sumber ilustrasi: republika

Oleh: Dimas Setyawan*

Dunia Islam pernah mencapai masa keemasan sepanjang abad 8 hingga 11 Masehi, terutama di bidang IPTEK. Pada era tersebut lahirlah para filsuf ilmuwan dan ulama yang sangat jenius, seperti Al-Farabi yang mendapat julukan ‘guru kedua’ setelah Aristoteles. Al-Khawarizmi ilmuwan ahli matematika dan penemu aljabar yang dari namanya kita mengenal algoritma. Ibnu Khaldun perintis ilmu sosial modern. Ibnu Sina sebagai bapak kedokteran dunia dan bapak kedokteran modern dan Ibnu Haitham sebagai ilmuwan modern pertama di dunia optik.

Ada banyak akademisi yang mencatat prestasi ulama-ulama Islam di masa silam, salah satunya Jonath Lynos. Melalui bukunya yang berjudul “The House of Wisdom: How The Arabs Transformed Western Civilization” Ia menyebutkan bahwa Baghdad di Irak telah berhasil menjelma sebagai pusat peradaban khazanah keilmuan.

Ada banyak perpustakaan yang berisi buku-buku hasil dari gerakan penerjemahan literatur asing terutama dari Yunani dan India. Selain di Irak, Suriah dan Mesir juga memiliki perpustakaan dengan jutaan koleksi, seperti ilmu sosial, filsafat hingga kebudayaan.

Selain kemajuan budaya literatur yang sangat pesat, ada satu faktor yang harus diingat mengapa umat Muslim di era itu mencapai sebuah peradaban emas. Salah satu faktornya adalah pada masa yang sama, Eropa justru menjadi kawasan marjinal.

Majalah Tebuireng

Sistem monarki beserta lembaga keagamaannya sangat mendominasi kehidupan masyarakat. Alhasil di era tersebut, mempelajari IPTEK dianggap sebagai hal yang tidak penting. Tetapi terdapat sesuatu yang luput dari pandangan kita yakni, bagaimana kondisi sosial dan politik seperti apa yang telah berhasil menciptakan era Islam yang sangat maju di bidang sains?

Dalam buku “Islam Otoritarianisme dan Ketertinggalan” karya Prof. Ahmet T. Kuru, pengajar di San Diago State University, Amerika Serikat dijelaskan bahwa pada abad ke-8 hingga ke-11 ada dua dinasti Islam yang berkuasa secara bergantian, yaitu Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah.

Kedua Dinasti tersebut telah berhasil merentangkan jangkauan wilayah kekuasaannya dari Jazirah Arab, Afrika Utara sampai ke Kordoba di Spanyol. Menurut Ahmet T. Kuru, masa keemasan dunia Islam dapat diraih karena ulama dan kaum intelektual kala itu menjaga jarak sama kekuasaan atau pemerintahan. Mereka justru mendapatkan dana guna riset dan penelitian dari para kaum Borjuis Muslim alias pedagang.

Bagi mereka kedekatan dengan kaum pedagang justru menjaga independensi mereka. Hingga akhirnya dedikasi para ulama murni untuk pengembangan agama dan ilmu pengetahuan. Selain itu, kedekatan para ulama dengan kaum pedagang juga menjamin suatu tatanan penting, yaitu kemerdekaan berpikir.

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari.