ilustrasi kritik sanad hadis

Umum di kalangan sarjana hadis ketika meneliti sebuah hadis mereka menggunakan metode “kritik sanad”. Fokus tulisan ini menitikberatkan kepada sanad hadis dengan meneliti riwayat hidup seorang perawi yang ada di dalam kitab-kitab Tarjamah ar-Rawi.

Para perawi hadis diteliti menggunakan ilmu Jarh wa Ta’dil dengan tujuan mengetahui apakah mereka mempunyai indikasi/bukti yang menyebabkan hadis yang dibawanya menjadi tertolak atau diterima. Penelitian sanad sangatlah penting dilakukan karena jika bukan karena sanad setiap orang bisa mengklaim sebuah omongan/statement seenaknya.[1]

Akan tetapi penelitian kritik sanad selama ini terkesan tidak komprehensif dikarenakan ada salah satu sumber yaitu “sumber primer“[2] dalam sanad periwayatan hadis yang tidak ikut dikritik/diteliti, sumber tersebut adalah para sahabat nabi.

Apakah Semua Sahabat Nabi Adil?

Bukan tanpa alasan, para peneliti hadis tidak melakukan kritik terhadap para sahabat, hal ini dikarenakan mereka berpendapat kalau para sahabat Kulluhum U’dul (mereka semua adil)[3], para ulama beranggapan kalau sahabat sudah tidak perlu lagi diteliti karena mereka sudah terjamin keadilannya, lagi pula Nabi Muhammad SAW sendiri pernah bersabda yaitu:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلَا نَصِيفَهُ

Majalah Tebuireng

“dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah telah bersabda, ‘Janganlah kalian mencaci maki para sahabatku! Janganlah kalian mencaci maki para sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya seseorang menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka ia tidak akan dapat menandingi satu mud atau setengahnya dari apa yang telah diinfakkan para sahabatku.’” [4]

Para ulama menggunakan hadis tersebut sebagai landasan tentang keadilan para sahabat itu sudah bisa pastikan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri sedangkan mengkritik bahkan menghina para sahabat adalah haram.[5]

Selain hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah di atas, ada satu hadis lagi yang dijadikan para ulama untuk mendukung gagasan al-Sahabah Kulluhum U’dul yakni:

عَنْ عَبِيدَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ مِنْ بَعْدِهِمْ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَتُهُمْ أَيْمَانَهُمْ وَأَيْمَانُهُمْ شَهَادَتَهُمْ

“dari ‘Abidah dari ‘Abdullah radhiallahu’anhu dari Nabi beliau bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian orang-orang pada masa berikutnya, kemudian orang-orang pada masa berikutnya, kemudian setelah mereka akan datang suatu kaum kesaksian mereka mendahului sumpah mereka, dan sumpah mereka mendahului kesaksian mereka.”[6]

Hadis di atas juga menjadi salah satu argumentasi dalam pendapat kalau para sahabat nabi itu adil, tetapi juga ada pendapat yang menyanggahnya kalau hadis di atas menerangkan bahwa generasi umat Islam terbaik adalah zaman Nabi Muhammad SAW lalu generasi selanjutnya dan generasi selanjutnya.

Dalam hal ini yang disebutkan nabi ialah generasi bukan per individu. Sehingga, orang-orang pada zaman nabi yakni para sahabat merupakan orang yang lebih baik kualitas pribadinya dibanding dengan generasi selanjutnya. Hal ini tidak menutup kemungkinan kalau ada sahabat nabi yang berbuat kurang baik seperti al-Walid bin Uqbah, yang pernah berbohong kepada nabi dan al-Ayyas ibn Qays ibn Ma’diykarb al-Kindiy, yang pernah murtad lalu masuk Islam lagi.[7]

Mengenai terminologi as- Shahabah Kulluhum ‘Udul ini diperkirakan mulai muncul pada abad ke-4 H melalui ijtihad Khatib al-Baghdadi melalui kitabnya Kifayah ‘Ilm ar-Riwayah, doktrin tersebut diformulakan berliau dari nas-nas baik al-Qur’an atau hadis.[8] Kemudian seakan-akan ijtihad itu menjadi doktrin yang wajib diikuti oleh setiap umat Islam apalagi kalangan Sunni karena dalam aqidah mereka meyakini akan kesucian sosok sahabat dari dosa.

