KH Abdul Hamid bin Abdullah bin Umar Pasuruan (sumber foto: https://mistikus-sufi.blogspot.co.id)

KH Abdul Hamid merupakan seorang ulama yang memiliki karisma tinggi, selain dikenal dengan dengan rasa penyayang, beliau merupakan teladan yang memiliki sifat sabar yang tinggi. KH. Abdul Hamid lahir di Lasem, 4 Muharram 1333 H./22 November 1914 M. Ayahnya seorang ulama di Lasem, KH. Abdullah bin KH. Umar dan Nyai Raihanah binti  KH. Shiddiq merupakan ibu kandung KH Abdul Hamid, beliau merupakan putra keempat dari 12 bersaudara.

Ia adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya tinggal di Pasuruan.

Masa kecil

Abdul Mu’thi merupakan sosok masa kecil KH. Abdul Hamid, ia dikenal dengan sifatnya yang tegas, kala itu Abdul Muthi merupakan anak yang sangat aktif, ia lebih sering menghabiskan waktunya diluar rumah dengan bermain layang-layang ataupun sepak bola. Bahkan, beliau telah mempunyai klub sepak bola sendiri. Namanya Rodali. Sering menjadi tuan rumah dari klub luar desa sebagaimana sering bertandang ke desa lain. Ia juga bersikap tegas terhadap orang cina pada saat itu, dan diberijulukan asyidda-u ‘alalkuffar (sangat tegas terhadap orang-orang kafir) mengingat keadaan etnis Cina yang waktu itu sebagai pendatang dengan warga pribumi tidaklah sedamai sekarang.

Apalagi pada waktu itu mereka mendapat pembelaan dari pemerintah Hindia Belanda. Abdul Hamid, mula-mula belajar membaca Al Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fikih dasar. Tiga tahun kemudian, Abdul Hamid mulai berpisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Kemudian ia berpindah ke pesantren Kasingan, Rembang yang saat itu diasuh oleh Kiai Kholil bin Harun. Saat itu, beliau masih berusia 12-13 tahun, dan terjadi sekitar tahun 1926-1927 M. Di desa itu dan desa-desa sekitarnya, beliau banyak belajar tentang ilmu fikih, hadis, tafsir dan lain lain.

Majalah Tebuireng

Pada usia 18 tahun, ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur. Tremasi saat itu diasuh oleh KH. Dimyati. Pertama kali di Tremas beliau hidup prihatin karena kiriman dari ayahnya hanya cukup untuk membeli nasi tiwul. Lima tahun kemudian Abdul Hamid yang sudah dewasa dipercaya sebagai lurah pondok. Sekitar empat tahun, beliau yang sudah menjadi tokoh agama sudah dipercaya untuk mengajar di Masjid. Disana, beliau mulai menunjukkan perubahan sikap dan dikenal sebagai orang dengan asma’ tinggi. Amaliah beliau semakin bertambah dan sering ber-khalwat disebuah gunung dekat pondok. Semakin lama, beliau semakin jarang keluar kamar hingga dijuluki dengan “plenthu” karena keistimewaannya yang memupunyai ilmu luas dan asma’ yang tinggi.

Menikah

KH. Abdul Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris.

Setelah menikah, beliau pindah kerumah mertua di Desa Kebonsari atau lebih tepatnya di kompleks Pondok Pesantren Salafiyah. Disana beliau tidak langsung mengajar, tapi belajar kepada Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaf dengan mengikuti rohah (kegiatan membaca kitab secara bergiliran) tiap selepas ashar di rumah Habib. Setelah itu, berbagai wirid dibaca bersama para jama’ah hingga selesai shalat Isya.

