Kiai Azaim Ibrahimy hadiri Silaturahmi Dzuriyah Masyayikh, Ulama, Kiai, dan Habib yang didakan oleh Komite Khittah 1926 NU (KK26NU), pada Kamis (21/11/2019). (Foto: Aros)

Tebuireng.online— Istilah Khittah NU memang telah populer saat muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984. Namun, jauh sebelum itu, telah disebutkan oleh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam Qonun Asasi NU yang beliau tulis, bahwa ketika NU sudah tidak lagi berada dalam garisnya, harus kembali ke khittati salaf, garis para sahabat, tabiin, tabiit tabiin dengan ihsan (kebaikan) hingga hari kiamat.

Demikian yang disampaikan oleh Pengasuh Pesantren Salfiyah Syafi’iyah Sukorejo Asembagus Situbondo, KH. Ahmad Azaim Ibrahimy dalam Silaturahmi Dzuriyah Masyayikh, Ulama, Kiai, dan Habib yang didakan oleh Komite Khittah 1926 NU (KK26NU) di pesatren tersebut pada Kamis (21/11/2019).

Dalam kesempatan itu, cucu Kiai As’ad Syamsul Arifin tersebut menyebut bahwa terselenggaranya acara ini, berangkat dari amanah mulia dari penggagas KK26NU, KH. Salahuddin Wahid.

“Bahwa apa yang kita cita-citakan kita satu hati, merindukan jamiyyah NU kembali kepada ajaran pokok semula yang dituturkan dan dipraktikkan oleh pendiri dan pendahulu yang kemudian disebut dengan KHittah,” ungkapnya.

Ia juga menyebut bahwa perjuangan dalam mengembalikan NU pada Khittahnya, sudah sejak KH. Hasyim Asy’ari yang menuturkan. Gus Abdurrahman Hasan Genggong, menyampaikan bahwa dalam kitabnya Kiai Hasyim menjelaskan arah perjuangan jamiyah Nahdlatul Ulama bahwa ketika NU sudah tidak sesuai dengan yang digariskan, maka harus kembali kepada Khittati Salaf.

Majalah Tebuireng

“Khittati Salaf ini ya para ulama salaf, yaitu sahabat, tabiin, tabiit tabiin, tapi ada biihsanin ila yaumiddin. Segala sesuatu itu harus biihsan. Untuk sekarang ini biihsan kita ya mengembalikan NU kepada Khittahnya,” tambahnya.

Ia memaparkan pada Khittah NU juga sudah popular pada tahun 1950an oleh KH. Ahyat Chalimi, tahun 1962 di Solo, tahun 1971 oleh KH. Wahab Chasbullah, tahun 1881 oleh KH. Ahmad Shiddiq, KH As’ad Syamsul Arifin dan sejumlah pemuda NU di Asembagus Situbondo, dan akhirnya dapat diputuskan pada 1884, yaitu pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo.

“Menurut Gus Dur, kelompok khittah pada saat pergolakan itu, terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu khittah murni, khittah plus, dan khittah minus. Lah kita ini yang mana? Semoga kita termasuk yang khittah NU murni,” jelasnya.

Mengacu pada cerita pendirian NU, di mana Kiai As’ad Syamsul Arifin mengemban amanah dari Syaikhona Kholil Bangkalan untuk memberikan tasbih beserta perangkat wirid “Ya Jabbar Ya Qohhar”, Kiai Azaim menyebut bahwa tasbih itu sekarang ini sudah berputar.

“Seperti ada yang dibersihkan, tapi tasbihnya tidak sampai rusak. Terus tidak lepas (butir tasbihnya) tapi kotorannya yang lepas. Yang kami cita-citakan khidmah kepada pendiri NU. Itulah yang membuatkan kami siap dengan penuh senang hati mengadakan acara ini, dengan satu harapan, tersenyumnya Kiai Syamsul Arifin, senyumnya Kiai As’ad, Kiai Fawaid, terlebih senyumnya para muassis (pendiri) NU. Dan semoga Insyaallah Kanjeng Nabi Muhammad SAW juga rida,” pungkasnya.

Seperti yang diketahui, demi tewujudnya NU yang kembali kepada jalurnya, yaitu Khittah 1926 yang digariskan oleh pendirinya, Komite Khittah 1926 NU mengumpulkan para ulama, kiai, dan habaib di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Asembagus Situbondo pada Rabu (21/11/2019).

Dalam silaturahmi itu, ratusan ulama, kiai, dan habaib dari berbagai daerah di Indonesia hadir untuk merembukkan format perjuangan dalam mengembalikan NU kepada relnya.

Pewarta: Abror Rosyidin