Oleh: Ayung Notonegoro*

Melihat prilaku politik Indonesia dewasa ini, banyak pengamat yang menyebutnya sebagai politik dinasti. Mulai dari kepala daerah yang meneruskan estafet kepemimpinan kepada anak-anaknya hingga para pemimpin partai yang ujug-ujug menjadikan putra atau putrinya sebagai pejabat teras di lingkup partai atau jabatan eksternal lainnya. Seolah anak-anaknya adalah putra mahkota yang telah dititahkan melanjutkan tampuk kekuasaan orang tuanya.

Fenomena “putra mahkota” tersebut, mengingatkan pada sosok tokoh muda di masanya, Kiai A. Wahid Hasyim. Ia seorang pemikir, pejuang sekaligus seorang ulama yang memiliki kontribusi besar bagi kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, dibalik kegemilangan karir Menteri Agama pertama Indonesia itu, timbul pertanyaan: apakah karena kapabilitasnya ia meraih capaian prestisius itu ataukah karena previllage-nya sebagai seorang putra mahkota?

Kiai Wahid Hasyim yang bernama lengkap KH. Abdul Wahid Hasyim itu adalah putra dari Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asyari, pendiri sekaligus Rais Akbar Nahdlatul Ulama. Organisasi kemasyarakatan yang pengaruh dan kontribusinya sangat besar bagi republik ini jauh sebelum merdeka. Bahkan, hingga saat ini. Kiai Hasyim merupakan mahaguru dari para kiai di Nusantara. Jaringan santrinya tersebar di seantero negeri.

Jika menggunakan pola pikir dari tradisi putra mahkota sebagaimana zaman kerajaan dulu Kiai Wahid Hasyim tinggal duduk dan ongkang-ongkang kaki pun akan dihormati banyak orang. Sebagai “gus”, sapaan untuk anak seorang kiai, ia telah memiliki previllage tersendiri di mata kaum santri. Keyakinan untuk menghormati keluarga sang guru sebagai pintu berkah, menjadi pelegitimasi yang ampuh untuk membuat Kiai Wahid Hasyim menjadi tokoh yang disegani.

Majalah Tebuireng

Namun, apakah demikian pemikiran ayahanda dari Presiden keempat Indonesia itu? Tidak. Ada beberapa fakta sejarah yang dapat diketengahkan tentang hal ini. Salah satunya adalah tentang keterlibatannya di Nahdlatul Ulama.

Sebagai anak laki-laki tertua dan pimpinan tertinggi di NU, tokoh kelahiran 1 Juni 1914 tersebut sudah barang tentu dipinta terlibat di dalamnya. Apalagi dengan kecakapan intelektualitasnya, jaminan posisi strategis di NU sudah menantinya. Akan tetapi, jurus aji mumpung selayaknya putra mahkota tak ada dalam benak Kiai Wahid Hasyim. Bahkan, sebelum bergabung ke NU, ia membutuhkan waktu empat tahun untuk memutuskannya.

Dalam sebuah tulisannya yang legendaris berjudul “Mengapa Saya Memilih Nahdlatul Ulama?”, suami Solikhah binti Bisri Syansuri itu, bahkan sempat menganggap NU sebagai organisasi yang lamban. “Nahdlatul Ulama merupakan perhimpunan orang-orang tua yang geraknya lambat, tidak terasa dan tidak revolusioner,” tulisnya.

Tidak hanya NU yang ia kritik, tapi juga organisasi lain yang sempat menawarinya untuk bergabung. Dengan daya kritisnya, Kiai Wahid Hasyim masih belum melihat ada wadah yang tepat untuk menyalurkan idealismenya. Di tengah masa ‘fathrah’ itu, bahkan ia merintis sendiri sebuah organisasi kepemudaan pada 1936. Ia beri nama Ikatan Pelajar Islam (IKPI). Salah satu gerakannya adalah membuka taman baca bagi kalangan pelajar dan santri.

Seiring dengan waktu, tawaran demi tawaran untuk bergabung pada organisasi yang lebih mapan, termasuk di NU, membuatnya kembali berpikir. Semenjak kepulangannya dari Mekkah pada 1933, ia cukup intens mengamati organisasi sosial politik yang berkembang. Dari amatannya yang penuh daya kritis itu, ia akhirnya memutuskan untuk bergabung di NU.

“Mula-mula saya insaf bahwa tidak ada satu pun perhimpunan yang 100% memuaskan. Ibaratnya seperti jodoh yang memuaskan sungguh-sungguh kecantikannya, kecerdasannya, rumahnya, saudara-saudaranya, kemenakannya, dan lain-lainnya lagi, pasti tidak terdapat di dunia ini.” Demikian tulisnya dalam “Mengapa Saya Memilih Nahdlatul Ulama”.

