ilustrasi: tebuirengonline/amir

Oleh: Alfahrizal*

KH. Salahuddin Wahid atau akrab disapa Gus Sholah merupakan ulama, aktivis, politikus, arsitektur, cendikiawan, tokoh nasional, hingga penulis, semua profesi tersebut disematkan pada satu sosok karismatik yang juga telah memimpin Pesantren Tebuireng sejak 2006 hingga 2020.

Gus Sholah merupakan saudara kandung presiden ke-4 RI (Gus Dur), putra KH. Abdul Wahid Hasyim dan Bu Nyai Sholichah. Gus Sholah kecil lahir di Jombang pada tanggal 11 September 1942, nama kecil Gus Sholah adalah sebuah nama yang disematkan pada sosok kesatria asal Irak, nama yang pernah membawa Islam menuju masa kejayaan, Salahuddin Al-Ayyubi.

Gus Sholah kecil dididik dan dibesarkan di lingkungan pesantren, tepatnya di Pesantren Mamba’ul Ma’arif, Denanyar, Jombang. Pada umur lima tahun, Gus Sholah tinggal di Tebuireng, saat itu sang ayah mendapat amanat sebagai Pengasuh Pesantren Tebuireng, baru ketika usia 7 tahun lebih, tepatnya tahun 1950, Gus Sholah pindah ke Jakarta dan menempuh pendidikan formal di berbagai lembaga pendidikan di Jakarta.

Gus Sholah sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi arsitektur pemersatu bangsa, dengan latar pendidikan formal tersebut Gus Sholah akhirnya menjadi sosok yang memiliki pemikiran sangat maju, pemikiran Gus Sholah khususnya dalam integrasi pendidikan kemudian menjadi superior, Gus Sholah adalah sosok yang berpikir 2, 3 langkah bahkan lebih maju dari lainnya.

Majalah Tebuireng

Hal ini tentu sedikit banyaknya berkat pendidikan arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB) sehingga dalam merancang kemajuan Gus Sholah memiliki pondasi bangunan kemajuan yang kokoh serta strategi yang  berada jauh dari pemikiran biasanya.

Gus Sholah sosok yang tak bisa diam atau lebih tepatnya selalu ingin mencari kegiatan yang bermanfaat, sejak di bangku sekolah Gus Sholah aktif di organisasi Kepanduan Anshor hingga kepanduan itu dibubarkan dan diganti menjadi Pramuka. Gus Sholah juga aktif di kepengurusan OSIS, beliau sempat menjabat sebagai Wakil Ketua OSIS di SMA Negeri 1 Budi Utomo.

Banyak yang tidak tahu bahwa Gus Sholah semasa SMA juga sempat tidak naik kelas, hal ini karena beliau sempat menjadi utusan Indonesia sebagai peserta JAMBORE di Filipina, kesandung batu jangan sampai jatuh, begitulah Gus Sholah, meski pernah tinggal kelas beliau lulus dengan predikat terbaik 1 dari sekolahnya.

Pada tahun 1968 merupakan tahun madu bagi Gus Sholah, angka itu menjadi manis saat Gus Sholah berhasil  mempersunting seorang gadis bernama Farida, putri mantan Menteri Agama RI, KH. Saifudin Zuhri. Saat itu Gus Sholah masih duduk di bangku perkuliahan, akan tetapi dengan gagah dan berani beliau melangsungkan pernikahan. Sempat cuti dari dunia perkuliahan akan tetapi pada tahun 1979 Gus Sholah akhirnya menyelesaikan studinya di ITB.

Bagi Gus Sholah istrinya adalah sosok pendamping yang lengkap. Menurut penuturan para santri, hubungan Gus Sholah dan Bu Nyai Farida begitu harmonis, dialog antara keduanya begitu cair dan dibumbui humor yang menyegarkan.

Berbicara mengenai karir Gus Sholah, sebenarnya sejak duduk di bangku perkuliahan Gus Sholah sudah mulai merintis karirnya. Tak perlu lulus dan bergelar sarjana untuk bisa memulai karir, inilah gaya hidup sekaligus keberanian Gus Sholah kemampuan melihat peluang dan memanfaatkan celah adalah hal terpenting menuju tangga kesuksesan.

Pada tahun 1970, Gus Sholah sudah berhasil mendirikan sebuah perusahaan kontraktor bersama dua orang kawan dan kakak iparnya, Hamid Baidlowi. Setahun kemudian Gus Sholah tergabung dengan beberapa temannya di Biro Konsultan dan menjadi Direktur Utamanya. Mulai dari situ hingga tahun 1977, sebagian besar aktivitas Gus Sholah adalah di bidang arsitektur dan konstruksi. Ada banyak bangunan yang berdiri berkat perjuangan Gus Sholah, mulai dari sekolah, masjid, kampus, dan berbagai gedung fungsional lainnya.

