Buku ‘Mengais Keteladanan dari Kiai Syansuri Badawi’ Pustaka Tebuireng.

Judul        : Mengais Keteladanan dari Kiai Syansuri Badawi

Penulis     : Cholidi Ibhar

Penerbit   : Pustaka Tebuireng

Cetakan   : I, September 2017

Tebal       : xi + 120 halaman

Majalah Tebuireng

ISBN       : 978-602-8805-54-4

Peresensi : Hilmi Abedillah

“Anak-anakku, coba perhatikan santri-santri terdahulu yang kini telah banyak menjadi ‘orang’! Kehadiran mereka bermanfaat di tengah-tengah masyarakat dan menempati kedudukan terhormat. Banyak pula yang menjadi kiai. Mereka meliki himmah (obsesi) saat di pesantren. Akan tetapi, yang jauh lebih penting adalah semangat mereka dalam thalab al-‘ilm. Mereka fokus thalab al-‘ilm dan hal itu secara sungguh-sungguh dijalankan. Mereka tidak peduli kelak bakal menjadi apa atau siapa. Semua itu mengikuti ketekunan dan riyadlah di pesantren.” –Nasihat Kiai Syansuri Badawi

Kiai Syansuri Badawi adalah salah satu Kiai Pesantren Tebuireng. Beliau santri Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Tidak banyak yang mengenalnya. Padahal, beliau merupakan sosok yang inspiratif, salah satunya karena pengabdiannya yang tak kunjung usai hingga tutup usia.

Dahulu, saat masih menjadi santri, Kiai Syansuri ketika berangkat nyantri ke Tebuireng itu jalan kaki dari Cirebon, kampung halamannya. Hingga akhirnya beliau menjadi orang terhormat di pesantren terkemuka itu. Beliau pun pernah menjabat sebagai Rektor Institut Keilslaman Hasyim Asy’ari (IKAHA) Tebuireng dari tahun 1985 sampai 1997.

Buku ‘Mengais Keteladanan dari Kiai Syansuri Badawi’ menceritakan banyak hal tentang sosok beliau selama mengajar di Tebuireng. Cholidi Ibhar, penulis buku tersebut sekaligus santri beliau, menyebutkan, Kiai Syansuri selalu menyulut santri-santrinya untuk ‘ngaji, ngaji, dan ngaji’. Ngaji merupakan tugas utama santri. Kepahaman, kapasitas, dan keluasan menguasai berbagai khazanah keilmuan bisa diraih bila yang namanya ngaji menjadi ikhtiar dan laku sehari-hari. Sebaliknya, minus atau setengah-setengah dalam menjalaninya bakal serba kurang dan predikat santri minimalis yang melekat pada diri santri. (hal. 49)

Dalam tulisan berjudul ‘Jatuh Cinta pada Tebuireng’, diceritakan bahwa tidak banyak santri yang jatuh cinta pada Tebuireng. Biasanya, setelah tuntas ngaji hingga level tertinggi, santri-santri langsung boyong dan kembali ke kampung halaman. Beda dengan Kiai Syansuri, jatuh cintanya pada pesantren membuatnya berjibaku mengabdi di Tebuireng. Beliau tidak buru-buru pulang. Bahkan, godaan untuk mendirikan pesantren sendiri juga rayuan materialisme agar dijodohkan dengan keturunan aghniya’ ditampiknya. (hal. 6)

Buku tipis ini menjadi salah satu dokumentasi tentang seorang kiai yang telah menghasilkan ribuan santri berkualitas. Walau informasi tentang beliau tidak terlalu banyak, buku ini merupakan awal untuk menulis buku yang lebih lengkap. Kisah-kisah di dalamnya sangat butuh untuk dibaca, utamanya bagi santri yang masih menuntut ilmu juga ustad yang sedang mengabdi di pesantren.


Resenator adalah Mahasantri Ma’had Aly Tebuireng Jombang.