Oleh:  KH. Junaedi Hidayat

اَلْحَمْدُ لِلهِ، نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ، وَ نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ فِى الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ أَمَّابَعْدُ.

 فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْ اللهَ، اِتَّقُوْ اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، وَالْعَصْرِ ،  إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ، إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.

Maasiral Muslimin Jamaah Jumah Rahimakumullah

Melalui khutbah jumah ini marilah kita memantapkan kembali kualitas ketakwaan kita kepada Allah Swt. dengan senantiasa menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh Allah, dan meninggalkan segala hal yang dilarang oleh Allah. Dalam situasi apa pun, keadaan apa pun, kondisi apa pun, kita senantiasa imtitsal mematuhi terhadap apa yang diperintahkan oleh Allah. Baik perintah ini al wajibat yang memang harus kita lakukan maupun perintah yang bersifat anjuran yang disebut al mandubat hal-hal yang dianjurkan.

Majalah Tebuireng

Kita tinggalkan segala yang dilarang di dalam agama kita baik larangan itu yang berupa al muharramat yang memang harus kita tinggalkan maupun larangan yang bersifat anjuran, sebaiknya kita tinggalkan disebut sebagai al makruhat. Kesadaran untuk mematuhi apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang ini menjadi modal atau kapital yang paling berharga untuk mendapatkan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat.

Maasiral Muslimin Rahimakumullah

Manusia diciptakan oleh Allah, sesungguhnya disamping ‘abdullah, dia juga punya fungsi sebagai khalifatullah fi al-ardh. Artinya bahwa seorang manusia ini punya potensi untuk menjadi seorang leader. Sebagai pemimpin, paling tidak untuk dirinya sendiri, untuk keluarga, dan lingkungan kecilnya. Leader adalah pemimpin yang punya kemampuan. Seorang pemimpin adalah seorang yang mampu memahami masalah dan berusaha untuk mencari solusi dan jalan, bagaimana menyelesaikan sebuah masalah ini.

Tentu, kemampuan leadership ini, kemampuan untuk menjadi pemimpin, yang nabi menyebutnya dengan kullukum ra’in, seluruh kamu adalah pemimpin. Yang menopang terhadap kualitas kepemimpinan seseorang baik dalam skala kecil maupun skala besar, adalah kemampuan memahami sebuah masalah. Artinya dia harus paham dan tahu, tentang masalah yang dia pimpin. Dia harus punya ilmu, pengalaman, pengetahuan. Maka seorang pemimpin harus punya kualitas keilmuan yang cukup. Yang mempuni, yang terkait dengan apa yang menjadi tugas kepemimpinannya ini.

Jiwa leadership ini bisa ditumbuhkan, disamping proses pemahaman akan berbagai macam masalah, kepemimpinan dalam diri seseorang bisa ditumbuhkan dengan proses pembiasaan. Dengan proses latihan yang terus-menerus, sehingga dia mampu untuk menjadi seorang leader. Orang yang pinter tapi dia tidak punya jiwa kepemimpinan, maka tentu tingkat kemanfaatan, kealiman, dan kepintarannya itu tidak bisa sumambrah. Tidak bisa muta’addiyah. Tidak bisa menjangkau banyak kebutuhan masyarakat yang jauh lebih luas.

Padahal dalam kaidah fikih itu disebutkan bahwa, ketika kita melakukan sesuatu di mana nilai kemanfaatan sesuatu yang baik itu bisa diambil oleh banyak orang, maka tentu sesuatu itu jauh lebih bermanfaat ketimbang sesuatu yang manfaatnya sangat terbatas.  Ibadah yang sifatnya qoshiroh, itu nilainya lebih kecil ketimbang ibadah yang sifatnya muta’addiyyah.

اَلْعَمَلُ الْمُتَعَدِّيُ أَفْضَلُ مِنْ الْعَمَلِ الْقَاصِرِ

Dan itu ada pada tugas-tugas kepemimpinan yang ada pada diri seseorang. Seorang pemimpin itu, diantara jiwanya adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan perbedaan. Bahwa memang, hidup ini oleh Allah diskenario untuk berbeda. Kita harus meyakini itu, tidak mungkin kita memaksakan bahwa kehidupan ini mesti dalam satu kesepakatan, satu keragaman. Dalam semua hal, termasuk dalam kita memahami, menafsirkan, dan melakukan ijtihad dan istinbath terkait dengan persoalan-persoalan agama. Di sana, sangat dibuka kemungkinan untuk terjadinya perbedaan.

Sehingga kanjeng nabi sendiri, yang oleh para ulama merumuskan bahwa; ketika seseorang melakukan ijtihad dan lalu terpaksa dengan adanya suatu perbedaan. Seluruhnya dihargai dengan pahala. Yang tahu yang benar itu gusti Allah.

