Sumber gambar: https://id.wikipedia.org/wiki/Sembilan_Wali_(Wali_Sanga)

Sejak awal Juli 2018 lalu, Pesantren Tebuireng telah memiliki Rumah Produksi film. Rumah produksi itu didirikan dengan tujuan menjadi pioner kaum santri dalam melakukan dakwah dengan melalui dunia perfilman. Film perdana yang masih dalam tahap penggarapan dan diproyeksi akan rilis pada Agustus mendatang, adalah film “Binar”.

Selain itu, Pesantren Tebuireng juga memiliki organisasi santri yang konsen di bidang fotografi dan sekarang telah menjamah dunia multimedia dan cinematografi, yaitu Komunitas Photography Tebuireng (Kopi Ireng). Kopi Ireng inilah yang menjadi cikal bakal adanya Rumah Produksi Tebuireng yang menggarap film “Binar” dengan murni dari tangan santri, untuk masyarakat Indonesia, termasuk juga aktris dan aktornya.

Namun, siapa sangka salah satu kiai besar Pesantren Tebuireng yang pernah menjadi pengasuh selama empat dekate sejak 1965-2006, yaitu KH. M. Yusuf Hasyim atau yang biasa disapa Pak Ud juga pernah merasakan serunya dunia perfilman. Pada tahun 1985, Kiai yang berlatarbelakang militer dan politisi itu, pernah diminta oleh sutradara ternama kala itu, Djun Saptohadi, untuk ikut mengambil peran dalam filmnya yang berjudul “Sembilan Wali” atau “Wali Songo”.

Dalam film yang diproduseri oleh Ram Soraya itu, Pak Ud berperan sebagai Sunan Gresik atau Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Naskah film yang ditulis oleh H. Alim Bachtiar dan Team Soraya Film bercerita tentang peranan Walisongo dalam menegakkan syariat Islam di tanah Jawa dengan latar Kerajaan Majapahit.

Pada waktu itu, Kerajaan Majapahit sedang mengalami kemunduran. Lalu Kanjeng Sri Ratu Majapahit mengirim Ki Patih Mahes Kicak datang ke Ampel Denta menghadap para Sunan agar bergabung menyusun kekuatan untuk menyongsong kembali kejayaan Kerajaan Majapahit. Namun, Sunan Ampel menjelaskan bahwa padepokan yang dibangunnya itu digunakan untuk kepentingan penyebaran agama Islam, jika ingin mengembalikan kehormatan dibutuhkan tentara yang banyak.

Majalah Tebuireng

Mahesa kicak sebagai utusan Sri Raty Majapahit memberanikan diri untuk memimpin tentara itu. Namun, para walisongo berpendapat bahwa yang pantas memimpin tentara tersebut adalah Raden Fatah karena merupakan putra dari Prabu Brawijaya meskipun dari anak selir.

Patih Mahesa Kicak dengan penuh amarah tidak terima dengan keputusan para wali. Singkat cerita Mahesa Kicak lalu meninggalkan sidang lalu mencari Syekh Siti Jenar untuk berguru kepadanya. Syekh Siti Jenar, merupakan seorang wali yang dianggap menyimpang dari ajaran agama Islam. Akhirnya timbul pertempuran antara pasukan Raden Patah dengan Patih Mahesa Kicak yang diperankan oleh El Manik.

Lalu, peran apa yang ditunjukkan Sunan Gresik yang diperankan Pak Ud? Dalam film ini sebenarnya Sunan Gresik digambarkan telah meninggal, namun muncul dalam angan-angan Syaikh Siti Jenar dan para wali lain, karena beliau lah bersama Sunan Ampel menentang keras paham tasawuf Syaikh Siti Jenar yang dianggap sesat oleh dewan Wali Songo. Selain itu, Sunan Gresik adalah wali paling sepuh di antara yang lain.

Maka, sebenarnya, apa yang telah dan akan dilalui oleh kru Rumah Produksi Tebuireng adalah bagian dari meneruskan pendahulunya, KH. M. Yusuf Hasyim dalam berdakwah melalui film. Di era milenial ini dengan segala perkembangan teknologi informasinya, tentu dakwah Islam yang rahmatan lil alamin, harus mampu dikemas sekreatif mungkin agar dapat sampai kepada generasi muda bangsa ini. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishshawab. Teruntuk Almaghfurlah KH. M. Yusuf Hasyim dan perjuangan Rumah Produksi Tebuireng, Alfatihah!