sumber ilustrasi: muslimah

Oleh: Nabila Rahayu*

Bagaimana mungkin aku mencintai seseorang dalam waktu yang tidak sebentar ini. Mungkin sekitar 5 tahun aku telah jatuh hati padanya. Seorang laki-laki yang pernah aku benci. Hahahaha, mungkin tak pernah ada orang yang mau mendengarkan kisah konyol ini. Berbuih buih mulut menceritakan tapi tetap tak pernah ada telinga yang benar-benar menjadi pendengar.

Aku tau bahwa ini adalah tulisan pengharapan yang kemungkinan sangat kecil untuk terjadi. Tapi menurutku ini adalah pengalaman yang berharga bagi hati yang telah jatuh hati dalam jangka panjang ini.

2018 April

Pertama kali aku bertemu dengannya, saat itu aku masih menduduki bangku kelas 3 SMP. Benci yang tercipta kala itu, karena memang tidak ada kejelasan dalam laki-laki tersebut. Tak ada lukisan tampan dalam wajahnya. Suaranya pun sangat jelek jika menyanyi. Umurnya terpaut 5 tahun mungkin perkiraanku. Tak ada spesialnya dalam dirinya.

Majalah Tebuireng

Hanya saja dirinya lumayan pintar. Dan ternyata tanpa disangka dia adalah guru matematika. Betul betul menjengkelkan. Aku tak mau bertemu dengan dirinya. Beruntung jam pelajaran nya hanya 2 kali dalam seminggu. Dan setiap pelajarannya, aku tak begitu semangat. Tapi untungnya nilaiku tetap menjadi yang tertinggi.

Startnya pada saat dirinya sakit dan tidak bisa masuk kelas. Cukup lama absen dari kelas. Ada rasa aneh yang kucipta. Kehilangan. Tiba-tiba rasa itu hadir. Naif sekali bila aku membohongi perasaan ini. Aku mengaguminya. Semua hal tentangnya yang di awal benci kini berujung menjadi rasa yang masih samar di hati.

Singkat cerita, aku sekarang menduduki bangku kelas 3 SMA, masih dengan perasaan yang sama. Tak pernah memudar. Yang ada hanya mendatar. 1 tahun belakang, ia mecoba terbuka padaku. Bodohnya aku ceroboh dalam bertindak. Aku menganggap dirinya jatuh hati padaku.

Lontaran pertanyaan-pertanyaan yang katanya hanya pertanyaan biasa saja tapi bagiku itu pertanyaan yang sangat berbobot untuk masa depan membina rumah tangga.

Hingga akhirnya aku menjadi pertimbangan. Antara aku dengan perempuan cantik dan sangat sholehah. Menurutku dari perbandingan ini, aku tak bisa mendapatkan hatinya. Karena jelas akulah yang akan kalah. Aku hanya anak kecil yang lancang mencintai dirinya. Tanpa alasan, karena memang mencintai tanpa alasan adalah mencintai paling tulus.

Tepatnya hari ini, 28 Februari 2022. Semua  teka-teki terjawab tuntas.

Ternyata aku benar salah menyimpulkan. Hasil akhirnya tetap saja dia tak pernah mencintai aku. Bagaimapun keadaanku. Nyatanya itu hanya pertanyaan wawancara saja. Berkali kali aku  menyatakan rasa. Tapi tetap saja perasaan ini tak akan pernah di balas.

Kadang aku sempat bertanya, sejauh ini kenapa aku masih tetap mencintainya. Pun bahkan tadi setelah sedikit perdebatan, pengakuannya. Tetap saja aku mencintainya. Aku mulai benci dengan posisi ini. Cara pandangku bersudut hanya dari perasaan perasaan dan perasaan. Tak pernah logika.

Benar bahwa cinta itu benar benar BUTA!

Hahaha, aku tak punya teman untuk menceritakan ini. Hanya beberapa pasang telinga yang hanya mau mendengarkan kisah ini. Karena ini terlalu rumit untuk diperjelaskan.

Bagaimapun keadaan aku. Tak akan pernah merubah bahwa dirinya sama sekali tidak pernah mencintaiku.

September 2022

Ada banyak pelajaran di dalam bulan-bulan yang tidak di deskripsikan di tulisan ini. Pun begitu dengan dirinya yang telah mencintai aku. Entah sejak kapan hatinya lunak, yang jelas saat itu aku merasa bahagia sekali dicintai oleh orang yang aku cintai sejak lama ini. Namun, rasa itu tak berlangsung lama.

