Sumber gambar: https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Dahlan

Oleh: Moh. Ahmadi*

KH. Ahmad Dahlan terlahir dengan nama asli Muhammad Darwis. Nama “Ahmad Dahlan” didapatkan setelah pulang menunaikan ibadah haji. Ulama yang mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia ini lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 1 Agustus 1868 (sumber lain menyebut tahun 1869)[1]. Ia merupakan putra keempat dari tuujuh bersaudara dari keluarga KH. Abu Bakar, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu KH. Ahmad Dahlan adalah putri H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu Kesultanan Yogyakarta pada masa itu[2].

KH. Ahmad Dahlan diakui sebagai salah seorang tokoh pembaharu dalam pergerakan Islam Indonesia karena ia mengambil peran dalam pengembangan pendidikan Islam dengan pendekatan-pendekatan yang lebih modern. Ia berkepentingan dengan perkembangan pendidikan Islam yang ada di masyarakat, yang menurutnya, tidak sesuai dengan Al Quran dan Hadist[3].

Dari segi nasab KH. Ahmad Dahlan masih memiliki hubungan darah dengan Syeikh Maulana Malik Ibrahim (seorang penyebar Islam di Gresik pada abad 15). Pertalian darah ini diperolehnya dari jalur sang ayah. Dari garis ayahmya, KH. Ahmad Dahlan merupakan keturunan ke-11 Syeikh Maulana Malik Ibrahim.

Sejak kecil KH. Ahmad Dahlan sangat disayang oleh ayahnya lantaran sifat-sifat luhur yang dimilikinya, dia mempunyai sifat yang baik, budi pekerti yang halus dan hati yang lunak serta berwatak cerdas. Berkat kecerdasan itu pada usia 8 tahun ia sudah bisa membaca Al Quran dengan lancar. Tidak hanya itu, kecerdasannya juga dibuktikan atas kepiawaiannya dalam mempengaruhi teman-teman sepermainannya dan dapat mengatasi segala  permasalahan yang terjadi diantara mereka.

Majalah Tebuireng

Mengenai pendidikannya, KH. Ahmad Dahlan tidak menimba ilmu di sekolah umum. Ia mendapatkan pendidikan keagamaan langsung dari ayahnya. Salah satu alasannya adalah karena waktu itu sekolah umum didirikan oleh belanda, yakni sekolah gubernamen. Sedangkan suasana dikampungnya KH. Ahmad Dahlan sangat anti-penjajah. Karena itu, siapa saja yang belajar di sekolah yang didirikan belanda akan di cap sebagai orang kafir, dan hukumnya haram.

Pada usia 22 tahun, KH. Ahmad Dahlan berangkat ke tanah suci Makkah guna menunaikan ibadah haji dan sekaligus menimba ilmu agama seperti qira’utul Quran, tafsir, tauhid, fikih, tasawuf, dan ilmu falak. Lima tahun berada di negeri itu, dia rajin mempelajari pandangan dan sikap tokoh-tokoh pembaharu Islam seperti Ibnu Taimiyah, Jamaluddin Al-Afgani, Rasyid Ridha, dan Muhammad Abduh. Bagi KH. Ahmad Dahlan, mereka adalah ulama yang mampu mempertahankan prinsip keterbukaan pintu ijtihad yang sudah ada, untuk kemudian memilih pendapat yang kebenarannya lebih mendekati petunjuk Al Quran dan sunnah.

Pada tahun 1903 untuk kedua kalinya KH. Ahmad Dahlan berangkat ke Makkah bersama putra laki-lakinya, Siraj Dahlan yang kadang dipanggil Djumhan. Pada kesempatan ini ia  bertenu tokoh yang dikaguminya, yaitu Rasyid Ridha. Pada perteman itu mereka banyak mendiskusikan berbagai masalah pembaharuan Islam di dunia. KH. Ahmad Dahlan semakin yakin bahwa pengajaran Islam di tanah airnya sudah jauh ketinggalan zaman dan harus diganti dengan cara yang lebih modern.

KH. Ahmad Dahlan tidak hanya berguru kepada ulama atau kiai di dalam negeri saja, tetapi juga di luar negeri. Adapun guru-gurunya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri khususnya Saudi Arabia:

  1. Abu Bakar (ayahnya sendiri)
  2. Mohammad Shaleh (kakak iparnya), kepadanya beliau belajar ilmu fikih
  3. Muchsin dan KH. Abdul Hamid, kepadanya beliau belajar ilmu nahwu
  4. Raden Dahlan (pesantren Termas), kepadanya beliau belajar ilmu falak
  5. Kiai Mahfudz (pesantren Termas), kepadanya beliau belajar ilmu fikih dan hadis
  6. Syeikh Khayyat, kepadanya beliau belajar ilmu hadis
  7. Syeikh Amin dan Sayyid Bakri Satock, kepadanya beliau belajar ilmu qira’atul Quran
  8. Syekh Hasan, kepadanya beliau belajar ilmu pengobatan
  9. Sayyid Babussijjil, kepadanya beliau belajar ilmu hadis
  10. Mufti Syafi’i, kepadanya beliau belajar ilmu hadis, dan
  11. Kiai Asy’ari Baceyan dan Syeikh Misri Makkah, kepadanya beliau belajar ilmu qira’atul Quran dan falak.

*Penulis adalah mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.


[1].Muhammad Soedja, Cerita Tentang Kiai Haji Ahmad Dahlan (Jakarta; Rhineka Cipta, 1993), hlm. 202.

[2]. Junus Salam, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah (Tanggerang Al-Wasat Publising House, 2009), hlm.56.

[3]. Syamsul Kurniawan, Erwin Mahrus, Jejak Pwmikiran Tokoh Pendidikan Islam (Yogyakarta; Ar-Ruzz Media, Tanpa tahun), hlm. 193.