Setelah 27 tahun bergelut di dunia perusahaan, lalu menginjak tahun 1998 Gus Sholah relatif memiliki banyak waktu luang, tentu saj beliau tidak membiarkan kesempatan berlalu begitu saja. Mulai dari tahun ini Gus Sholah memasuki dunia tulis menulis, hingga akhirnya banyak menerbitkan beragam karya tulis lintas media, mulai dari tulisan di media massa seperti koran, majalah, dan lainnya hingga tulisan-tulisan yang terbit menjadi beragam buku.

Beberapa buku Gus Sholah diantaranya: Negeri di Balik Kabut Sejarah (2001), Mendengar Suara Rakyat (2001), Menggagas Peran Politik NU (2002), Basmi Korupsi: Jihad Akbar Bangsa Indonesia (2003) Ikut Membangun Demokrasi: Pengalaman 55 Hari Menjadi Calon Wakil Presiden (2004), Menggagas NU Masa Depan (2010), dan lain-lain.

Gus Sholah juga pernah terlibat dalam dunia politik, berawal dari terpilinya menjadi Anggota Dewan Penasehat ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) periode 1995 sampai 2005, hingga menjadi calon Wakil Presiden pada Pilpres 2004 bergandengan dengan Wiranto. Karir Gus Sholah di ormas NU juga sudah dijajaki mulai dari tahun 1977 bersama aktivis muda NU waktu itu Gus sholah membentuk “kelompok G”, kelompok yang menjadi cikal bakal tim yang mempersiapkan kembalinya NU ke khittah 1926.

Hingga pada tahun 1999 Gus Sholah masuk ke jajaran pengurus Ketua PBNU, tidak berhenti di situ pada akhir tahun 2001 Gus sholah didaftarkan adik iparnya, Lukman Hakim Saifudin sebagai anggota Komnas HAM, beliau terpilih menjadi Wakil Ketua II Komnas HAM periode 2002-2007.

Hingga pada akhirnya setelah melalui lika-liku karir dan perjalanan Gus Sholah akhirnya terpanggil kembali ke tanah kelahirannya, Jombang. Gus Sholah diamanahi untuk menahkodai Pesantren Tebuireng menggantikan sang paman, KH. Yusuf Hasyim. Pada saat bersamaan Gus Sholah mendapat tawaran untuk menjadi Duta Besar di Al-Jazair, akan tetapi beliau lebih memilih untuk mengabdikan diri di pesantren, kembali ke rumah asal. Lalu sejak 13 April 2006 Gus Sholah resmi menjadi Pengasuh Pesantren Tebuireng.

14 tahun lamanya Gus Sholah abdikan diri untuk Tebuireng, berbagai perkembangan dan kemajuan di Tebuireng mengalir begitu cepat. Tebuireng yang awalnya hanyalah pondok tunggal, di masa kepemimpinan Gus sholah Tebuireng berkembang hingga mempunyai 17 pesantren cabang yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.

Di satu sisi kualitas pendidikan di Tebuireng juga jauh berkembang, Gus Sholah berhasil menciptakan berbagai disiplin dan minat pendidikan di Tebuireng, mulai dari ranah khusus agama Islam yang menjadi platform dasar pesantren hingga berdirilah pesantren, dan dunia sains, teknologi.

Selain itu, sebagai mantan Pimpinan Redaksi Majalah Konsultan 1993, platform media di Tebuireng juga berkembang pesat, mulai dari majalah, penerbitan, website, medsos, hingga perfilman Tebuireng, yang kian hadir sebagai media dakwah pesantren untuk dunia.

Tak berhenti di situ, ada banyak sekali lembaga sosial kemasyarakatan juga lahir berkat buah pemikiran Gus Sholah, mulai dari Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng (LSPT) yang bergerak dibidang kesejahteraan masyarakat, Pusat Kesehatan Pesantren (Puskestren), Museum Islam Hasyim Asy’ari (MINHA), hingga Rumah Sakit Hasyim Asy’ari.

Hingga tiba suatu malam, suasana begitu hening dan sunyi, disaat kumandang azan Isya sudah berlalu 2 jam belakangan, di satu kamar di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta Inna lillahi wa Inna ilaihi raji’un” Gus Sholah mengembuskan nafas terakhirnya. Berita duka itu menyelimuti Tebuireng dan Indonesia. Tepat pada 2 Februari 2020 Gus Sholah wafat dan dimakamkan di maqbarah masyaikh Pesantren Tebuireng Jombang.

*Mahasantri Tebuireng.