Saat ini aku sudah lulus di bangku siswa. Dan aku melanjutkan ke bangku mahasiswa. Semakin dewasa rasanya hati ini terlalu takut untuk menerima cinta yang baru, karena cinta lama yang mampu menghantarkan ke trauma masa lalu.

Di september ini juga, aku menerima kabar bahwa dia akan menikah.

“sal, siap atau pun tidak, mau menerima atau pun tidak, rencana pernikahan lambat laun akan terlaksana” ujar salah satu teman dekatku yang sudah menjadi tempat sandaranku kala itu hingga saat ini.

Dewasaku kali ini disambut dengan semua berita yang telinga saja belum siap untuk mendengar. Menjadikan semua kehidupan yang aku lalui seketika berhenti sejenak. Untuk mengambil helaan nafas yang terasa sesak. Bodoh sekali memang, menyelipkan pernikahannya dipikiranku.

Keadaan yang mengharuskan hati untuk menerima semuanya. Pikiran egois pun selalu datang menghampiri, namun tetap saja bukan aku pemenang dalam kehidupannya. Semua memang tertuju pada hati dan pikiran yang akan menjalankan semuanya, tuhan menyiapkan yang terbaik untuk diriku dan dirinya. Hanya saja aku yang terlalu memaksa menjalankannya berdua, padahal berdua saja sudah tidak satu tuju dan satu arah.

Mungkin -kita-  dulu sudah pernah mencoba untuk bersama, dan masih ada kemungkinan atau pun sesuatu yang bertolak belakang dengan diri masing-masing.

Aku juga pernah duduk di sampingnya, menghirup udara yang segar bersama, bercengkrama bersama. Tawanya yang belum tampak ketika bersamaku. Hanya seuntas senyum simpul yang terukir -menurutku indah- itu sudah cukup membuat aku terasa bahagia. Namun itu, sama seperti dunia yang sementara. Senyumnya pun sementara. Tampilan senyumnya mungkin hanya sedetik atau tiga detik.

Prediksiku, dirinya akan menjadi jangka panjangku. Ternyata aku salah.

“Kalau seseorang ingin menjalin hubungan yang serius, pasti akan mempunyai sudut pandang mengenai jangka panjang terhadap dirinya dan pasangannya sal, jadi kamu harus memantaskan diri, biar kedepan nya nanti kamu mampu menjadi jangka panjang untuk masa depanmu nanti,” pesannya padaku yang aku terima dengan hati yang sedang di tumbuhi bunga-bunga merah bermekaran.

Begitu memang kehidupanku, bercandaan yang tak pernah lucu. Berkali kali diberikan penolakan secara halus, namun aku tetap tak akan paham bahasanya, karena mungkin terpaut umur yang lumayan jauh.

Padahal dari awal dirinya tak akan pernah membalas semua rasa ini. Dirinya hanya sekedar mengetahui dan menghargai

Aku berusaha untuk menjauh dari kerumunan berita yang menyorot dirinya. Perihal dirinya akan menikah pun aku akan berusaha untuk berpura pura tuli. Seperti biasanya, aku akan menjalankan hari dengan indah. Aku akan menjadikan bercandaan kali ini lucu. Akan aku mampu mengukirkan senyumku.

Oktober 2022

Embun pagi yang selalu sejuk, cocok sekali di isi dengan tidur yang meringkuk di kasur yang empuk. Namun, ada perubahan yang hendak aku ubah dalam diri. Mungkin aku akan menciptakan aksara, atau mungkin aku akan selalu mengawali pagi dengan pergi menuju  perpustakaan.

Ya, perpustakaan. Aku menyukai harum buku yang khas itu. Selama SMA aku sering sekali mengunjungi perpustakaan. Bercengkrama dengan jendelanya ilmu, membacanya halaman per halaman, hingga tak kenal kata pulang ke rumah.

“Assalammualaikum, bapak…” sapaku kepada salah satu staff perpustakaan.

“Walaikumsalam, mbk Salsa. Apa kabar? Kayaknya sudah lama ya tidak berkunjung kemari?” tutur beliau. Pak Iyus panggilan akrabnya. Beliau sudah menjadi pegawai tetap di perpustakaan ini. Mungkin sejak sebelum aku SMA beliau sudah menjaga buku-buku yang ada disini.

“Iya pak, memang sudah lama saya tidak berkunjung ke perpustakaan, karena ada kesibukkan yang masih diurus pak,” jelasku kepada beliau yanng sedang mendengarkan sembari menyampul buku-buku yang baru.

