Oleh: Ikmaluddin Fikri*

Pesantren, tempat menggali jati diri untuk lebih islami, manusiawi, dan berwawasan tinggi. Institusi ini sudah ada sebelum negara kita terbentuk, dan merupakan institusi pendidikan tertua di Indonesia. Diakui atau tidak, nama pesantren tidak bisa kita lepaskan dari negeri ini, manusia, dan pemimpinnya. Tercatat sudah banyak sekali kita mendengar tokoh pesantren yang menjadi pembangun, pemangku, dan penggerak atas berdirinya negeri ini sampai sekarang. Mulai dari yang baik sampai yang kurang baik, yang tertulis sampai yang terlupakan, yang dipuji sampai yang dihujat. Setidaknya sampai kita sadar bahwa manusia adalah tempatnya dosa dan tak bisa dinilai akan selalu baik dari setiap aspek kehidupannya.

Dari banyak orang-orang jebolan pesantren yang akhirnya kita lihat keberhasilan ataupun kegagalannya (walaupun dalam pandangan penulis itu hanyalah masalah personal bukan kelembagaan), kita seharusnya lebih peka dan mau melihat bagaimana mereka berhasil membangun negeri ini. Banyak faktor yang bisa kita lihat, mulai dari sistem pendidikan, penanaman moral, dan pembelajaran menjadi manusia yang lebih islami dan tentunya khairu al-nas anfa’uhum li al-nas.

Berbicara tentang sistem pendidikan, pesantren memiliki kekhasan dalam mendidik santri-santrinya. Salah satunya adalah adanya karya ulama salaf shalih yang menjadi sumber rujukan atau yang lebih kita kenal dalam dunia pesantren sebagai kitab kuning. Kitab kuning ini sudah menjadi candu dalam dunia pesantren, ketiadaannya merupakan kemustahilan dan bukanlah pesantren jika tidak ada kitab kuning dalam pengajarannya. Apapun ilmunya mulai dari fikih, nahwu, sharaf, tafsir, hadits, dan banyak lagi keilmuan Islam yang menggunakan kitab kuning sebagai sumbernya.

Sistem pengajaran yang menggunakan kitab kuning di pesantren mengalami banyak perubahan dalam perjalanannya. Dimulai dari yang klasikal yakni kiai membaca dan memaknai kitab sedangkan santri mencatatnya (bandongan) dan santri membaca sedangkan kiai sebagai pengoreksi bacaan santri (sorogan) dan tamatnya pembelajaran apabila kitab yang dibaca sudah khatam, hingga sistem kelas dan tingkatan-tingkatan mulai dari ibtidaiyah, tsanawiyah, sampai aliyah. Pada akhirnya sistem ini mengalami pemformalan dengan adanya ijazah dan lembaga yang semulanya tidak diakui negara menjadi lembaga formal di bawah Kementrian Agama. Maklum, tuntutan zaman mengharuskan santri tak harus menjadi guru ngaji ataupun pengganti kiyai ketika harus boyong.

Majalah Tebuireng

Mungkin keasikan pemformalan inilah yang membuat pesantren lambat laun kehilangan ruhnya. Kita tidak bisa menyangkal dengan adanya pemformalan ini, banyak tuntutan yang mengharuskan santri yang sejatinya ngaji ngalap ridhone yai menjadi santri yang harus bersaing dan berkelahi dengan zaman yang banyak menuntut. Sebut saja waktu yang lebih singkat, materi yang dicampur adukkan, hingga pengurangan jumlah kitab kuning yang dikaji, sampai akhirnya kita bisa temukan sekarang adanya santri yang lebih suka membaca lewat terjemahan kitab-kitab klasik bahkan mencari suatu hukum dari sumber maha tahu tapi ambigu, ya, apalagi kalau bukan mbah Google. Itulah beberapa kelemahan pemformalan pesantren yang lambat laun membunuh karakteristik pesantren.

Kita tidak bisa menyalahkan dan memandang buruk, toh banyak tokoh pesantren yang berhasil dalam hidupnya karena tidak hanya terpaku pada ilmu agama. Bahkan Tebuireng pada masa keemasannya tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama tapi juga ilmu-ilmu umum seperti matematika, bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan banyak lagi ilmu-ilmu yang bisa kita kategorikan dalam ilmu umum. Dan banyak tokoh-tokoh top yang bisa kita temukan merupakan jebolan sistem ini, sebut saja KH. A. Wahid Hasyim, KH. Ahmad Shiddiq, KH. Muchith Muzadi dan banyak lagi nama-nama yang tak bisa saya sebutkan.

