Kisah Hatim al-asham saat bertemu gurunya. (ilustrasi: nu.or.id)

Oleh: Aulia Rachmatul Umma*

Syeikh Hatim al-Asham merupakan murid dari Syeikh Syaqiq Al-Balkhy. Beliau dijuluki al-Asham karena beliau tidak mau mendengar aib seseorang. Suatu ketika ada tamu yang kentut, orang tersebut malu. Dengan raut wajah bersalah, seolah merasa tidak punya adab ia hanya mengusap dagu dan tidak tau harus berbuat apa.

Syeikh Hatim sempat kaget, namun berusaha menutupi hal tersebut. Seolah tidak terjadi apa-apa, sebagai orang ‘alim, beliau tau bahwa orang tersebut tidak sengaja kentut hingga beliau mengucapkan irfa’I showtak “bisa diulang lebih keras?” beliau bersikap seolah seorang tua pada umumnya yang kurang pendengaran. Dari sinilah beliau mendapat julukan Al-Asham (tuli).

Dikisahkan dalam kitab Ihya’ Ulumuddin dan diceritakan kembali dalam kitab Syarah Kifaayatul Atqiya’ karya Syeikh Abu Bakar Al-Makki bin Sayyid Muhammad al-Dimyathi halaman 71. Terdapat percakapan seorang guru dan murid yang terkenal ‘alim ‘alamah.

Syeikh Syaqiq bertanya kepada muridnya, “Hatim, sejak kapan engkau mulazamah denganku?”

Majalah Tebuireng

“Sejak 33 tahun lalu guru.” Jawab Syeikh Hatim.

“Ilmu apa yang kaudapatkan ketika belajar bersamaku selama itu?”

“Delapan pokok masalah.”

Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un, separuh lebih umurku berlalu mengajarimu tetapi kau hanya mendapatkan delapan masalah.”

“Guru, saya tidak berbohong, saya tidak tahu masalah selain delapan itu.”

“Kalau begitu, jelaskan kepadaku delapan masalah itu,” dengan seksama Syeikh Hatim menerangkan kepada gurunya satu persatu:

Pertama, Saya melihat banyak orang mencintai sesuatu yang ketika meninggal tidak menemaninya sampai kubur, semua itu berpisah darinya. Sedangkan saya menjadikan amal baik sebagai kecintaan, sehingga ketika wafat, amal baik akan selalu bersamaku.

Kedua, ketika membaca ”Wa amma man khafa maqama robbihi wa nahan nafsa ‘anil hawa, fa innal jannata hiyal ma’wa,” (Q.S An-nazi’at ayat 40-41), saya yakin bahwa kalam Allah ini benar. Karena itu saya menjaga diri untuk menolak dorongan nafsu, sehingga tetap bertaqwa dan taat kepada Allah.

Ketiga, Saya melihat orang berpangkat dan memiliki sesuatu akan digenggam erat. Kemudian saya baca “Ma ‘indakum yanfadu, wa ma ‘indallahi baqin” (Q.S An-Nahl ayat 96). Segala sesuatu yang dimiliki manusia akan rusak, tapi jika disandingkan atau diniatkan untuk ibadah kepada Allah akan kekal selamanya.

Keempat, Saya melihat kebanyakan orang membanggakan harta, tahta, kemuliaan dan nasab (keturunan). Ini semua tidak berguna jika saya bandingkan dengan Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13 “Inna akramakum Indallahi atqakum”. Orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang bertaqwa.

Kelima, Saya melihat banyak orang yang saling menjatuhkan dan hasut. Padahal sudah disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Az-Zukhruf Ayat 32, “Nahnu qasamna baynahum ma’isyatahum fi hayatid dunya,” Semuanya sudah diatur dan ditetapkan Allah, jadi tidak perlu iri atau hasut.

Keenam, Saya perhatikan banyak manusia yang menganiaya dan saling bermusuhan. Lalu aku teringat Al-Qur’an Surat Fathir ayat 6, “Inna Syaythana lakum ‘aduwwun, fattakhidzuhu ‘aduwwan,”. Setan itu musuhmu, maka anggaplah setan sebagai musuh. Dengan begitu saya meninggalkan manusia sebagai musuh, karena musuh sesunggunya adalah setan.

Ketujuh, Saya saksikan banyak orang yang memperebutkan remukan roti, sampai menjatuhkan harga dirinya. Sebagian orang ada yang terperosok di jalan yang tidak halal baginya. Kemudian saya resapi lagi makna Al-Qur’an Surat Hud ayat 6, “Wa ma min dabbatin fil ardhi illa ‘alallahi rizquha,” Bahwa tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya. Saya menyadari sepenuhnya, bahwa diriku termasuk dari binatang melata yang dijamin rizkinya oleh Allah, karena itu saya sibukkan diri untuk beribadah kepada Allah dan kupasrahkan nasib rizkiku ditangan-Nya.

Kedelapan, Banyak orang yang menggantungkan diri kepada orang lain. Sementara dalam Al-Qur’an Surat At-Thalaq ayat 3 “Wa man yatawakkal ‘alallahi fa huwa hasbuhu” yang terpenting adalah tawakkal kepada Allah. Oleh karena itu, kusandarkan diri dan nasibku kepada Allah.

Dengan penuh rasa takjub dengan ilmu muridnya, Syeikh Syaqiq berkata “Wahai Hatim, semoga Allah memberikan taufik-Nya kepadamu. Benar Hatim, delapan masalah tadi merupakan kesimpulan dari empat kitab, Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur’an. Barang siapa mengamalkan ajaran delapan pokok masalah tersebut, sungguh ia telah mengamalkan ajaran empat kitab suci tersebut,” Pungkas sang guru menyimpulkan percakapan mereka berdua.


*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Jombang.