Dalam sebuah syair di kitab Zubad disebutkan:

ﻭَ ﻣﺎ ﺟَﺮﻯ ﺑَﻴﻦ اﻟﺼﺤﺎﺏ ﻧﺴﻜﺖُ # ﻋﻨﻪ ﻭ ﺃﺟﺮُ اﻻﺟﺘﻬﺎﺩِ ﻧﺜﺒﺖُ

Adapun apa saja yang terjadi antara para sahabat maka kita wajib diam atas hal itu, dan kita menetapkan pahala ijtihad bagi mereka.[9]

Penjelasan dari syair di atas adalah segala kesalahan yang dilakukan oleh para sahabat di masa lalu merupakan hasil dari ijtihad mereka sendiri yang ada kemungkinan salah di mata sahabat nabi yang lain, sehingga membuat mereka berselisih satu sama lain.

Memang dalam permasalahan sifat adil sahabat ini, para ulama memperdebatkan apakah ini sebuah dogma ataukah fakta sejarah. Dalam madzhab Ahlusunnah wa al-Jama’ah berpendapat kalau seluruh sahabat adalah adil sehingga mereka tidak perlu diteliti lagi rekam jejaknya ketika melakukan penelitian sanad hadis. Namun argumen dari kalangan Ahlusunnah wa al-Jama’ah ini, belakangan banyak yang mengkritik dikarenakan klaim terhadap seluruh sahabat nabi adalah adil tidak sesuai dengan sejarah yang ada.

Di Indonesia sendiri ada beberapa akademisi yang menyinggung tentang hal itu misalnya Fuad Jabali dengan disertasinya di McGill University yang berjudul “A Study Of The Companions Of The Prophet: Geographical Distribution And Political Aligmets”. Fuad Jabali mencoba memetakan penyebaran sahabat nabi setelah wafatnya beliau dan afiliasinya terhadap politik pada waktu itu.

Hal ini senada dengan disertasi dari Babul Ulum “Genealogi Hadis Politis Al-Muawiyat dalam Kajian Islam Ilmiyah”, juga disertasi dari Wahidul Anam “Dekonstruksi Kaidah ‘Adalah al-Sahabah Implikasinya terhadap Studi Ilmu Hadis”, ketiganya sama-sama mencoba meneliti rekam jejak hidup para sahabat nabi dengan perspektif sejarah yang selama ini selalu dianggap dalam kebenaran.

Kita bisa ambil beberapa referensi dari penelitian yang telah disebut di atas. Babul Ulum secara jelas mengungkapkan kalau penelitiannya ingin membantah teori ‘Adalah as-Shahabah, di sana dia menyajikan data-data yang ia dapat berdasarkan perspektif sejarah misalnya Walid bin Uqbah adalah sahabat yang masih meminum khamr dan Umar bin Khattab masih juga meminum khamr walau sudah menjadi khalifah.[10]

Sedangkan menurut Fuad Jabali ada fenomena Cognitive Dissonance[11] dalam membaca sejarah para sahabat nabi. Ini menjadikan ada jarak antara doktrin dengan realitas sejarah, padahal pada lembaran pertama masa sahabat sudah ada beberapa nama dari kalangan sahabat yang penuh dengan noda hitam dan darah merah peperangan.[12]

Memang sejatinya tidak benar-benar terjadi sebuah ijma’ di antara para ulama mengenai keadilan para sahabat. Karena juga banyak yang tidak setuju dengan hal itu karena tidak sesuai dengan sajarah yang ada.

