Masjid Tertua di Korea Selatan 3Republik Korea (bahasa Korea: Daehan Minguk (Hangul,Hanja; Bahasa Inggris: Republic of Korea/ROK) atau biasa dikenal sebagai Korea Selatan adalah sebuah negara di Asia Timur yang meliputi bagian selatan Semenanjung Korea. Di sebelah utara, Republik Korea berbataskan Korea Utara, di mana keduanya bersatu sebagai sebuah negara hingga tahun 1948. Laut Kuning di sebelah barat, Jepang berada di seberang Laut Jepang (disebut “Laut Timur” oleh orang-orang Korea) dan Selat Korea berada di bagian tenggara. Negara ini dikenal dengan nama Hanguk . oleh penduduk Korea Selatan dan disebut Namchosŏn (Chosen Selatan”) diKorea Utara. Ibu kota Korea Selatan adalah Seoul.

Negeri yang beberapa tahun terakhir melejit dengan industri hiburannya lewat K-pop dan K-Drama. Perseteruannya dengan saudara “kembar tapi beda”, Korea Utara terus menjadi sorotan media Internasional. Hampir sebagian besar rakyat Korea Selatan memilih tidak beragama atau atheisme. Buddha adalah agama yang mempunyai penganut terbesar di Korea Selatan dengan 10,7 juta penduduk. Agama lainnya yang terbesar adalah Kristren Protestan dan Katholik Roma. Gereja Kristen terbesar di Korea Selatan, Yoido Full Gospel Church yang berlokasi di Seoul. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa diperkirakan ada 45.000 warga Muslim Korea dengan 100.000 orang pekerja yang dari luar negeri yang berasal dari negara Muslim.

Populasi Muslim di Korsel terus meningkat sejak Islam masuk tak lama setelah Perang Korea. Komunitas Muslim (baik orang Korea maupun warga asing) ini berpusat di sekitar Seoul. Di kota tersebut sebuah masjid besar yang pertama pada abad ke-20 dibangun pada tahun 1976 dengan menggunakan dana dari Misi Islam Malaysia dan negara-negara Islam lainnya termasuk muslim Indonesia.

Selain kurang dari 30.000 umat Muslim asli Korea ada juga muslim yang datang dari Asia Selatan, Asia Timur (yaitu Irak), Indonesia dan Malaysia ke Korea Selatan. Mayoritas penduduk pribumi  menjadi Muslim, selama 1990-an dan 2000-an, yang biasanya sebagai tenaga kerja ekspatriat. Secara keseluruhan ada sampai 35.000 Muslim di Korea Selatan.

Sejarah Masuknya Islam Ke Korea Selatan

Majalah Tebuireng

Selama pertengahan abad ke-7, pedagang muslim telah melintasi Asia Timur sejak Dinasti Tang dan membangun hubungan dengan Dinasti Silla, salah satu dari Tiga Kerajaan Korea. Pada tahun 751, seorang jenderal Cina keturunan Goguryeo, Gao Xianzhi,, memimpin Pertempuran Talas untuk Dinasti Tang terhadap Kekhalifaan Abbasiyah namun bisa dikalahkan.

Kehadiran Islam pertama kali dapat diverifikasi di Korea berawal dari abad ke-9 selama periode Silla Bersatu dengan datangnya pedagang dan navigator Persia dan Arab. Menurut banyak ahli geografi Muslim, termasuk penjelajah dan ahli geografi Muslim Persia abad ke-9 Ibnu Khurdabhbih, banyak dari mereka menetap secara permanen di Korea, mendirikan desa-desa Muslim. Beberapa catatan menunjukkan bahwa banyak dari pemukim berasal dari Irak. Catatan lain menunjukkan bahwa sebagian besar dari Syiah faksi Alawi yang menetap di Korea. Selanjutnya yang menunjukkan adanya masyarakat Muslim Timur Tengah di Silla adalah patung-patung wali kerajaan dengan karakteristik khas Persia. Pada akhirnya kemudian banyak muslim yang menikah dengan wanita Korea. Beberapa Asimilasi dengan Buddhisme dan Shamanisme terjadi karena isolasi geografis Korea dari Dunia Islam. Sehingga perlu pendekatan budaya untuk menyebarkan Islam.

