Pada 1 Juni 1945, Pancasila menjadi dasar falsafah negara. Sebelum Perumusan Pancasila terbentuklah tim sembilan, yang saat ini lebih terkenal dengan julukan “Piagam Jakarta”. Salah satu anggota tim sembilan tersebut ialah KH. A. Wahid Hasyim, putra Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari mewakili jajaran ulama dari Organisasi Nahdlatul Ulama.

Kehadiran KH. A. Wahid Hasyim, di tengah-tengah pusaran perumusan Pancasila yang notabenenya diisi oleh kelompok-kelompok nasionalisme, sejatinya memberikan angin segar bagi pembentukan dasar negara Indonesia.

KH. A. Wahid Hasyim pula yang dapat memadukan antara nilai-nilai keIndonesiaan dengan nilai keagamaan. Bahwa sejatinya, kedua nilai tersebut tidak saling bertentangan justru dapat saling menguatkan satu sama lainnya.

Akhir-akhir ini, terdapat beberapa kelompok yang mencoba mempertanyakan kedudukan Pancasila. Bahkan mereka mengatakan, bahwa Pancasila tidak perlu menjadi falsafah bernegara di Indonesia. Karna cukuplah dengan agama, sebagai falsafah kehidupan.

Sebenarnya, pertentangan tersebut, mengenai nilai-nilai Pancasila yang dikatakan tidak memiliki dasar kuat bagi ideologi atau falsafah kehidupan bernegara, sudah dipikirkan secara baik-baik oleh KH. A. Wahid Hasyim ketika pada masa-masa perumusan Pancasila.

Majalah Tebuireng

Pada 22 Juni 1945, panitia beranggotakan sembilan orang (Tim Piagam Jakarta) termasuk KH. A. Wahid Hasyim mengadakan rapat dan menghasilkan pembukaan Rancangan Undang-Undang yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya”. Sehari setelah Proklamasi 17 Agustus. Muhammad Hatta, yang kemudian menjadi wakil presiden, menerima kunjungan utusan pemerintah Jepang.

Kepada Hatta, opsir angkatan laut itu mengatakan mendapatkan pesan dari kelompok Kristen dan Katolik nasionalis di Indonesia bagian timur, yang merasa keberatan (halaman 92-93) Kemudian Muhammad Hatta, memanggil Teuku Muhammad Hasan, ahli hukum Aceh untuk melobi, Ki Bagus Hadi Kusumo (Muhammadiyah) & KH. A. Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama).

Pada pertemuan tersebut, Kiai Wahid menyetujui agar redaksi Sila pertama di ubah Menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” Persetujuan KH. A. Wahid Hasyim atas perubahan bunyi sila pertama tersebut, justru memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan berbangsa dan bertanah air hingga saat ini.

Akhirnya, Pancasila saat ini dapat tetap menjadi pendoman kehidupan bernegara Masyakarat Indonesia. Sedangkan, Nahdlatul Ulama sendiri, menerima Pancasila sebagai falsafah bernegara, pada muktamar ke-24 di Situbondo Jawa Timur.

Pelopor utama, Penerimaan Pancasila bagi kalangan warga Nahdliyyin, ialah KH. Ahmad Siddiq (Jember) sebagai Rais Aam dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai ketua umum tanfidziyah PBNU. Duet ini diangggap serasi karena keduanya adalah seorang pemikir, pekerja, dan juga memiliki kedekatan hubungan

Judul Buku: Wahid Hasyim Untuk Republik Dari Tebuireng
Penulis: Tim Media Tempo
Halaman: xi + 132 halaman
Cetakan: Keempat, April 2018
ISBN: 9739799112316
Peresensi: Dimas Setyawan