(Sumber foto: facebook penulis)

Oleh: Drs. H. Raden Panji Ahmad Mujahid Ansori, M.Si. [1]

Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS (Biro Pusat Statistik) Indonesia pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam adalah 207.176.162 (dua ratus tujuh juta seratus tujuh puluh enam ribu seratus enam puluh dua) orang atau 87,18 % dari keseluruhan penduduk Indonesia.[2] Dengan jumlah sebanyak itu Indonesia menempati ranking pertama populasi terbesar umat Islam di dunia.[3] Yang luar biasa, dibandingkan dengan negara-negara mayoritas Islam lainnya Indonesia relatif lebih stabil situasi perekonomian, keamanan, politik dan relasi antar umat beragamanya.

Saat ini negara-negara mayoritas Islam seperti Mesir, Suriah dan Yaman sedang tidak stabil kondisi ekonomi, politik dan keamanannya yang antara lain disebabkan karena gesekan antar umat Islam sendiri maupun karena gerakan-gerakan Islam trans-Nasional. Diakui atau tidak, semua itu tidak lepas dari jasa pahlawan kita, guru kita, panutan kita, Kiai kita,  Hadratussyaikh  KH. M. Hasyim Asy’ari.

Mengapa demikian ? Ketika ada banyak orang mempertentangkan antara nasionalisme dengan agama, Hadratussyaikh  KH. M. Hasyim Asy’ari dengan tegas menyatakan bahwa antara agama dan nasionalisme tidaklah berada dalam kutub yang berseberangan. Seorang Muslim sejati yang taat, cinta pada Allah dan RasulNya haruslah juga sekaligus menjadi pecinta dan pembela tanah air. Marwah agama sama kedudukannya dengan marwah tanah air. Karena itulah pada tanggal 22 Oktober 1945 saat ada gelagat Belanda melalui tentara Sekutu berusaha kembali menguasai Indonesia, Rais Akbar Hadratussyaikh  KH. M. Hasyim Asy’ari menyampaikan amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam baik pria maupun wanita untuk berjihad mempertahankan tanah air dan bangsanya. Amanat inilah yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan “Resolusi Jihad Fii Sabilillah” yang pada akhirnya berujung pada perlawanan rakyat dan pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya.

Pendapat Hadratussyaikh  KH.M. Hasyim Asy’ari yang tidak menghadapkan agama dengan Nasionalisme ini pastilah sebuah pendapat yang terbit dari kedalaman fikir dan keluasan wawasan beliau, bukan pendapat yang lahir karena motivasi kekuasaan, apalagi materi atau motif-motif duniawi lainnya.  Tampaknya pendapat ini perlu digaungkan kembali termasuk kepada generasi-genari NU menyikapi maraknya fenomena kekuatan Islam trans-Nasional di Indonesia serta beberapa negara lain yang menghadapkan Nasionalisme vis a vis dengan agama.

Majalah Tebuireng

Hadratussyaikh KH.M. Hasyim Asy’ari adalah seorang pemimpin luar biasa yang tidak segan-segan turun dan bekerja bersama anak buahnya. Ini beliau lakukan agar bisa berempati dan menghargai apa yang telah dilakukan oleh anak buahnya, sebuah sikap tawadlu’ yang mencerminkan kebeningan hati beliau. Dua hari dalam seminggu Hadratussyaikh  KH.M. Hasyim Asy’ari libur mengajar untuk ikut bekerja di sawah bersama para pekerjanya. Sungguh sebuah sikap yang kini sulit dan langka kita temukan dalam diri para pemimipin kita. Seorang pemimpin harus mau berkorban untuk ummatnya, bukan sebaliknya; mengorbankan umatnya untuk kepentingan diri sendiri.

Dalam kaitannya dengan Nahdatul Ulama (NU), KH. M. Hasyim Asy’ari- sebagaimana dikatakan oleh Mustofa Bisri-menyatakan bahwa NU membutuhkan orang-orang yang mau bekerja untuk jam’iyahnya, bukan bekerja meraih keuntungan dari jam’iyahnya.[4] Karena itu sungguh amat memprihatinkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini muncul isu-isu tentang money politic yang mewarnai pelaksanaan Muktamar NU. Ini bisa kita lihat dari media massa yang dalam beberapa hari ini diramaikan oleh berita tentang kelompok-kelompok muda NU seperti PMII, Garda Muda NU dan ISNU yang meminta agar pelaksanaan Muktamar NU yang akan datang bersih dari praktek money politic. Ada pula yang meminta agar dibentuk audit independen guna mengawasi dana besar yang digelontorkan pemerintah untk Muktamar NU.

Andai Hadratussyaikh  KH.M. Hasyim Asy’ari masih ada, pasti beliau akan menangis sedih mendengar isu-isu tersebut, apalagi melihat kenyataannya. Meski demikian, tidak sedikit para Kiai kita yang wara’ mengikuti lampah KH. M. Hasyim Asy’ari, diantaranya adalah cucu beliau sendiri: KH. Shalahuddin Wahid. “Kalau untuk menjadi ketua PBNU saya harus main uang, maka lebih baik saya tidak menjadi ketua PBNU. Saya sudah tua. Jarak saya dengan makam cuma tinggal 40 meter. Meski nanti makam saya bersebelahan dengan makam Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, maka sesungguhnya jarak saya dengan beliau akan amat jauh. Allah tidak akan menolong saya jika saya sampai main uang!,” kata Gus Sholah, cucu dari Hadratussyaikh KH. M. Hasyim As’ari dengan tegas pada pertemuan di Grand Kalimas Februari 2015 yang lalu di tengah-tengah para alumni Tebuireng yang menginginkan beliau maju menjadi ketua PBNU. Meski kalimat itu beliau ungkapkan tanpa berapi-api, tapi getarannya serasa sampai ke ulu hati, menggetarkan jiwa. Subhanallah! Benar-benar keturunan Hadratussyaikh  KH.M. Hasyim Asy’ari sejati.

Pesantren-tentunya juga kita- haruslah i’timad ‘alan nafsi (mandiri dan percaya diri). Begitu kata KH. Hasyim Asy’ari. Seseorang yang mandiri tidak akan mudah ditundukkan pihak lain, karena ia tidak bergantung kepada siapapun. Karena itulah disamping beliau mengajar, beliau juga seorang petani yang punya berhektar sawah dan juga seorang pedagang. Seseorang yang bergantung ke pihak lain besar kemungkinan tidak akan mempunyai kemerdekaan sendiri, sama saja dengan memberikan peluang kepada orang lain untuk mengatur kita.

Dengan bergantung kepada orang, berarti kita menggadaikan kemerdekaan kita, harga diri kita, marwah kita. Sebagaimana banyak dikatakan orang, tidak ada yang gratis di dunia; apalagi saat ini. Ada udang di balik batu. Jika ada seseorang memberi sesuatu pada kita apalagi dengan pemberian yang fantastis, patut diduga bahwa pemberian tersebut mempunyai tujuan atau agenda tertentu, meski tidak semuanya begitu. Dan Hadratussyaikh  KH.M. Hasyim Asy’ari tidak mau itu terjadi.

Hal terakhir yang patut kita catat dari Hadratussyaikh  KH. M. Hasyim Asy’ari adalah ajarannya agar kita tidak mudah bersu’udhon, karena pandangan mata bisa jadi menipu, pandangan akal bisa jadi melenakan. Memandanglah dengan hati, insya Allah akan beroleh hikmah dan kebenaran. Subhanallah, sungguh sebuah nasehat yang bijak. Saat ini begitu banyak orang yang bukan hanya bersu’udhon, tapi sudah sampai pada taraf mengklaim, menghujat dan menuduh. Ada juga yang dengan lantang mencap seseorang sebagai sesat, kafir, musyrik dan celaan-celaan lainnya kepada sesama Muslim. Ah, seandainya semua orang meniru lampah dan ajaran KH. Hasyim Asy’ari, pastilah aman, tentram dan damai bumi ini.


[1]   Penulis adalah mantan ketua IKA PMII Jatim, alumni Madrasatul Qur’an Tebuireng Jombang. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tebuireng edisi 38 Mei-Juni 2015, dimuat ulang untuk kepentingan pendidikan.

[2] Urutan berikutnya berturut-turut ditempati oleh agama Kristen (6,96%), Katolik (2,91%), Hindu (1,69%), Budha (0,72%) dan Khong Hu Chu (0,05%). Sisanya (0,49%) tidak diketahui. Sumber : www.bps.go.id.

Ranking kedua ditempati oleh Pakistan disusul kemudian oleh India, Bangladesh dan Mesir. Lihat : http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_menurut_negara.

[4] Lihat : http://www.nu.or.id/, diakses pada tanggal 20 April 2015