Seri Kiprah KH. Hasyim Asy’ari #21

Oleh: M. Abror Rosyidin*

Sejarah mencatat, betapa santunnya Kiai Hasyim dalam menghadapi siapapun dan apapun. Pada musuh sekalipun. Kesantunan tanpa batas itu beliau cerminkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itulah yang membuat beliau selalu hidup dalam kesederhanaan, keluasan pergaulan, dan kesesuaian antara kata dan langkah. 

Kesaksian Muhammad As’ad Shihab, jurnalis dan intelektual terkemuka Lebanon saat datang ke Tebuireng dan tinggal beberapa hari di situ, menunjukkan betapa santun Kiai Hasyim dalam menerima tamu-tamunya. Dan dengan keluasan ilmu dan pengetahuan beliau, semua sangat suka dan senang berdiskusi tentang banyak hal. 

Bayangkan saja, dalam sehari beliau bisa menerima hingga 50 orang tamu dan tidak ada yang ditolak. Sampai beliau harus memberikan waktu khusus untuk menerima tamu, yaitu waktu sore, agar tidak mengganggu kegiatan taklim dan tadris beliau dengan para santri.

Majalah Tebuireng

Rumah beliau menjadi rujukan para tokoh dan ulama dunia, bukan hanya dari Nusantara.  Semua tokoh itu, kebanyakan ingin sekali berbincang-bincang, bertukar pikiran, dan bermusyawarah. Semua tamu sangat kagum dengan pemikiaran beliau yang jitu dan solutif. Bahkan di antara tamu-tamu yang datang tiada henti itu, ada yang sampai menginap di Tebuireng. 

Dalam satu kesempatan datang rombongan dari Sulawesi, dipimpin oleh seorang pemuda. Saat rombongan mengutarakan masalah yang ingin didiskusikan, Kiai Hasyim menimpalinya dengan kata-kata yang datang dari lubuk hati, tidak berapi-api dan emosi, tapi kata-kata yang tenang, sopan, santun, seimbang dan sangat bernilai, serta diperkuat dengan keterangan-ketarangan yang argumentatif, referentif, dan dalil-dalil yang menunjukkan luasnya pandangan beliau. 

Ketika tidak berkenan atas sesuatu, Kiai Hasyim tidak memberikan penolakan yang frontal, tetapi halus, bahkan juga solutif. Suatu saat ada ibu-ibu muslimat datang kepada beliau. Setelah diskusi panjang lebar, mereka memberikan sejumlah uang hasil kumpulan dana amal. Beliau menerimanya.

Eits, tapi akhirnya beliau kembalikan uang itu, seraya berkata, “Sekarang giliran saya menyerahkan sejumlah uang ini kepada kamu sekalian, agar kalian membangun madrasah untuk mendidik putra-putri muslimah agar mereka, menjadi wanita-wanita teladan yang baik, yang bermanfaat bagi negara, bangsa, dan agama”

Dengan ketulusan, kesantunan, dan kesopanan beliau memberikan nasihat itu, ketika mereka pulang ke daerah masing-masing, mereka mendirikan lembaga pendidikan khusus untuk putri dan masih eksis dengan mengerluarkan lulusan-lulusannya. Sayangnya tidak ada keterangan, Ibu-ibu muslimat itu dari daerah mana, dan sekolah yang mereka dirikan itu, berlokasi di mana saja. 

As’ad Shihab bercerita soal pertemuan pertamanya dengan Kiai Hasyim, “Di dalam pembicaraan saya dengan beliau, saya sengaja memperbanyak bicara dan menentang ucapan-ucapan beliau, agar saya tahu tingkat kesabaran, ketenangan, sejauh mana pandangannya, dan ke dalaman pemikirannya. Saya memperlihatkan keseriusan dalam diskusi dan perbedebatan dengannya. Saya sangat tertarik kepada beliau, sungguh beliau adalah seorang yang tenang dan selalu stabil dan tidak terpengaruh sedikitpun dengan bantahan saya. Beliau sangat mendengarkan pembicaraan saya sampai, selesai, kemudian menjawabnya, terutama dalam menjawab pembicaraan dan bantahan saya”

Kiai Hasyim menganggap bahwa diskusi yang dipengaruhi oleh emosi, atau sebaliknya emosi memperngaruhi diskusi tidak bisa mendapatkan titik temu. Justru keseimbangan diri, ketenangan dan kelapangan dada, adalah jalan menuju titik temu untuk saling memahami.

Beliau pun menjawab disesuaikan dengan kapasitas lawan bicaranya. Tidak mau keluar dari bahasan yang sekiranya di luar kemampuan lawan bicara. Ketika berbicara dengan non-muslim pun beliau sangat menghormati, tidak mengeluarkan dalil yang tentu tidak dipercaya oleh lawan bicara non-muslim itu. Justru beliau menggunakan argumen-argumentasi lawan bicara itu untuk memberikan penjelasan-penjelasan. 