Perpustakaan ini tidak begitu luas, namun mampu menampung sekitar 600 macam buku. Desain ruangan yang minimalis yang membuat aku betah berlama disini. Banyak perubahan yang terjadi setelah lamanya aku tak kesini. Aku memilih bangku yang ditengah karena aku tak suka  duduk di bagian pinggir.

Rasanya sudah sangat lama sekali tidak bercengkrama dengan buku. Aku mengambil 2 judul buku. Judul buku yang aku pilih yaitu kisah cintanya sayyidah Fatimah dan sayyidina Ali bin Abi Tholib.

Kisah cinta yang siapapun tak dapat mengetahuinya bahkan iblis pun tak pernah tau. Mencintai dalam diam yang sangat indah. Cinta suci yang selama ini didambakan akhirnya berlabuh di pelabuhan yang sesungguhnya.

Berbeda dengan aku, yang tak mampu menjaga cinta dalam diam. Karena aku bukan sayyidah fatimah dan dia bukan sayyidina ali. Dan buku yang kedua berjudul Filosofi Teras karya Henry Manampiring. Entah apa alasanku mengambil buku filosofi, padahal aku tak begitu suka dengan mata kuliah filsafat.

Minat baca  anak-anak zaman sekarang sangatlah rendah, maka tak perlu bertanya tentang berapa banyak orang yang mengunjungi perpustakaan perharinya. Sekarang ini pun masih ada 5 orang kurang lebih yang hadir di sini.

3 orang perempuan yang berpakaian terlihat modernis duduk di kursi paling pojok berurutan. 2 lainnya laki-laki. Yang satunya sudah mulai membaca, dan yang satunya lagi sepertinya masih belum menemukan buku  yang pas untuk dibaca karena memang dari tadi laki-laki itu masih sibuk mengeliling perpustakaan untuk mencari buku yang pas untuk dibaca olehnya.

“permisi mbk, saya boleh pinjam buku filosofi nya?, soalnya tadi saya cari-cari udah ga ada lagi bukunya” ujar laki-laki yang berdiri di bangku tepat dihadapanku.

“iya boleh, ini mas bukunya” jawabku sambil memberikan buku tersebut ke arahnya, tanpa melihat si peminjam buku karena aku terlalu fokus membaca bait-bait indah sayyidina ali dan fathimah.

“terimakasih mbk” ujarnya dan lansung duduk tepat di hadapanku.

Tak ada jawaban dariku.

Aku sudah berada pada lembar pertengahan. Banyak sekali ekspresi yang aku tuangkan di buku ini. Tadi aku sempat menangis, karena memang kisah cinta mereka yang sangat mnegharukan membuat siapa saja yang membaca menjadi iri akan keromantisan beliau dalam bautan kesederhanaan.

Sekarang aku senyum-senyum sendiri membayangkan cerita ini seolah-olah aku melihat cuplikannya di kepalaku. Lari-lari kecilnya beliau, kata-kata romantisnya indah sekali. Sangat takjub membacanya.

Hingga akhirnya, mataku melihat ternyata orang yang mungkin bisa dikatakan telah lama duduk di depanku dan sekaligus yang meminjam buku yang  ambil dari rak itu adalah orang yang sama seperti 5 tahun lalu. Penampilannya yang berubah, namun perawakannya tak pernah berubah.

Mungkin suaranya yang berubah, soalnya aku tidak mengenalinya lagi. Seketika objek penglihatanku masih tertuju pada dirinya. Seperti kaset kusut yang mulai aku rajut kembali didalam ingatan, dan ya aku tak bisa merubah fakta bahwa aku pernah bersamanya. Pernah menggenggam erat tangannya, bincang hangat yang saling sayang, duduk menikmati senja versi ‘kita’ dulu.

Dan pada saat binar mata yang saling bertemu, aku pun masih belum melepas pandangan. Dia pun menatap aku, seolah merasakan seperti sama yang aku rasakan. Dan itu hanya terkaanku, selebihnya aku tak mengerti. 10 detik. Tepat sekali, aku langsung membawa buku yang ada di tangan dan aku langsung menyambar tasku agar bisa segera pergi dari tatapan mata itu. Dan aku tak tau apa yang akan terjadi setelah kepergianku ini.

Niatku untuk meminjam buku, namun aku mengakhiri niat itu dengan mengembalikannya rapi di tempat semula aku mengambilnya. Mungkin aku cukup tergesa-gesa karena dihantui oleh masa lalu itu. Langkahku tak seperti biasa.

Yang selalu menikmati pemandangan indah ciptaanNya, menghirup udara yang bersih masuk ke dalam paru-paru. Namun berbeda untuk kali ini. Jangankan untuk menikmati pemandangan, untuk bernafas pun aku tersengal-sengal.

Terlalu kecil mungkin langkah kakiku menurut dirinya, dan pastinya sangat mudah untuk digapai. Tanganku yang gontai di ambil paksa tanpa izin olehnya tangan perkasanya.

“salsa, aku tau ini berat, tapi tolonglah maafkan aku” dengan suaranya yang parau, maaf itu tersampaikan padaku.

“berat memang,memikul beban sebanyak ini. Bukan aku mengeluh, aku hanya mendeskripsikan bagaimana aku berjuang melupakan dirimu. Dan hingga akhirnya, dirimu datang tak diundang. Pastinya datang hanya untuk memberikan undangan pernikahanmu. Selamat karean telah memilih pasangan yang tepat. Semoga bahagia,” tuturku dengan lantang, tatapanku menatap jalan aspal sesekali menatap matanya yang sayu sendu.

“ternyata kamu telah mendengarkan beritanya, tapi kamu belum mendengarkan berita yang sebenarnya” lirihnya, namun aku merasakan semangat dari tuturnya. Untuk menceritakan cerita yang sebenarnya terjadi.

Aku tak mengerti, apakah ada berita lain selain undangannya akan disebar? Atau dia mau memberi tau bahwa perempuannya lebih cantik di bandingkan aku? Atau  apa lagi?. Aku pun terpaksa mendengarkan dirinya memberikan penjelasan. Tak terlalu penasaran. Aku hanya menghargai perasaan bahagia dirinya. Pikirku.

“aku membatalkan pernikahannya, karena aku tak pernah bisa melupakanmu sal. Dan aku tak pernah cocok dengan ayu karena jalan pemikiran kami berbeda. Tak akan pernah bisa menyatu. Terlalu egois jika aku memaksakan pernikahan ini tetap berjalan. Begitupun sebaliknya, ayu tak pernah mencintai aku” jelasnya kepadaku yang mungkin benar-benar menyimak ucapannya.

Namun, kutampakkan ketidaksungguhanku dalam mendengar. Munafik sekali kalau aku mengatakan sudah tidak menyukai dirinya lagi. Dalam hati ingin rasanya aku memeluk dirinya. Mustahil rasanya. Ada rasa takut yang lebih besar, takut jika hati ini akan dipermainkan oleh dirinya untuk yang kesekian kalinya.

“cinta datang ketika setelah menikah, jadi tak ada alasan jika kamu mengatakan tidak cinta terhadap dirinya. Aku tak perlu dicintai olehmu, jodohku mungkin bukan dirimu. Aku selalu bahagia atas kebahagiaanmu. Belajarlah mencintai dirinya. Cukup selama 5 tahun itu yang menjadi saksi bahwa aku menaruh hati padamu, namun tidak untuk sekarang atau mungkin tidak untuk selamanya. Inginku adalah kita bukanlah lagi kita yang dulu, jalani kehidupan masing-masing, apapun itu tanpa melibatkan hubungan kita yang dulu.” ujarku, yang langsung meninggalkan dirinya mencerna kalimat per kalimat yang telah di ucapkan olehku.

Tak lagi melangkah gontai, aku sedikit mempercepat langkahku. Agar tanganku tak lagi digapai oleh tangannya. Aku sampai lupa jalan pulang, entah memang karena aku masih merasa bahwa ini mimpi atau kenyataan. Yang terpenting aku pulang. Dengan merajut kembali segala harapan harapan yang baru, rencana rencana yang masih tersusun rapi takkan aku biarkan terbengkalai begitu saja.

Sudah cukup bagiku mencintai seseorang yang tak berhak mendapatkan cintaku. Pengharapanku mungkin tak sesuai dengan takdir yang terjadi seperti sekarang. Namun, aku mampu melihat betapa banyak butiran butiran hikmah dari jangka yang tak pendek ini.

Setidaknya dirinya pernah hadir di hatiku meski tak sejenak, namun mampu membuat aku bertapak. Terimakasih untuk waktu yang bersajak.

*Santriwati di Pondok Pesantren Putri Walisongo, Cukir, Jombang.