Maka jika kaidah yang mengatakan kalau sahabat itu semuanya ‘adil’ perlu dikaji ulang dan terlebih ada rekonstruksi ulang terhadap status para sahabat khususnya pada kajian ilmu hadis. Setidaknya ada dua aspek yang menurut Wahidul Anam yang terkena imbasnya:

  1. Perubahan Asl as-Sanad (sanad asal) yang awalnya ada pada Tabi’in kemudian berpindah ke posisi sahabat, hal ini juga menyebabkan kedudukan para sahabat yang meriwayatkan hadis sama dengan perawi lain yang non sahabat
  2. Berlakunya kaidah al-Jarh wa al-Ta’dil terhadap para sahabat.[13]

Dari perdebatan mengenai status para sahabat nabi apakah mereka bersih dari rekam jejak keburukan selama mereka hidup atau tidak masih renyah untuk dibahas dan dijadikan bahan diskusi.

Karena ini adalah suatu hal menarik dalam kajian Islam terutama ilmu hadis yang mana hadis sendiri menjadi salah satu sumber utama hukum Islam. Sejatinya apa yang sudah penulis tuangkan dalam tulisan ini hanya memantik para pembaca untuk lebih dalam mengkaji. Karena tulisan ini tidak akan pernah bisa menyimpulkan luasnya diskusi dan perdebatan para cendekiawan dalam pembahasan ‘keadilan sahabat nabi’.

Baca Juga: Imam Bukhari dan Kritik Hadis (bagian-I)

Ditulis oleh Nurdiansyah Fikri Alfani, Santri Tebuireng


[1] Masyhur perkataan dari Abdulloh bin al-Mubarok الإِسْنَاد عِنْدِي مِنَ الدِّينِ، لَوْلاَ الإِسْنَادُ لقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ Sanad menurutku adalah bagian dari agama, karena jika bukan karena sanad setiap orang bisa berkata seenaknya, lihat Al-Dhahabi, Siyar A’lam an-Nubala, al-Risalah, thn 1985 cet 3, juz 17 hal 224

[2] Sumber primer hadis bisa diartikan saksi mata langsung dalam peristiwa tersebut, dalam periwayatan hadis sumber primer adalalah para sahabat. Sedangkan sumber sekunder adalah orang yang bukan saksi mata langsung kejadian tersebut, dalam ilmu hadis sumber sekunder bisa saja dari sahabat sendiri, tabi’in, terus menyambung sampai Mukharrij hadis, lihat Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, jakarta, PT Bulan Bintang, thn 1988, hal 16

[3] Mahmud Tahhan, Taisir Mustholah Hadis, Maktabah al-Ma’arif, thn 2004, cet ke 10, hal 244

[4] Muslim bin al-Hajjaj, Sohih Muslim, Beirut, Dar Ihya’ Turats, hal 1967 juz 4 no hadis 2540

[5] An-Nawawi, Syarah Sohih Muslim, Beirut, Dar Ihya’ Turats, hal 93 juz 16

[6] HR Imam Bukhari no 5949

[7] M Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang cet 4 thn 2014), hal 172

[8] Muhammad Tahir, Dekonstruksi ‘Adalah Sahabah Kepada Rekonstruksi Definisi Sahabat: Kajian Kritis Mengenai Sahabat Dalam Tinjauan Nas, DIROYAH JURNAL STUDI ILMU HADIS 6 vol 2 2022, 134

[9] ابن رسلان الشافعي، الزبد في الفقه الشافعي، دار المعرفة بيروت، ص 15

[10] Muhammad Babul Ulum, Genealogi Hadis Politis AL-MUAWIYAT dalam Kajian Islam Ilmiyah, (Bandung: MARJA cet 1 2018), 16

[11] Teori Disonansi Kognitif adalah teori yang menjelaskan tentang perasaan tidak nyaman yang dimiliki seseorang ketika mereka melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui, atau memiliki pendapat yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

[12] Muhammad Babul Ulum, hal 16 atau lihat Fuad Jabali, Sahabat Nabi, Siapa, Ke Mana, dan Bagaimana, (Bandung: Mizan 2010), 72

[13] Wahidul Anam, ‘Adalah  al-Shahabah Implikasinya Terhadap Studi Ilmu Hadis, (Yogyakarta: LKIS cet 1 2018) vii