Penulis novel “Hati Suhita” Khilma Anis, dalam acara meet & greet di Islamic Center Jombang, Ahad (31/3/19). (Foto: Dokumentasi pribadi penulis)

Tebuireng.online– Novel “Hati Suhita” menjadi buah pembicaraan di media sosial, terutama facebook. Tulisan yang begitu menyita perhatian netizen ini membuat khazanah sastra pesantren kembali ramai dan tentu digandrungi oleh pembaca. Sebuah tulisan sederhana yang mengundang penasaran, haru, dan ghirah pembaca ini ditulis oleh Khilma Anis, alumnus Pondok Pesantren As-sa’idiyyah Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Selain novel Hati Suhita, perempuan yang lama berpengalaman di dunia jurnalisktik ini telah menulis novel “Wigati” dan “Jadilah Purnamaku Ning”.

Minggu (31/3/19) di Islamic Center Jombang, penantian panjang para penggemar novel “Hati Suhita” akhirnya terobati. Komunitas Talisha -Komunitas Muslimah Pengusaha- mengundang Khilma Anis. Ribuan peserta menyambut haru kehadirannya. Dengan Tema “Wanita, Cinta, dan Pesantren” Khilma Anis yang akrab disapa Ning Khilma ini membagi kisah Alina Suhita dan proses menulisnya pada para audiens.

Novel “Hati Suhita” berawal dari tulisannya yang dishare pada laman facebook Khilma Anis. Tulisan yang ia anggap sederhana itu, ternyata menuai banyak komentar positif pembaca, dan ingin segera mengetahui kelanjutan kisah Alina Suhita dan Gus Birru, novel yang menceritakan kisah kehidupan rumah tangga yang dipenuhi haru biru, di mana Alina Suhita sedari remaja sudah dianggap menjadi menantu kiai. Namun Gus Birru yang senang menjadi aktivis kampus memiliki kisah masa lalu bersama Ratna Rengganis yang membuatnya belum sepenuhnya menerima Suhita.

Menurut Khilma Anis, tokoh Rengganis dalam novelnya bukanlah tokoh antagonis. Baginya, ia sangat menjunjung tinggi keberadaan perempuan. Sehingga bagi orang-orang yang menilai Rengganis itu pelakor, itu tidak benar. Rengganis juga memiliki hati, dia diposisi ditinggalkan oleh yang terkasih. Jadi, semua memiliki latar belakang tersendiri.

“Saya nulis dari jam 9, upload jam 11 malam,” papar Ning Khilma pada peserta, membagi kisah proses menulisnya. Menurutnya, sebelum menulis, seharian ia telah memikirkan bagaimana kisah itu akan berjalan, “menulis itu harus ngadep referensi yang banyak,” imbuhnya.

Majalah Tebuireng

Dalam ceritanya pada peserta, kakeknya yang memang orang Solo itu, banyak memberi nasihat tentang ajaran Jawa, yang  menjadi salah satu insiprasi Ning Khilma dalam menulis cerita-ceritanya. Selain menjadi penulis novel, Khilma Anis merupakan ibu rumah tangga yang memiliki kesibukan menjadi guru bahasa Indonesia dan mengelola bisnis online.

“Secara manusiawi, manusia kalau tertekan jadi banyak ide,” ungkapnya kala penggemar Hati Suhita tak sabar ingin membaca lanjutan kisah Suhita yang baru 13 episode di dalam akun facebooknya.

Dalam waktu 5 bulan novel Hati Suhita dirampungkan. Yang sebelumnya novel Wigati menghabiskan waktu 4 tahun dalam proses penulisannya. Sedangkan tulisan Jadilah Purnamaku Ning (JPN) adalah novel pertamanya.

Penulis yang sedari kecil sudah hidup di dunia pesantren ini, juga memahami betul ajaran Jawa. “Pelajaran yang baik untuk melalui rumah tangga tidak hanya di kitab Kuning, tapi juga di ajaran Jawa,” sebutnya.

Penulis Hati Suhita ini berpesan bahwa penulis yang baik, kalau bisa menceritakan sesuatu yang sudah pernah ia singgahi. “Kamu boleh menceritakan apapun, sejauh pembaca bisa merasakannya,” tambahnya.

Dalam paparannya, Ning Khilma banyak memberikan nasihat terkait teknik kepenulisan. Menurutnya, cerita yang bagus bukan cerita yang berat, tetapi cerita yang selesai. Dalam novel terbarunya diajarkan bahwa sabar itu tidak ada batasnya, jika sabar ada batasnya, berarti orang itu tidak sabar.

Sebelum mengakhiri perjumpaan tersebut, Ning Khilma memberikan kesan dan pesannya bahwa kita harus sabar dan tirakat. “Pasrah tapi tidak nglokro. Pasrah tetapi mau menjalani tanggung jawabnya,” ungkapnya.

Menurutnya, kalau kita belajar dari Alina Suhita, maka harus menjadi Alina Suhita yaitu tirakatnya diam dan tetap jalani tanggung jawab. Tetapi kalau menjadi Rengganis maka belajar mengikhlaskan.

Pewarta: Umdatul Fadhilah

Editor: Rara Zarary