Hubungan KH. Abdul Karim Hasyim dengan adiknya KH. M. Yusuf Hasyim (Pak Ud) seringkali tidak menunjukkan kecocokan, karena di antara keduanya sering terjadi perbedaan pandangan dalam menyikapi suatu masalah. Karena usianya lebih muda, maka saat Hari Raya Idul Fitri, Pak Ud musti sowan terlebih dahulu ke rumah Kiai Karim.

Saat sowan ke rumah Kiai Karim, Pak Ud tidak menemukan sang Kakak, tetapi bertemu dengan istri Kiai Karim, Nyai Masykuroh. Pak Ud menanyakan keberadaan kakaknya kepada mbak iparnya itu, “Mas nang endi, Mbak? (Mas Karim dimana, Mbak?”,

Mas-mu nang kamar, (Mas Karim sedang ada di kamarnya)”, jawab Nyai Masykuroh Karim.

Kemudian Pak Ud mengetuk pintu kamar kakaknya itu. Namun, samapi beberapa lama tidak keluar kamar. Sambil menunggu Kiai Karim keluar kamar, Pak Ud meminta sarapan kepada Nyai Karim.

Aku gurung sarapan Mbak. Tolong gawe lontong Mbak, gawe sambel goreng, opor ayam. Ora popo ga ono Mas Karim aku tak mangan dewe (Saya belum sarapan pagi Mbak. Tolong buatkan saya lontong pakai sambal goreng dan opor ayam. Tidak apa-apa tidak ada Mas Karim, saya makan sendiri)”, kata Pak Ud kepada Nyai Karim.

Majalah Tebuireng

Pada saat yang sama, Nyai Khoiriyah merasa adik-adiknya tidak ada yang ke rumahnya di Seblak, padahal seharunya di momen lebaran itu, sebagai saudara tertua menunggu kedatangan yang muda. Akhirnya Nyai Khoiriyah pun menuju rumah adiknya, Gus Abdul Karim. Setelah sampai, beliau melihat adiknya, Gus Yusuf, sedang menikmati lontong dan opor ayam.

Melihat kakak perempuannya datang, Pak Ud dan Nyai Masukuroh menyambut Nyai Khoiriyah dan menawarkan makan bersama. Lantas Nyai Khoiriyah bertanya, “Lha, endi Karim? (Lha, dimana Krim?)”.

“Nang kamar Mbak, ora gelem metu, (Di kamar Mbak, tidak mau keluar),” jawab Pak Ud.

Lama sekali Kiai Karim tidak keluar-keluar dari kamarnya, sehingga Nyai Khoiriyah dan Pak Ud menunggu sampai Dhuhur tiba. Mungkin karena merasa tidak enak, akhirnya Kiai Karim keluar dari kamarnya.

Atas perantara Nyai Khoiriyah, kemudian Pak Ud dan Kiai Karim saling bermaaf-maafan. Dari sinilah tampak jiwa pemaaf Kiai Karim yaitu bersedia saling bermaafan dengan adiknya walaupun beliau dengan adiknya sering kali berbeda pandangan dalam suatu masalah. Begitu pula kedewasaan Pak Ud yang walaupun sedang bertengkar, tapi masih mau sowan menemui kakaknya.

Peran Nyai Khoiriyah juga sangat penting sebagai kakak tertua dalam merukunkan adik-adiknya yang kadang kala berbeda pendapat satu sama lain. Tak lupa, karena masakan Nyai Masykuroh juga yang menyatukan mereka bercengkrama dalam balutan maaf di hari fitra kala itu.


*Disarikan dari buku “Kiai Sastrawan Yang Tak Dikenal, Biografi Almarhum KH. Abduk Karim Hasyim” karya Muhammad Subkhi dan Ahmad Sholihin yang diterbitkan Pustaka Tebuireng tahun 2011.