مَنِ اجْتَهَدَ وَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَمَنِ اجْتَهَدَ وَلَمْ يُصِبْ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ

Salah pun, ada ajrun wahid. Ada satu pahala, bagi orang yang mau bersungguh-sungguh, dengan niatan yang baik, dengan motivasi dan cara yang benar. Ketika proses itu dilakukan dengan benar, tapi ternyata ‘indallah ada sebuah kesalahan, maka Allah pun masih memberi nilai pahala dengan ajrun wahid. Tapi ketika proses yang dilakukan itu ternyata ‘indallah dan  ‘inda an-Nas, ia menemukan sebuah kebenaran, fa lahu ajrani ada dua pahala. Ajru al-Ishobah wa ajru al-Ijtihad, ada ganjaran dia mendapatkan kebenaran itu. Yang kedua, kesungguhannya itu sudah dihargai dan dinilai oleh Allah.

Artinya, perbedaan itu keniscayaan. Tidak bisa, tidak. Dalam semua aspek kehidupan, perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan. Dengan catatan, dilakukan dengan niatan yang tulus, dengan motivasi yang benar, dengan tidak merasa yang paling benar. Tidak mengedapankan terhadap perasaan yang “paling”, yang super, yang ego, dirinya dikedepankan.

Maka agama mengajarkan adab, tata krama, dan akhlak dalam semua hal. Tidak hanya berbicara syariat. Tidak hanya berbicara normatif. Kalau dalam kehidupan semua ini kita hanya berbicara hitam-putih, maka hidup itu lalu menjadi kering. Lalu hidup itu menjadi sesuatu yang “mudah” menimbulkan gesekan satu dan yang lain.

Oleh karena itu, seorang leader harus dibangun jiwanya untuk memahami sebuah perbedaan. Wa ja’alnakum syu’uban wa qoba’ila. “Ja’anlakum” itu an-Nas. Yang menciptakan perbedaan itu Allah. Kenapa kita memaksakan semua orang harus sama. Tidak. Wa ja’alnakum, fi’il madhi. Wa ja’alna, dan Allah menjadikan. Kum, pada kalian semua. Syu’uban wa qoba’ila, ada suku-suku, ada kelompok-kelompok, ada organisasi. Macam-macam, yang terkait dengan sebuah pemikiran itu memang Allah yang menciptakan.

Keragaman itu adalah sesuatu keharusan. Ketika kita berbicara di dalam kehidupan bernegara, maka yang harus kita lakukan adalah membangun negara ini dalam prinsip keyakinan bahwa keragaman adalah sebuah keniscayaan. Wa hisabuhum ‘alallah, kalau dalam bahasa kanjeng Nabi. Kalau dalam kita berbicara agama lalu memunculkan perbedaan, wa hisabuhum ‘alallah, bukan kita yang melakukan justifikasi. Penilaian akhir. Tapi ujung dari sebuah proses yang kita lakukan ‘alallah. Allah nanti yang akan menentukan segala apa yang kita lakukan.

Maasiral Muslimin Rahimakumullah

Oleh karena itu, yang harus kita pahami adalah membangun jiwa leadership  itu tidak bisa, kita hanya membangun seseorang itu hanya dengan angka-angka. Karena kehidupan itu jauh lebih luas dari sekedar angka. Melihat seorang anak hebat itu bukan karena semata-mata standar angka, tidak. Kehidupan yang nyata, yang dia alami, yang dia lakukan, apa yang bisa dia lakukan, itulah yang sesungguhya yang bisa secara real menjadi ukuran bagaimana seseorang itu akan terbentuk menjadi seorang leader.

Maka bukan hanya persoalan membangun kekuatan intelektualitas secara kognitif, tetapi kemampuan untuk melakukan proses pembiasaan ruang dan waktu,kepercayaan, kebebasan yang terkendali. Yang tumbuhnya jiwa kepemimpinan, itu seharusnya yang menjadi bagian untuk bagaimana membangun jiwa leader di dalam diri setiap seseorang.

Kepemimpinan sangat diperlukan dalam hidup ini. Karena dengan kemampuan kita membangun diri menjadi seorang pemimpin, artinya kita akan mampu untuk memberikan kontribusi, menyelesaikan terhadap berbagai macam permasalahan dalam kehidupan ini. Memahami perbedaan, terus mengasah kualitas diri dengan keilmuan, dan terus belajar mencoba untuk mengatasi berbagai macam permasalahan. Dengan etika dan akhlak yang baik. Itulah pemimpin masa depan yang harus lahir dari pendidikan seperti Pondok Pesantren Tebuireng ini.

Maasiral Muslimin Rahimakumullah

Oleh karena itulah kita berdoa kepada Allah, senantiasa kita dijadikan orang yang membangun spirit kualitas ketakwaan kepada Allah Swt. Aamiin ya robbal ‘alamin.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْمِ.  وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأٓيَةِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْم

إنَّهُ تَعَالى جَوَّادٌ كَرِيْمٌ رَؤُوْفٌ الرَّحِيْمُ