sumber ilustrasi: google.com

Oleh: Al Fahrizal*

Tenang, adem, syahdu, sunyi, dan tentram. Semua kata-kata di atas, barangkali terdengar gabut. Karena hakikatnya manusia adalah bergerak dan berkerja. Diam dan sunyi menunjukkan bahwa ketiadaan aktivitas pada diri seseorang tersebut. Artinya gabut.

Akan tetapi, itu ketika kita melihatnya dari sudut pandang miskin, atau konotasi duniawi. Ternyata, selama ini sebagian besar dari kita memandang dunia ini begitu sempit. Dunia dengan segala kelumit yang hadir dihadapan, tak hanya berhenti dibatas kerja, gerak, dan sukses. Hidup tak berhenti dipemikiran karl marx saja dimana hakikat manusia adalah beramal, tetapi hidup juga butuh pemikiran Descartes, “cogito ergo sum,” aku berpikir maka aku ada.

Karena sebagian besar tokoh besar dan terkenal, juga punya sisi sendiri untuk mengungkap pemikiran luar biasanya. Mereka butuh ruang sunyi untuk menemukan ide cemerlang dan tajam. Jika Rasulullah SAW sering uzlah ke gua hira, hingga Allah menyatakan siap untuk menerima wahyu perdana dan menyampaikannya. Maka, Soekarno butuh ruang renungan di daerah Ambugaga, Ende (sekarang sudah menjadi, Taman renungan Bung Karno) untuk merumuskan pertama kalinya nilai dasar pancasila.

Begitu luar biasanya, ketenangan dan ruang sunyi bagi pikiran manusia. Dalam berbagai ranah dan profesi, tak luput juga dunia sufi atau tasawuf. Tasawuf merupakan gaya hidup yang sangat penting bagi manusia, dimana manusia menggabungkan antara visi mistik dan visi yang rasional, sehingga pemikiran dan tindakannya benar-benar bersih dan suci. Sedang orang yang bertaswuf sering diistilahkan dengan kaum sufi.

Majalah Tebuireng

Dalam aliran tasawuf ada sebuah aktivitas di mana, manusia harus mensucikan diri dengan cara bertaubat, kemudian bersembah zikir kepada Rabbnya dalam ketenangan dan ruang sunyi. Hal ini bertujuan agar hubungan hamba dan Tuhannya semakin intens.

Ada aktivitas menarik yang sering kita lakukan sehari-hari. Yakni seruput kopi. Aktivitas sederhana dengan segudang manfaat dan sufistik.

Kita pasti sudah tahu manfaat kopi dari sisi medis, di mana kandungan zat kopi memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Hal ini dapat kita baca di banyak artikel yang tersebar membahas khasiat kopi dan lainnya. Akan tetapi jarang sekali kita ketahui bahwa kopi juga manjur dalam taqarrub atau pendekatan kepada Tuhan.

Dari Segelas Kopi Menjadi Wali

Sedikit menilisik sejarah, kopi ditemukan di daerah Habasyah (Abyssinia) daerah Ethiopia, afrika. Kopi sendiri ditemukannya sebagai sarana zikir dan belajar. Fenomena tidur atau ketiduran ketika ngaji maupun qiyamul lail (ibadah malam) itu sendiri sudah ada sejak zaman dahulu. Alkisah suatu hari seorang pengembara menemukan biji-bijian dari pohon kopi. Kemudian, setelah biji tersebut dikonsumsi, ajaibnya memberikan efek relaksasi bagi otak, kuat melek, dan menambah spirit ibadah. Setelah diketahui khasiatnya, mereka lalu menjadikan kopi sebagai konsumsi pokok hingga kopi tersebar ke penjuru negeri.[1]

Dilihat dari cerita sejarah, kopi sendiri ditemukan begitu mulia. Dimana kopi sebagai alat bantu ibadah kepada Allah SWT. Maka tidak berlebihan jika kami menulis judul artikel ini dengan “kopi jalur sufi.” Lantas, bagaimana bertasawuf dengan kopi?

Tasawuf sendiri dilihat dari berbagai definisi memiliki kesimpulan mensucikan hati dari berbagai penyakit dan kotorannya, serta tidak terlalu tergantung dengan hawa nafsu dunia.

Terkesan mudah dan gampang diucapkan, tetapi begitu sulit dilakukan. Karena hati manusia selalu saja berharap lebih dari apa yang telah menjadi kewajarannya. Maksudnya, perasaan suka dan cinta itu merupakan kewajaran bagi manusia, akan tetapi jika cinta tersebut sudah menginjak ranah mencintai, sehingga ia berharap untuk dapat memiliki apa yang dicintainya, hal ini lah yang tidak diartikan dalam tasawuf. Karena ranah memiliki itu bukan lagi ranah wajar manusia, sering kali kita lihat manusia menghalalkan segala cara agar dapat mendapatkan apa yang ia cintai, serta frustasi dan kecewa ketika kecintaannya tidak didapatkan. Ini berbahaya sekali teman.

Lalu, bagaimana kita mensufikan diri atau bertasawuf lewat ngopi?. Simak penjelasan berikut.

Mulai dari biji kopi itu sendiri ditanam dan prosesnya sampai menjadi bubuk adalah proses yang halal, hingga sampai ke tangan kita. Kemudian seduhan. Setiap adukan yang dibacakan asma Allah atau salawat kepada RasulNya adalah aktivitas yang sangat baik. Selain zikir merupakan sarana kita mendekatkan diri kepada Allah, zat air yang dibacakan hal-hal baik juga menjadi kebaikan bagi tubuh kita, begitu menurut para ahli yang meriset perubahan molekul air.

Belum lagi cara minum kita, sesuai dengan standar yang diajarkan Rasulullah. Sebelum masuknya kopi ke dalam rongga mulut, hendaklah terucal lafadz basmallah bukti bahwa segala tindakan ini ada karena izin dan restu Allah SWT. Tak ubahnya orang yang menyeruput kopi, biasanya selalu diakhiri dengan “aahh, mantap,” bagaimana jika diselingi juga dengan memuji Tuhan, karena hanya dengan secangkir kopi, kita dapat merasakan salah satu bentuk kenikmatan hidup ini.

Bukan ngopi namanya jika tidak ada obrolan bersama kawan ngopi. Maka, obrolan-obrolan selingan ngopi ini, sangat sufi kiranya jika kita isi dengan ilmu dan memikirkan ciptaan Tuhan yang begitu luar biasa. Selain itu, aliran obrolan yang biasa mengilir ke arah ghibah, sangat berfaedah jika kita jadikan introspeksi dan istifadah.

Hal terpenting yang harus kita tanamkan adalah niat syukur atas anugrah Tuhan. Mensyukuri karunia Tuhan yang masih dapat kita nikmati adalah pokok utama. Sehingga menjadikan ngopi tidak hanya sebatas aktivitas biasa, melainkan sarana bersyukur kepada Allah SWT adalah nilai terpenting.

Semoga kita dapat memetik hikmahnya dengan baik.

[1] Irsyad al-Ikhwan Fi Bayan Ahkam Syurb al-Qohwati Wa ad-Dukhon, karangan Syaikh Ihsan bin Muhammad Dahlan Jampes