Kesadarannya bergabung di NU itu, bukan karena ia adalah putra pendiri NU. Di mana kelak ia akan mendapatkan kemudahan dan kenyamanan yang lebih dibandingkan ikut organ yang lain. Tidak terbersit sama sekali. Dalam tulisan yang sama, Kiai Wahid mengungkapkan beberapa alasan utamanya bergabung di NU.

Awalnya ia menganggap NU organisasi yang lamban, sehingga ia enggan bergabung. Namun, jika diselidiki, dibalik kelambanannya itu, NU merupakan organisasi yang paling pesat pertumbuhannya ketimbang yang lain. Saat itu, NU telah menjalar di 60 persen wilayah Nusantara. “Apalah artinya radikal dan revolusioner, jika hasilnya dalam masa 10 tahun baru mempunyai cabang 10 dan hanya berputar di dua daerah keresidenan?,” gugatnya.

Begitu pula tatkala melihat komposisi pengurus dan anggota NU yang sedikit sekali dari kalangan akademisi. Hal ini awalnya membuat Wahid Hasyim ragu. Bisakah organisasi yang tak memiliki akademisi atawa kalangan terpelajar bisa maju? Namun pertanyaan itu, ia jawab sendiri. Banyaknya anggota terpelajar bukanlah jaminan akan kemajuan organisasi, tanpa adanya mentalitas untuk maju bersama.

“Banyak perhimpunan-perhimpunan dan partai-partai yang penuh dengan kaum terpelajar tinggi, tapi mentalitasnya tidak berdekatan macamnya, maka tenaga perhimpunan itu habis di dalam pergolakan ke dalam saja,” urainya.

Kesadaran Kiai Wahid Hasyim untuk bergabung dengan NU dengan segala reputasi kecakapannya serta statusnya sebagai “putra mahkota” tak berarti dengan sesaat dan tiba-tiba menjadikan ia pengurus teras di Hoodfbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) sebagai pengurus pusat NU kala itu. Ia pun harus merangkak dari bawah. Mengawali karirnya dari tingkat terendah, pengurus Ranting NU.

Sejak memutuskan bergabung dengan NU pada 1938, Wahid Hasyim mengawalinya sebagai sekretaris Ranting NU. Ada dua versi tentang hal ini. Abubakar Aceh dalam buku “Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasjim” menyebutnya di Ranting NU Cukir. Sedangkan KH. A. Aziz Masyhuri dalam “99 Kiai Kharismatik Indonesia” menulis Ranting NU Tebuireng. Perbedaan data ini tak menjadi masalah. Justru saling menguatkan kalau Kiai Wahid Hasyim tak aji mumpung sebagai putra mahkota. Ia benar-benar memulainya dari dasar.

Dari karirnya di lingkup desa itu, Kiai Wahid terus mengembangkan karirnya. Ia naik ke kepengurusan NU Cabang Jombang. Lalu, lambat laun ia dipercaya menjadi pengurus Ma’arif NU. Sebuah departemen NU yang bergerak dalam bidang pendidikan. Lonjakan karirnya yang cukup drastis, tak lain karena – sekali lagi – karena kapabilitasnya.

Sejak kanak-kanak, Wahid kecil dikenal sebagai anak yang cerdas. Pada usia 12 tahun ia telah membantu orang tuanya mendidik adik-adiknya. Meski tidak pernah mengenyam pendidikan formal, namun karena ketekunan dan kepandaiannya menjadikannya mahir berbahasa asing. Terhitung ia bisa bahasa Arab, Inggris dan Belanda.

Sebagai anak yang berasal dari keluarga pesantren, Kiai Wahid Hasyim pun mondok di beberapa tempat. Selain di belajar di pesantren ayahandanya tersendiri, ia nyantri ke Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, dan Pesantren Lirboyo, Kediri. Lantas, pada 1932 ia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus belajar di sana.

Kombinasi kecerdasan dan kegigihannya tersebut, menjadi jaminan mutu dari sosok Wahid Hasyim. Jadi, tidak heran jika karirnya melesat cukup kencang. Tidak hanya di NU, tapi juga di panggung nasional lainnya. Ia dipercaya menjadi ketua Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) pada 1939. Pada masa pendudukan Jepang, ia juga didapuk menjadi pengurus teras di Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Di masa mempersiapkan kemerdekaan negeri ini, ia juga terlibat aktif. Mulai jadi anggota BPUPKI hingga PPKI. Ia ikut serta merumuskan dasar-dasar konstitusional bangsa ini. Semua itu, jelas bukan semata karena ia “putra mahkota” Kiai Hasyim Asyari. Tapi, karena perjuangannya sendiri. Kecerdasan, ketekunan hingga tirakatnya kepada Allah SWT.

“Setiap orang adalah anak dari jerih payahnya sendiri,” demikian nasehatnya.


*Ayung Notonegoro PCNU Banyuwangi, Pegiat Literasi dan Komunitas Pegon.

Sumber: http://www.halaqoh.net/2018/07/wahid-hasyim-sang-putra-tanpa-mahkota.html?m=1