Tapi kita juga tidak bisa membenarkan secara menyeluruh. Kita lihat realita hidup pada era modern ini, banyak orang-orang yang mengaku alumni suatu pondok pesantren tapi dalam prakteknya kurang pandai membaca kitab kuning bahkan tidak bisa sama sekali. Yang ada umbar ayat-ayat dan dalil-dalil, berbicara di sana sini dengan ilmu yang kurang mumpuni dan kecakapan yang nihil. Ada pula yang tidak mau berbicara agama tapi kelakuan dan moralnya tidak dapat mencerminkan akhlak seorang santri. Ada pula yang sudah jadi orang, menjadi pemimpin menjadi panutan bagi masyarakat tapi akhirnya malah terjerat kasus yang tak pantas bagi seorang pemimpin, apalagi seorang santri. Yang lebih parah lagi, orang-orang ini mengikuti praktek kehidupan yang tak bisa dikategorikan baik dan benar, dan bukan praktek hidup islami.

Apakah kita harus menyalahkan waktu? Tidak juga, harus diakui pada hakikatnya semakin lama zaman berganti, maka degradasi generasi akan terus terjadi lambat ataupun cepat. Apalagi kita sedang ada pada era kritis, yaitu era akhir-akhir bumi mengalami masa penuaan. Pada masa inilah akhirnya kiamat akan datang dan menghancurkan segala kenikmatannya. Tapi menjadi kewajiban kita dalam melestarikan kehidupan yang benar dan hakiki menurut tuntutan Allah. Adanya keburukan dan kemunkaran adalah sunnatullah, tapi apakah kita harus menjadi bagian darinya? Kebijakan setiap pribadi diperlukan dalam hal ini.

Solusi yang tepat adalah tetaplah belajar dan bersandar pada kitabullah dan sunah nabi-Nya. Tentunya kita butuh bimbingan, dalam hal ini dengan belajar dari ustadz atau kiai yang tidak diragukan lagi keilmuannya lewat rujukan sumber terpercaya. Ya, kitab-kitab klasik ulama salaf sholih tentunya. Tidak diragukan lagi, ada banyak pelajaran dari banyak sektor kehidupan dalam kitab klasik ulama salaf sholih yang Insya Allah dapat menuntun kita menuju kehidupan yang lebih baik dan diridhoi.

Tapi apakah kitab kuning cukup bagi kita, sedangkan kita hidup di zaman dan tempat yang berbeda dari kehidupan mereka, ulama salaf sholih, dan tentu saja perbedaan zaman dan tempat menuntut keadaan dan problem yang berbeda. Tentu saja kita butuh komparasi dalam belajar agar kita bisa menjadi pribadi yang berjalan ke depan melintasi rintangan dan ganjalan yang ada. Tetapi tetap melihat ke belakang, mungkin saja kejadian di belakang mencerminkan rintangan yang akan datang. Jika pun tidak ada, lintasi dengan cara kita sendiri yang membuat kita tetap berada dalam jalur yang benar dan tak tersesat pada akhirnya, hingga sampailah kita pada tujuan yang sesungguhnya.

Memang kita bukanlah Imam Syafi’i yang mampu menghafal Al Quran pada usia yang cukup belia, tujuh tahun. Serta kita juga bukanlah al-Ghazali yang bisa menemukan kebenaran dengan tasawufnya dalam menghadapi perang batinnya. Begitu pula Ibnu Hajar al-Asqalani yang mampu mengambil hikmah hanya dari tetesan air. Maqom kita hanyalah manusia akhir zaman yang menghadapi banyak fitnah di dalamnya. Namun, tetaplah menjadi keharusan bagi kita untuk belajar, karena memang sebuah kewajiban. Saya rasa Imam Syafi’i tidak pernah menyangka akan melebihi guru beliau Imam Malik dan mendirikan madzhab beliau sendiri, al-Ghazali tidak pernah mengira bisa mengarang kitab beliau yang prestisius, ihya’ ulum al-din, bahkan pernahkah Hadratussyaikh M. Hasyim Asy’ari berpikir bisa meneruskan perjuangan guru beliau, Syekh M. Kholil, bahkan melebihinya. Mereka hanya belajar dan belajar dan tak pernah menyerah hingga akhirnya mereka berhasil, bahkan pikiran tentang apa yang saya gambarkan tentang mereka hanyalah imajinasi liar saya.

Insya Allah, pendidikan pesantren dengan kitab kuningnya akan tetap menuntun kita ke jalan yang lebih baik dan diridhoi Allah. Sehingga kita menjadi insan kamil, generasi penerus bangsa yang shalih sehingga terciptalah cita-cita bangsa yang luhur, yakni baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur. Amin.

_____________________________________________________________________

*Penulis adalah mahasantri Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng semester 5

Publisher : Masnun Muhammad