ilustrasi perempuan. (dok. sufi)

Oleh: Muhammad Ijlal Sasakki Junaidi*

Rabi’ah al-Adawiyah adalah salah satu tokoh sufi perempuan yang paling terkenal dalam sejarah Islam, terutama dikenal karena pandangannya yang mendalam tentang cinta ilahi. Ia lahir sekitar tahun 713 M di Basra, Irak, dalam keluarga yang miskin. Sejak kecil, Rabi’ah menunjukkan bakat dan kecenderungan spiritual yang luar biasa. Ia mengabdikan seluruh hidupnya untuk mencari dan mencintai Tuhan secara total dan tanpa syarat. Dalam pandangannya, cinta adalah inti dari hubungan manusia dengan Tuhan, dan cinta inilah yang menjadi fokus utama ajaran-ajaran dan kehidupannya.

Konsep cinta menurut Rabi’ah al-Adawiyah berbeda dari konsep cinta yang biasa kita kenal dalam konteks manusiawi. Cinta baginya adalah sebuah komitmen spiritual yang mendalam dan mutlak kepada Tuhan. Cinta ini bukan cinta romantis atau cinta yang berdasarkan hasrat dan kebutuhan fisik, tetapi cinta yang murni, tanpa pamrih, dan suci. Rabi’ah percaya bahwa cinta kepada Tuhan haruslah tanpa syarat, tanpa berharap imbalan surga atau takut akan siksa neraka. Ia menggambarkan cinta ilahi sebagai hubungan langsung dan personal antara individu dan Tuhan, sebuah cinta yang tak terikat oleh motif duniawi atau harapan balasan.

Salah satu syair Rabi’ah yang terkenal yaitu:

“Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut akan neraka, bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, tutuplah pintu-pintunya bagiku. Tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau sendiri, janganlah Engkau menolak keindahan wajah-Mu yang abadi dariku.”

Majalah Tebuireng

Syair ini mencerminkan pandangan Rabi’ah bahwa cinta sejati kepada Tuhan adalah cinta yang murni, yang tidak terikat oleh ketakutan atau harapan akan imbalan. Bagi Rabi’ah, menyembah Tuhan karena takut akan neraka atau mengharapkan surga adalah bentuk cinta yang masih bersifat egois. Cinta sejati kepada Tuhan, menurutnya, haruslah demi Tuhan semata, tanpa ada motif lain yang tersembunyi.

Rabi’ah juga menekankan pentingnya cinta sebagai jalan menuju pengetahuan dan pemahaman tentang Tuhan. Ia percaya bahwa melalui cinta yang tulus dan murni, seseorang dapat mencapai maqam atau tingkatan spiritual yang lebih tinggi, yang membawa mereka lebih dekat kepada Tuhan. Cinta menjadi sarana untuk meleburkan diri dalam keesaan Tuhan, sebuah proses penyatuan di mana ego dan kepentingan pribadi lenyap, digantikan oleh kehadiran ilahi yang menyeluruh.

Baca Juga: Kisah Rabi’ah al-Adawiyah dan Seorang Pencuri

Pandangan Rabi’ah tentang cinta juga menekankan aspek pengorbanan. Dalam cintanya kepada Tuhan, Rabi’ah menunjukkan kesediaan untuk mengorbankan segala sesuatu yang bersifat duniawi. Ia menjalani hidup dalam kesederhanaan dan asketisme, menolak kemewahan dan kenyamanan material demi mengejar keintiman spiritual dengan Tuhan. Baginya, cinta kepada Tuhan berarti melepaskan diri dari keterikatan duniawi dan mengarahkan seluruh perhatian dan energi kepada Tuhan semata.

Kisah-kisah tentang kehidupan Rabi’ah penuh dengan contoh-contoh pengorbanan dan dedikasi totalnya kepada Tuhan. Diceritakan bahwa ia menghabiskan sebagian besar waktunya dalam doa dan meditasi, sering kali menangis karena rindu akan kehadiran Tuhan. Ia juga menolak berbagai tawaran pernikahan dan kehidupan yang lebih nyaman, memilih untuk tetap hidup dalam kesendirian dan pengabdian penuh kepada Tuhan. Keputusannya ini menunjukkan betapa mendalam dan mutlak cintanya kepada Tuhan, yang mengatasi segala keinginan dan kebutuhan manusiawi.

Cinta menurut Rabi’ah juga membawa implikasi penting dalam hubungan antara manusia. Ia mengajarkan bahwa cinta kepada Tuhan harus tercermin dalam cinta kepada sesama. Cinta ilahi bukanlah cinta yang terisolasi atau terbatas pada hubungan antara individu dan Tuhan saja, tetapi harus meluas dan menembus hubungan dengan orang lain. Rabi’ah percaya bahwa mencintai Tuhan berarti juga mencintai ciptaan-Nya, dan ini termasuk cinta dan belas kasih kepada sesama manusia.

Dalam kehidupan sosialnya, Rabi’ah dikenal sebagai sosok yang penuh kasih dan perhatian terhadap orang lain. Ia membantu mereka yang miskin dan membutuhkan, dan selalu berusaha untuk mengamalkan ajaran-ajaran cintanya dalam tindakan nyata. Baginya, cinta kepada Tuhan harus diwujudkan dalam perbuatan baik dan kepedulian terhadap sesama, sebagai bentuk pengabdian dan ketaatan kepada Tuhan.

Konsep cinta menurut Rabi’ah al-Adawiyah memiliki pengaruh yang mendalam dalam tradisi tasawuf dan spiritualitas Islam. Ajaran-ajarannya tentang cinta ilahi menjadi inspirasi bagi banyak sufi dan pencari kebenaran spiritual, yang melihat dalam hidupnya contoh nyata dari dedikasi dan pengabdian total kepada Tuhan. Cinta ilahi yang diajarkan Rabi’ah menjadi salah satu prinsip utama dalam tasawuf, menekankan pentingnya cinta sebagai jalan untuk mencapai keintiman dan penyatuan dengan Tuhan.

Dalam konteks yang lebih luas, ajaran-ajaran Rabi’ah tentang cinta juga relevan bagi kehidupan spiritual dan moral manusia. Cinta yang murni dan tanpa pamrih, seperti yang diajarkan oleh Rabi’ah, dapat menjadi landasan untuk membangun hubungan yang lebih baik dan harmonis dengan sesama, serta mengarahkan kita pada kehidupan yang lebih bermakna dan penuh kasih. Cinta ilahi yang diajarkan oleh Rabi’ah mengingatkan kita bahwa esensi dari keberadaan kita adalah untuk mencintai dan mengabdi kepada Tuhan, dan melalui cinta inilah kita dapat menemukan kedamaian dan kebahagiaan sejati.

Dalam dunia yang sering kali penuh dengan konflik, ketidakadilan, dan ketidakpedulian, ajaran Rabi’ah tentang cinta ilahi menawarkan sebuah jalan untuk memperbaiki diri dan masyarakat. Cinta yang murni dan tulus, yang mengatasi segala bentuk egoisme dan kepentingan pribadi, dapat menjadi kekuatan yang menyatukan dan membawa kita lebih dekat kepada Tuhan serta satu sama lain. Dengan memahami dan mengamalkan konsep cinta menurut Rabi’ah al-Adawiyah, kita dapat menemukan kembali makna sejati dari cinta dan menggunakannya sebagai landasan untuk hidup yang lebih baik dan bermakna.