Setelah proklamsi kemerdekaan, sekitar akhir 1945 atau awal 1946, Kiai Hamid pindah kedesa Jatian, kabupaten Jember. Sebelum kemudian pindah ke Glenmore, Banyuwangi pada tahun 1948. Inilah saat awal bagi Kiai Hamid untuk mandiri. Awalnya, saat ini beliau lalui dengan penuh keprihatinan. Bahkan, sarung beliau karena saking usangnya, kalau dipakai akan terlihat menerawang. Maka beliau melilitkan serban untuk menutupi terawangan ini. Makanpun dengan lauk tempe dan krupuk. Sering juga ketika tidak ada minyak goring beliau hanya membakar atau pun merebusnya. Beliau jalani hal tersebut dengan tabah dan terus berusaha, di antaranya dengan menjadi broker sepeda, menjual kelapa dan kedelai, dan lain-lain.

Pada masa itu, beliau mulai mengisi pengajian. Seperti mengisi pengajian di Rejoso ataupun Ranggeh atas dasar permintaan warga. Selain itu, setiap hari Senin dan Kamis, beliau juga mengajar diteras rumah beliau yang mengaji ada sekitar 10-15 orang.

Kesabarannya, kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu. Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Kiai Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa beliau dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate (Orang tua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya),” katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.

Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut H. Idris, tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut H ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas.

Mengasuh Pesantren

Tahun 1951 Kiai Abdullah bin Yasin wafat, dan mengangkat Kiai Aqib sebagai pengganti. Namun karena masih muda, Kiai Aqib merasa tahu diri dan menyerahkan kepengasuhan kepada Kiai Hamid. Tidak lama kemudian, Kiai Aqib mondok lagi di Pesantren al Hidayah, Lasem.

Pondok Salafiyah diasuh oleh Kiai Hamid ketika pondok ini sedang ditinggal oleh santrinya. Hal  ini berkaitan dengan pendekatan dari pengasuh sebelumnya, Kiai Abdullah, yang sangat ketat dalam hukum dan tidak ada toleransi didalamnya. Namun, saat Kiai Hamid mengasuh, lambat laun santrinya bertambah. Saat tahun 1962, jumlahnya meningkat sekitar 80 orang. Pembangunan pun dilakukan untuk menampung jumlah santri yang lebih banyak.

Beliau tidak mengajarkan kitab yang besar-besar karena metode beliau yang dipentingkan adalah riyadloh, yakni bagaimana seorang santri bisa mengolah batinnya.

Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum.

Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga dari kota-kota lain seperti Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk di antaranya Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, beliau hanya membaca beberapa baris dari kitab itu

Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Kiai Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. “O, rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat,” ujarnya.

Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, beliau selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Kiai Hamid mengatakan, akan menghubunginya jika sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur (menyenangkan orang lain) seperti yang dianjurkan Nabi.

Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunah, beliau selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, beliau selalu mendatangi undangan, di manapun dan oleh siapapun. Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran (yang dipahami secara sederhana) mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu’afa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah.

Mangakatnya Panutan Umat

Beliau adalah tipikal orang yang tidak mau orang lain susah karenanya. Beliau menyimpan rapat penyakit yang beliau miliki, bahkan istri beliaupun tidak tahu. Hingga suatu hari, beliau jatuh pingsan saat sedang berbincang-bincang dengan ipar beliau, KH. Abdur Rahman. Setelah siuman, beliau berpesan untuk tidak menceritakan kejadian tersebut kepada siapapun.

Kamis, 23 Desember 1982, beliau mendadak jatuh dan akhirnya dilarikan ke RSI Surabaya. Hasil rontgen menunjukkan kalau jantung beliau sudah membengkak cukup parah, ginjalnya sudah tidak berfungsi, dan livernya juga sudah parah. Beberapa tahun sebelumnya, seharusnya beliau sudah merasakan sakit. Anehnya, tidak ada seorangpun dari keluarga yang tahu akan hal ini.

Kesehatan beliau semakin menurun hingga Sabtu, 25 Desember 1982 M/09 Robi’ul awwal 1403 H. Semua keluarga berkumpul, dan tepat pukul 03:00 WIB dini hari, beliau menghembuskan nafas terakhir di usia 70 tahun menurut hitungan tahun Hijriah. Selamat jalan, murabby ruuhyna.


*Disarikan dari berbagai sumber