sumber ilustrasi: okezone.com

Oleh: M. Abror Rosyidin*

Beberapa waktu lalu, penulis membuat ulasan dalam sebuah tulisan yang sederhana tentang fenomena kekerasan di pesantren yang kian mengkhawatirkan dengan judul “Kekerasan di Pesantren, Gunung Es yang Siap Mencair”. Penulis menyebut hal tersebut sebagai gunung es yang siap mencair kapan saja secara bertahap.

Jika freon pertahanaan yang seharusnya mampu membekukan dan memberi ruang sejuk habis, maka ini akan menjadi gletser bahkan tsunami bagi dunia pesantren pada khususnya dan bagi pendidikan Islam Indonesia pada umumnya. Mengingat bahwa pesantren merupakan pendidikan Islam yang telah ada sejak berabad-abad lalu di Nusantara.

Penelitian yang dilakukan oleh Aisiyai & Ifeoma (2015) menunjukkan bahwa hasil penelitian bullying sering dilakukan oleh teman yang memiliki kekuasan lebih terhadap temannya yang lemah. Bentuk bullying fisik  sebanyak 65%,  perilaku  bullying  verbal  66% dan bullying mental sebanyak 58,3%. Kejadian bullying ini lebih sering terjadi di lingkungan pesantren. 70% pada anak laki-laki dan 52% pada perempuan. Dampak  dari  bullying  tersebut  70% mengalami  ketakutan,  isolasi  sosial  dan 30% siswa  menyatakan  takut  untuk berangkat sekolah.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa remaja korban perundungan ini, mengalami traumatic dan depresi 1,5 kali lebih besar dari yang tidak menjadi korban. Kekerasan dan perundungan bisa terjadi karena beberapa faktor, prasangka dari kelompok yang kuat, superior, dan paling berharga, terhadap kelompok yang lemah, dianggap inferior, dan tidak berharga.

Majalah Tebuireng

Siklus senior-junior ini, mengakibatkan adanya penataran yang dilakukan senior kepada junior dengan alasan yang dianggap logis, tetapi berakibat adanya balas dendam yang potensi lebih parah yang dilakukan si junior. Selain itu, sikap guru dan orang berkewajiban menjalankan fungsi pengawasan yang acuh terhadap Tindakan perundungan dan kekerasan, dapat meningkatkan potensi kejadian.

Baca Juga: Kekerasan di Pesantren, Gunung Es yang Siap Mencair

Berdasarkan data dari pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan RI, disebutkan ada laporan dari UNICEF pada tahun 2015 tentang Tindakan kekerasan yang terjadi di Indonesia paling banyak dialami oleh anak usia 13-15 tahun. Mereka mengalami hukuman fisik di rumah sebanyak 26%, dan paling banyak adalah kekerasan di lembaga pendidikan, termasuk sekolah dan pesantren sebanyak 50%, sisanya baru di tempat yang lain. Sehingga kekerasan di lembaga pendidikan merupakan yang terbanyak terjadi.

Analisis Kasus Demi Kasus

Kasus terbaru di sebuah pesantren di Kediri, seorang santri dipukuli berkali-kali, bahkan berlangsung dalam 3 hari, dengan alasan tidak shalat berjamaah. Ada cerita bahwa si korban ini sudah tidak begitu krasan di pesantren, dan seharusnya membutuhkan pendampingan khusus agar dapat menjalani hari-hari yang lebih nyaman di pesantren, tetapi justru mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dari senior-seniornya.

Perlu diingat bahwa shalat jamaah adalah sunnah, yang wajib adalah shalat 5 waktu, sementara itu, sudah jelas terang benderang bahwa membunuh sesama manusia adalah perkara haram. Artinya tidak ada alasan yang dibenarkan hukum manapun untuk membunuh seseorang, apalagi hanya karena tidak taat peraturan pesantren.

Kasus di atas adalah kesekian kalinya yang berpotensi menjadi pencair gunug es kekerasan di pesantren, di mana kasus di Gontor tahun lalu sebagai kasus yang cukup menyita pemerhati pendidikan. Ada persamaan pola kasus di Gontor dan Kediri, yaitu sama-sama dilakukan oleh senior. Selain itu juga dilakukan dalam keadaan si korban diposisikan sebagai pelanggar peraturan atau yang terkena hukuman. Naasnya, pengurus pondok sama-sama tidak jujur terhadap orang tua korban terkait dengan penyebab kematian. Satu pola ketidakterbukaan yang sama-sama dilakukan, yang melanggar salah satu nilai di pesantren yaitu “kejujuran”.

Sementara ada pola yang berbeda yang terjadi di beberapa termpat, seperti di Rembang dan Samarinda. Polanya adalah santri dan pengurus bersitegang karena proses penegakan peraturan pondok. Kasus di Samarinda korban adalah ustadz yang menyita gawai tersangka, sebaliknya di Rembang, pelaku adalah keamanan pondok yang menyita gawai santri korban. Keamanan dianggap sebagai pihak yang menjadi musuh bersama di setiap pesantren, karena tugasnya yang menertibkan dan menegakkan peraturan pondok, dan santri dengen kecenderungan melanggar pondok pasti tidak suka dengan mereka ini.

Beberapa kasus lain, sepeti di Pasuruan pada 2022, Jombang pada 2016, Blitar 2023 dan 2024, Bangkalan 2023, dan Lamongan di tahun yang sama, dan beberapa kasus lain, polanya hampir sama, yaitu kalau tidak antar sesama santri, atau pengurus dan santri. Ini pola yang terus berulang-ulang dan dapat dirangkum dalam beberapa poin, walau sebenarnya butuh riset yang lebih komprehensif, karena sejauh ini belum ada data yang mumpuni sebagai rujukan statistik.

