Oleh: Yayan Musthofa*

tebuireng.online– Sore tadi mengobrol rutinan dengan kang Rahmat di warung Soutun Nida’, atau yang akrab dengan sebutan “Bu Jus” di kalangan santri Tebuireng. Tetangga dengan pintu gerbang makam Gus Dur.

Obrolan dengan salah satu Kru Pustaka Penerbitan Tebuireng ini tentang keruwetan bahasa. Tema obrolan yang sudah tidak asing lagi di telinga. Menjadi menarik untuk direkam dalam tulisan karena momennya pas dengan kondisi dalam “aktivitas” saat ini.

Bahasa mempunyai kelemahannya tersendiri dalam satu sisi, tapi mempunyai kelebihan untuk dihadirkan dalam sisi yang lain. Kalau kita pesan kopi di warung istilahnya “wedang kopi”, tapi kalau kita pesan di kafe menjadi “black coffe”. Tentunya akan mempanguruhi harga, privilese, dan gambaran kondisi masing-masing. Padahal hakikatnya sama, wedang kopi.

Kalau kita kenal “patungan” dalam tradisi diskusi untuk menghadirkan cemilan pemanis mulut. Kita disodori dengan istilah “coffe break”. Akhirnya, acara yang sebetulnya mengeluarkan biaya di bawah lima puluh ribu rupiah untuk sebuah diskusi atau bahkan gratis karena masing-masing pesan kopi sendiri, bisa membengkak menjadi jutaan rupiah gara-gara istilah “coffe break”. “konsep acara” dirubah menjadi “Term of Reference”, dst.

Majalah Tebuireng

Jauh lagi, ungkapan bahasa yang kita sematkan dalam sejarah walisongo adalah “akulturasi budaya” penyebaran agama Islam. Sedangkan ungkapan lain untuk Belanda adalah “penjajahan”, “kolonialisme”, dan semisalnya. Padahal, hakikatnya sama, mereka menawarkan budaya baru dengan kepentingan masing-masing dan caranya sendiri-sendiri. Bahasa dibentuk dan membentuk realitasnya sendiri yang menimbulkan reaksi yang berbeda dengan ruang dan waktu yang berbeda.

*

Sebetulnya, kita tidak bisa dong membantu istilah bahasa mereka dengan konsepnya dan meninggalkan istilah bahasa kita dengan konsep kita. Menggunakan bahasa “Term of Reference”, “Coffe Break”, “Black Coffe”, dan “Fried Chicken”. Pada hakikatnya kita sedikit demi sedikit namun pasti bertahap membakar kekayaan kita sendiri.

Kenapa kita tidak merasa bangga menggunakan istilah-istilah kekayaan kita sendiri dan menuangkannya dengan tulisan bercetak miring lantas diterangkan dalam kurung atau catatan kaki seperti halnya yang mereka perbuat dalam menuangkan konsep bahasa mereka dalam buku karya mereka? Kita seharusnya juga berbuat yang sama, agar terjadi dialog interaktif. Menerima dan memberi sebuah gagasan, sekaligus membangun wibawa kita sendiri.

Bisa-bisa, wibawa yang seharusnya kita jaga, malah kita berangus sendiri sehingga kita tidak mempunyai kekayaan lagi yang seharusnya menjadi daya tawar yang elegan dan megah. Untuk berkacak pinggang tidak lagi wagu dan pesimis dihadapan negara lain.

**

Tanpa menolak bahasa asing masuk dalam kehidupan keseharian. Memilih dan memilah sesuai dengan waktu dan kondisi yang perlu menjadi pengamatan penting. Kenapa tidak kita menulis esai tentang “wedang kopi” dengan tetap menggunakan bahasa itu, lantas kita jelaskan dalam catatan kaki atau dalam kurung?.

Atau dalam bahasa arab misalnya? Sehingga kita juga mempunyai produksi yang kita tawarkan, tidak hanya menjadi konsumeris. Tidak membuang kekayaan kita sendiri dan mengemis mengunggulkan kekayaan orang lain. Mana wibawa yang seharusnya kita pertahankan? Banggakan? Dan tawarkan?.

* Direktur Balitbang tebuireng, Aktif sebagai narasumber di rumah sanggar kepoedang & staff uppt.