Berangkat dari kesantunan itu, banyak sekali orang Nasrani, Budha, dan orang-orang yang tak beragama, telah masuk Islam di tangan beliau, serta menjadi muslim yang baik, dan memperkuat barisan kaum muslimin. Salah satu orang yang kepincut dengan gaya bicara santun dan tenang itu, serang Insinyur asal Jerman yang bekerja untuk Belanda, Karl Von Smith.

Bukti bahwa beliau bisa menerima siapapun, bahkan kepada orang yang (dulu) sebagai seorang Belanda, sebuah bangsa yang menjajah bangsa beliau. Karl ini akhirnya masuk Islam dan terus beberapa belajar Islam, berdiskusi banyak dengan Kiai Hasyim sebelum akhirnya kembali ke Belanda. 

Karl Smith mengaku, kalau saja bukan karena Kiai Hasyim bisa saja ia tidak mendapatkan taufik dan hidayat dari Allah SWT untuk memeluk Islam. Menurutnya Kiai Hasyim punya kemampuan yang unik, yaitu naluri kuat untuk memahami  dan menerima apa yang dikeluarkan dari pikirannya. 

“Seandainya di dunia ini ada sepuluh orang saja seperti beliau yang mengkhususkan diri untuk dakwah Islam di Eropa umpamanya, dengan gaya bahasa beliau yang harus dan menarik itu, maka tak diragukan lagi kita akan melihat hampir semua orang Eropa beragama Islam,” katanya saat berbincang-bincang dengan As’ad Shihab.

Kesantunan itu, bukan hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu tapi semuanya. Sampai-sampai Karl mengaggumi beliau dengan kekaguman yang tinggi.

“Ketika saya meminta pendapat beliau tentang niat dan keinginan saya untuk memeluk Islam. ‘Kamu bebas untuk memilih agama yang kamu suka dan kamu ridhai untuk dirimu. Kamu telah memahami Islam, maka pilihlah untuk dirimu keyakinan dan agama yang kamu percayai dengan syarat keimanan dan akidah ini berdasarkan atas ilmu, pengertian, dan kesadaran, dan keyakinan setelah mempelajarinya.”

Begitu kesaksian As’ad Shihab dan Karl von Smith tentang kesantunan Kiai Hasyim. Bahkan beberapa kali orientalis Ch. O Vander Plas datang kepada Kiai Hasyim untuk mengajak berdebat. Beliau tetap menanggapi dengan baik.

Akhirnya Vander Plas juga tidak berkutik menanggapi ulasan-ulasan dan sanggahan Kiai Hasyim. Padahal beliau tidak menggunakan emosi dan dalil-dalil yang ruwet, tapi malah fokus pada gagasan-gagasan yang diusung Plas sendiri. 

Kesopanan dan kesantunan beliau membawa pada pembawaan sikap dan prilaku yang apa adanya dan sederhana. Sosoknya dikenal bersahaja dan tidak mau diistimewakan. Sebuah cerita menarik, ketika beliau menolak dijemput dengan mobil pada satu kesempatan.

Beliau lebih memilih mengendarai andong atau cikar. Beliau mau naik mobilpun, bisa diitung dengan jari. Tapi beliau menolak dengan cara yang halus ketika tidak berkenan dijemput mobil. 

“Terima kasih saya dijemput dengan memakai kendaraan auto (mobil) ini, dan penjemputan ini sungguh sangat berharga, akan tetapi semisal saya pergi berkendaraan dokar kepunyaan saya sendiri, waktu juga masih memungkinkan, sebaiknya kendaraan auto ini di bawa saja kembali, untuk menyelesaikan kewajiban yang lain, yang lebih penting lagi dari pada hanya untuk menjemput saya seorang. Perjuangan kita masih lama dan perlu kepada kendaraan cepat. Jangan hendaknya terlalu berlebih-lebihan dan ribut karena penjemputan saya saja. Kewajiban lain dan yang lebih penting masih banyak menunggu-tunggu akan tenaga pemuda”.

Begitulah kewibawaan beliau, sangat tenang, sopan, halus, sekalipun saat menolak sesuatu. Kesantunan tanpa batas beliau tidak bisa digeser oleh provokasi model apapun, bahkan saat genting sekalipun.

Tebuireng dirusak, dibakar, kitab-kitab dibakar, dibuang, santri-santrinya diganggu, tidak memprovokasi beliau berubah dari pakem kesantunannya. Tetap tenang, kalem, dan khusyuk. 

Bahkan para perusuh Tebuireng, seperti Marto Lemu, preman lokalisasi Pabrik Tjoekir, malah menjadi pengikut setia Kiai Hasyim, khususnya dalam mengurus kuda-kuda beliau.

Sumber: 

1. Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, Bapak Umat Islam Indonesia karya Akarhanaf, 2018, Pustaka Tebuireng

2. Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia, 2019, Pustaka Tebuireng

*Penulis adalah Tim Pusat Kajian Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari.

[fb_plugin comments width=”100%”]