Pertama, senioritas menjadi alasan utama kekerasan di pesantren. Senior tentu saja punya alasan utama untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap juniornya. Potensi ini juga dimuncukan dengan adanya herarki di beberapa pesantren, terutama dengan tipe modern dan semi modern, di mana klasifikasi santri berdasarkan komunitas umur. Dari berbagai kasus yang penulis baca, kasus ini menempati posisi paling banyak.

Kedua, fenomena nisbi dari penegakan peraturan pesantren. Pengurus merupakan orang-orang yang dibebani tugas dan tanggungjawab untuk mengurus santri selama 24 jam. Pengawasan dan penegakan peraturan menjadi prioritas. Maka tak jarang terjadi gesekan antara pengurus dan santri. Ketidakrapian dalam penataan peraturan dan mekanisme penegakannya bisa memperparah resistensi gesekan itu. Beberapa kasus seperti di Rembang dan Samarinda juga dipicu atas gesekan pengurus vs santri.

Dalam bebarapa kasus, pengurus pondok ditempati oleh santri-santri senior yang umurnya tidak jauh berbeda dari para santri yang diurus, atau masih terbilang sebaya.

Salah satu turunan dari penegakan peraturan ini pula, adalah ketika pengurus dianggap bukan tempat yang pas untuk menegakkan peraturan, atua dianggap tidak becus dalam menjalankan tugas, maka santri melakukan penghakiman secara mandiri. Ini juga yang paling berbahaya. Pengambilalihan dari pengurus ke santri secara mandiri ini, menimbulkan penanganan kasus yang tidak sesuai regulasi dan cenderung menuruti kepuasan semata. Ini juga menjadi gudang kekerasan yang fatal.

Ketiga, pengawasan pihak pesantren kurang. Kasus Gontor dan Kediri, keduanya sama-sama karena pengawasan pihak pondok yang tidak maksimal, di mana pengurus pondok justru tidak jujur terhadap penyebab kematian santri. Ini tentu memperparah stigmasisasi pesantren secara negatif. Kasus demi kasus yang terjadi dapat membuka kran pengaduan orang tua yang beberapa tahun belakang mulai bocor.

Tidak Boleh Lamban Menangani

Pesantren-pesantren ini dibawah naungan Kementrian Agama di bawah Ditjen Pendidikan Islam dan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pesantren (PD Pontren). Seharusnya Kemenag mempunyai database pesantren-pesantren dan bisa mengakarkan permasalahan ini dengan cepat. Tapi ternyata muncul masalah, baru ditangani, tetap menjadi tradisi birokrasi kita.

Apalagi kasus terbaru di Mojo Kediri, ditemukan fakta bahwa pesantren yang bersangkutan, belum mengantongi izin dari Kemenag. Artinya masih ada kemungkinan pesantren-pesantren lain yang berdiri dan berlangsung bertahun-tahun belum punya izin operasional oleh Kemanag. Timbul pertanyaan, kemana saja Kemenag ini?

Harusnya sudah tidak, secara ideal, tidak boleh ada Lembaga pendidikan yang tidak berizin operasional bisa beroperasi. Jika pesantren-pesantren tersebut beralasan tidak memahami regulasi, tentu Kemenaglah yang harus turun di lapangan memberikan edukasi dan penyuluhan terhadap pentingnya izin ini. Beberapa kali diskusi dengan teman yang biasanya menjadi pihak ketiga yang diminta untuk mengurus perizinan pesantren ke Kemanag, mengaku sangat susah dalam proses administrasi dan birokrasinya.

Jika di dalam tataran administrasi perizinan saja susah bagaimana dapat membantu memantau dan memetakan pesantren dan berbagai permasalahan di dalamnya. Kemanag harus terus riset,riset, dan riset tentang kondisi pesantren. Kemenag tidak hanya bertugas sebagai penyelenggara dana abadi pesantren, beasiswa, dll yang sifatnya prestasi dan pengembangan, tapi juga punya fungsi pengawasan terhadap operasional pesantren. Ini yang menurut penulis masih menjadi catatan.

Dilihat dari laman Kemenag, PD Pontren memiliki tugas melaksanakan pelayanan, bimbingan, pembinaan, dan pengelolaan sistem informasi di bidang pendidikan diniyah dan pondok pesantren berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama. Hal ini menandakan bahwa Kemenag, melalui PD Pontren punya tanggung jawab untuk memberikan bimbingan dan pembinaan kepada pesantren dan santri terkait berbagai hal termasuk soal kekerasan dan perundungan, serta mengawasi pengelolaan dan sistem pendidikannya.

Baca Juga: Peran Milenial Mencegah Trolling dan Cyberbullying

Selain Kemenag, pihak yang turut bertanggungjawab dan segera bergerak adalah Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU, induk pesantren-pesantren yang berafiliasi dengan NU. RMI juga harus turut bergerak menangani masalah ini, tidak hanya sebatas komentar dan keprihatinan semata, tetapi juga harus ikut andil mencarikan solusi agar bisa menekan tingkat tindakan kekerasan di pesantren.

Dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) Nahdlatul Ulama disebutkan bahwa Rabitah Ma’ahid Islamiyah adalah lembaga yang bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan pondok pesantren dan pendidikan keagamaan. Jadi, RMI berfungsi katalisator, dinamisator, dan fasilisator bagi pondok pesantren. Tentu ini jelas untuk mengfasilitasi penanganan kasus seperti ini, terlebih justru sekaligus dengan pencegahannya. Lanjut membaca di Kekerasan di Pesantren, Perlu Kerjasama Riset Semua Pihak (2)


*Dosen Universitas Hasyim Asy’ari.