KH. Mashoem Kholil, foto ketiga dari Soekarno. Foto: penulis
KH. Mashoem Kholil, foto ketiga dari Soekarno. Foto: penulis

Oleh: Akmal Khafifudin*

KH. Ma’shoem Cholil terlahir di Rejoso, Peterongan, Jombang dengan nama kecil “Syauki” pada tanggal 21 Februari 1911 dari pasangan Al Mursyid KH. Kholil Juraemi dan Ny.Hj. Fatimah Tamim. Di masa kecilnya, “Syauki” dibimbing langsung oleh Buyanya dan kakeknya di Pondok Rejoso, Peterongan, Jombang. Pada umur 10 tahun, tepatnya di tahun 1920 Masehi ia diikutsertakan dalam rombongan haji bersama keluarganya ke Tanah Suci.[1]

Barulah setelah menunaikan ibadah haji, Syauki ditempatkan di Pesantren Tebuireng guna menimba ilmu kepada Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari sampai tamat pada tahun 1926. Di jeda waktu antara 1926 – 1928, Syauki memperdalam ilmu agamanya lagi kepada Buyanya dan pamannya yakni KH. Romly Tamim. Kemudian di tahun 1928 pula, Syauki atau Kiai Ma’shoem melanjutkan rihlah “tholabul ilmi” bersama kakaknya, KH. Dahlan Kholil ke Tanah Hijaz.

Di sana ia menimba ilmu di Madrasah Shaulatiyah yang didirikan oleh Syaikh Salim Rahmatullah Al-Hindi Al-Makki. Di kitab Shahih Tirmidzi milik Kiai Ma’shoem, terdapat sebuah enkripsi parateks yang mana beliau memulai mengaji kitab hadits tersebut pada tanggal 22 Jumadil Akhir 1351 H / 23 Oktober 1932 dengan gurunya, Syaikh Muhammad bin Hasan Al – Masyath.[2] Kemudian di tahun 1934 terjadi konflik internal antara santri Madrasah Shaulatiyah yang berasal dari India dan santri asal semenanjung Melayu yang ber–laqob Al Jawi.[3]

Dalam buku Sejarah Hidup KH. Abdul Wahid Hasyim yang ditulis oleh H. Aboebakar Atjeh. Seusai konflik tersebut terjadi, maka kaum santri dan ulama dari semenanjung Melayu (khususnya Indonesia) mendirikan madrasah tersendiri dengan nama “Madrasah Darul Ulum Ad – Diniyah” yang berlokasi di kampung Suq Al – Lail.

Majalah Tebuireng

Kemudian di tahun 1935, kakaknya KH. Dahlan Kholil yang kebetulan mengajar di madrasah tersebut menarik adiknya Kiai Ma’shoem untuk sama–sama menjadi tenaga pengajar di madrasah yang kelak namanya akan disematkan ke Pesantren Rejoso, Peterongan, Jombang peninggalan leluhurnya. Pada tahun 1937, Kiai Ma’shoem kembali ke Tanah Air dan iapun masih melanjutkan studinya di bidang Ilmu Qira’at di Ponpes Sedayu Gresik.

Barulah di tahun 1938, atau di usianya yang ke-27 tahun. Kiai Ma’shoem memulai membina bahtera rumah tangganya dengan menikahi Nyai Chasanah, putri H. Hasyim dari Dusun Jagalan, Peterongan, Jombang. Pada tahun 1946, Kiai Ma’ashoem bersama kolega dan mertuanya di PCNU Kabupaten Jombang merintis sebuah lembaga sosial yang menampung anak yatim piatu dan anak terlantar dengan nama “Darul Aitam Nahdhatul ‘Ulama” (DANU). Di awal pendiriannya, tercatat sebanyak 36 orang anak terhimpun di lembaga sosial tersebut.[4]

Selain aktif di Darul Aitam NU, Kiai Ma’shoem pada tahun 1950 aktif sebagai ketua Ma’arif NU Kab. Jombang dan anggota Konstituante Republik Indonesia. Dalam buku Jejak Sejarah NU Ponorogo, dituliskan bahwa sebelum NU terjun sebagai partai politik praktis dan berpisah dengan Masyumi pada pemilu 1955. Beberapa ulama NU se–Jawa Madura berkumpul di kediaman Kiai Ma’shoem (rumah Jagalan, Jombang) pada awal April tahun 1952. Dari kediaman Kiai Ma’shoem tersebut para ulama NU menyayangkan pengucilan anggota Masyumi dari NU oleh anggota Masyumi dari non–NU.

Maka ulama NU yang berkumpul di kediaman Kiai Ma’shoem tersebut menyatakan bahwa NU keluar dari Masyumi dan hal ini dikuatkan oleh SK yang terbit 5 / 6 April 1952. Keputusan tersebut kemudian dikukuhkan secara resmi di Muktamar NU ke 19 yang diadakan di kota Palembang. Kiai Ma’shoem yang masih mengemban amanat sebagai pengasuh Yayasan Darul Aitam tersebut kemudian berpulang ke hariban Ilahi Robbi pada tanggal 26 Rajab 1380 H atau bertepatan dengan tanggal 14 Januari 1961 M. Beliau meninggalkan seorang istri dan 8 putra – putri yang bernama, Chafsoh, Abdul Hannan, Abdul Hakam, Siti Aisyah, Hafidzoh, Abdul Hafidz, Abdul Hakim, dan Abdul Halim. Wallahu A’lam..

Baca Juga: KH. Sofyan Cholil, Founding Father IPNU dari Rejoso Peterongan


[1] Buku Sejarah Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang, 2012, halaman 27.

[2] Kitab tersebut kini disimpan oleh keluarga putranya, KH. Abdul Halim Ma’shoem.

[3] Dedi, “13 Misteri di Kota Makkah”, Bogor : Guepedia, 2013, halaman 201

[4] Drs. Abdul Hafidz Ma’shoem dkk, “Sejarah Singkat Yayasan Darul Aitam NU”, Jombang, 1989, halaman 1


*Ponpes Darul Amien, Dusun Gembolo, Desa Purwodadi, Kec. Gambiran Banyuwangi.