada seorang istri. Pun demikian seorang kiai memasang standar harus punya pondok, santrinya ratusan, pakaiannya putih, sorbanan, dan lain-lain. Padahal menjadi kiai tidak harus memiliki ratusan santri, satu saja sudah cukup untuk diajar dan dibimbing. Wallahu’alam.

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari.