sumber ilustrasi: tebuireng.online

(Seri Kiprah KH. Hasyim Asy’ari #1)

Oleh: M. Abror Rosyidin*

Pernah mendengar sebuah ungkapan terkenal “Pak Tani adalah Penolong Negeri”? Ungkapan itu ternyata dipopulerkan oleh ulama pendiri NU, KH. M. Hasyim Asy’ari. Kiai Hasyim baik dari pemikiran maupun tindakan memang sangat pro terhadap isu-isu agraria dan pertanian sebagai salah satu bidang garapannya.

Bahkan Kiai Hasyim menulis dalam sebuah media era penjajahan Jepang:

Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan diwaktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa’ Tani itoe ialah pembantoe Negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe di waktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; dan Pa’ Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat  negeri didasarkan.” (KH. Hasyim Asy’ari; Soera Moeslimin Indonesia No. 2 Tahun ke-2, 19 Muharom 1363)

Majalah Tebuireng

Di akhir tulisan, Kiai Hasyim mengutip dari kitab akhlak Adabud Dunya wa ad Diin, karya Syaikh Imam al Mawardi, bahwa dunia akan tertib jika enam hal terpenuhi, pertama, agama yang ditaati. Kedua, pemerintah yang berpengaruh. Ketiga keadilan yang merata. Keempat, ketentraman yang meluas. Kelima, kesuburan tanah yang kekal. Dan keenam, cita-cita yang luhur. 

Tulisan itu sangat melegenda. Pemerintah dan banyak tokoh agraria menggunakannya untuk mengkampanyekan semangat pengembangan pertanian dan bahwa petani adalah penolong negeri. Mereka adalah pahlawan lumbung logistis negara. Banyak yang mengutip kalimat “Pak Tani penolong negeri”, tetapi tak banyak yang tahu ungkapan itu merupakan stetemen legendaris dari sosok pendiri NU itu.

Kiai-kiai zaman dahulu juga menggunakan pertanian sebagi media pemenuhan kebutuhan pesantren. Demikian juga dengan Kiai Hasyim. Pagi hari setelah mengaji dengan para santri, Kiai Hasyim menemui para pekerja untuk membagi tugas, di antaranya ada yang berdagang, berladang, berkebun, dan bertani di sawah.

M. Sanusi dalam bukunya “Kebiasaan-kebiasaan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari” malah menyebut Kiai Hasyim tidak hanya mengajarkan mengaji, tapi juga mengajarkan santri-santrinya bercocok tanam. Kiai Hasyim mengajak mereka di waktu senggang seperti Selasa dan Jumat untuk bercocok tanam di sawah milik Tebuireng. Kiai Hasyim mengejari mereka bagaimana mencangkul, bagaimana menanam, panen, tapi tidak sampai meninggalkan ajaran agama, semisal waktu sholat.

Untuk membeli tanah, Kiai Hasyim patungan dengan keluarga. Hasil bumi dari panen sawah-sawah itu, dijual di pasar Cukir untuk ditukar dengan kebutuhan-kebutuhan sehari-hari santri dan keluarga beliau. Kiai Hasyim juga mengajari mereka untuk merawat ikan-ikan tambak atau kolam. Hasilnya untuk biaya hidup santri di pondok, khususnya untuk kebutuhan logistik. Dampak dari gerakan bertani itu tidak hanya menyasar santri saja, tetapi juga masyarakat yang juga ikut-ikutan minta diajari cara bercocok tanam, sehingga sebagian masyarakat yang dulunya berkehidupan miskin menjadi kian sejahtera.

Hari Selasa merupakan hari pertanian bagi beliau. Khusus disisihkan untuk menggarap dan mengecek sawah. Sawah beliau ada di beberapa tempat, namun yang sangat ternama, yaitu sawah di Jombok Ngoro, perbatasan Jombang-Pare. Sekarang sebagian tanahnya menjadi SMA Trensains. Beliau meliburkan mengaji, karena sejak pagi sudah berangkat ke sana dengan mengendarai cikar (andong sapi).

Pertanian itu pula yang menghidupi pondok dan santri. Tak semua santri dari keluarga berada. Kiai Hasyim tak pernah menarif biaya mondok. Bahkan apa saja bisa dijadikan syahriah (baca: sekarang SPP), bisa hasil bumi maupun ternak itupun, kembali lagi untuk pondok bukan untuk beliau dan keluarga. Ada yang membawa umbi-umbian, beras, jagung, buah-buahan, lauk-pauk, dll.

Untuk itu solusi utama keberlangsungan dan kemandirian pangan adalah dengan bertani, berternak, berkebun, lalu berdagang. Tidak hanya pangan, hasilnya bisa berupa media ajar seperti kitab, oprasional, bangunan, lahan, dan aset-aset lainnya. Kiai Hasyim tak pernah meminta dan menyodorkan proposal untuk mendapatkan sumbangan. Karena kemandirian adalah prinsip utama beliau dan ditanamkan kepada para santrinya.

Di penghujung abad ke-19 (sembilan belas) di sekitar Tebuireng banyak bermunculan pabrik-pabrik milik orang asing, khususnya Pabrik Gula Tjoekir yang berada dekat dengan Tebuireng. Secara ekonomi terlihat adanya pabrik-pabrik itu menguntungkan, karena membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk setempat. Namun, dari aspek psikologis, justru merugikan, karena masyarakat nyatanya belum siap menerima industrialisasi.

Masyarakat yang notabenenya adalah para petani, belum siap menerima sistem upah sebagai buruh pabrik. Hal itu dimanfaatkan Belanda sebaik mungkin. Di dekat pabrik dibangun prostitusi yang biasanya menjadi tempat para buruh menghabiskan uang dengan bermain perempuan, judi, dan mabuk-mabukan. Mereka menjadi sangat hedonis dan konsumtif.

Setelah Kiai Hasyim dengan susah payah dan penuh gangguan mendirikan Pesantren Tebuireng, salah satu konsentrasi beliau dalam membenahi umat adalah pertanian. Beliau sedikit-sedikit membeli tanah sekitar pabrik dan mempekerjakan penduduk sekitar untuk bercocok tanah.

Kiai Hasyim memberikan pengajaran agama melalui interaksi pertanian. Bahkan hal itu cukup ampuh menarik perhatian masyarakat untuk tidak mau bekerja lagi di pabrik dan meninggalkan dunia gelap prostitusi. Hal itu menjadi media perlawanan terhadap kekejaman dan kesewenangan penjajah Belanda. Hingga penjajah beberapa kali menghancurkan dan menyerang pesantren.

Para tuan tanah pun menjadi enggan menjualkan tanahnya dengan harga murah kepada Belanda, sebagaimana yang terjadi sejak pabrik muncul. Kiai Hasyim mengajarkan cara bercocok tanam yang baik, dengan dzikir, membaca sholawat, dan menghadap kiblat. Sebuah cara indah dalam memberikan taklim atau pengajaran kepada masyarakat tapi tidak menggurui. Perlahan Tebuireng menjadi sahabat rakyat dan pusat perjuangan agraria dan pertanian.

Hingga sekarang, beberapa sawah beliau masih ada dan digarap oleh pondok melalui salah satu cicit beliau, Gus Abdul Kholiq Tsani (Gus Aing). Hektaran sawah itu masih menjadi sumber keungan pesantren. Sebagian lahan lain, dipakai pesantren, putra-putri beliau, bahkan ada yang beliau bangunkan masjid di atasnya untuk masyarakat.

Kiai Hasyim saja bertani dan memberikan edukasi pertanian, maka anak-anak muda Islam dan NU khususnya tak perlu malu untuk menjadi petani, yang menolong negeri.

Bersambung…………

*Alumni Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, saat ini menjadi anggota Pusat Kajian Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari.

Sumber:

  1. Buku “Profil Pesantren Tebuireng” karya Mubarok Yasin Dkk
  2. Soera Moeslimin Indonesia No. 2 Tahun ke-2, 19 Muharom 1363
  3. Buku “Kebiasaan-kebiasaan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari” karya M. Sanusi