Hubungan perdagangan antara dunia Islam dan semenanjung Korea dilanjutkan dengan Kerajaan Goryeo sampai abad ke-15. Akibatnya, sejumlah Timur Tengah menetap di Korea dan mendirikan keluarga di sana. Setidaknya satu klan utama Korea, keluarga Chang keluarga yang bertempat di desa Toksu, mengklaim keturunannya dari keluarga Muslim. Beberapa Muslim Hui dari Cina juga tampaknya telah tinggal di kerajaan Goryeo. Pada 1154, Korea termasuk dalam atlas dunia ahli geografi Arab Muhammad al-Idrisi, Tabula Rogeriana. Bahkan Peta Dunia Korea tertua, Kangnido, mengambil referensi dari Kawasan Barat yaitu dari karya Geografi Islam.

Hubungan sederhana dengan masyarakat Muslim, khususnya Uighur, juga terus terjalin dan semakin dekat. Satu kata untuk Islam dalam Bahasa Korea, hoegyo berasal dari huihe, kata dalam Bahasa Tionghoa tua untuk Uyghur. Selama kekuasaan Mongol di Korea, Mongol sangat bergantung pada Uyghur untuk membantu mereka menjalankan kerajaan besar mereka karena kecakapan Uighur dalam tulis menulis dan berpengalaman dalam mengelola jaringan perdagangan luas. Setidaknya dua orang Uighur menetap di Korea secara permanen dan menjadi nenek moyang dari dua klan Korea.

Salah satu imigran Asia Tengah di Korea awalnya datang ke Korea sebagai asisten seorang putri Mongol yang telah dikirim untuk menikahi Raja Chungnyeol. Dokumen Goryeo mengatakan bahwa nama aslinya adalah Samga. Tetapi, setelah ia memutuskan untuk membuat rumah permanen di Korea, Raja menganugerahinya nama Korea, Jang Sunnyong. Jang menikah dengan seorang Korea dan menjadi nenek moyang pendiri klan Deoksu Jang. Klannya menghasilkan banyak pejabat tinggi dan cendekiawan Konfusianisme yang dihormati selama berabad-abad. Dua puluh lima generasi kemudian, sekitar 30.000 warga Korea, melihat kembali ke belakang, dan menemukan Jang Sunnyong sebagai kakek dari klan mereka. Mereka sadar bahwa ia bukan penduduk asli Korea. Banyak yang percaya bahwa ia adalah seorang Muslim Arab. Namun, tidak ada bukti pengaruh Islam pada tradisi keluarga Deoksu Jang. Hal yang sama juga terjadi pada keturunan Asia Tengah lain yang tinggal di Korea. Seorang Asia Tengah (mungkin Uighur) bernama Seol Son melarikan diri ke Korea ketika Pemberontakan Serban Merah meletus menjelang akhir dari Dinasti Yuan Mongol. Dia juga menikah dengan seorang Korea, berasal dari garis keturunan disebut, Seol Gyeongju mengklaim sedikitnya 2.000 anggota klan tersebut di Korea saat ini tapi tidak menunjukkan tanda-tanda khusus dari pengaruh Muslim.

Pada periode awal Joseon, penanggalan Islam dipakai sebagai dasar untuk kalender karena menurut mererka kalender Islam lebih akuratif di atas kalender Cina yang sudah ada. Terjemahan Korea dari Huihui Lifa, sebuah teks yang menggabungkanastronomi China dengan astronomi Islam dipelajari di Korea di bawah Dinasti Joseon di masa Sejong Yang Agung pada abad ke-15. Tradisi astronomi Cina-Islam ini bertahan di Korea sampai awal abad ke-19.

Namun, karena isolasi politik dan geografis Korea selama periode Joseon, Islam harus menghilang di Korea. Namun dapat diperkenalkan kembali pada abad ke-20. Hal ini diyakini bahwa banyak praktik-praktik keagamaan dan ajaran yang tidak dapat bertahan. Namun, pada abad ke-19, pemukim Korea di Manchuria melakukan kontak kembali dengan Islam dan diduga menjadi Muslim Korea pertama pada zaman modern.

Catatan paling awal dari Muslim asli Korea berawal dari abad ke-19, ketika ada sebuah komunitas Muslim di Manchuria. Kelompok ini meliputi keturunan pedagang Asia Tengah yang telah menetap di kota-kota Manchuria. Di sanalah warga Korea asli pertama kali datang untuk menerima Islam sebagai agama mereka. Namun baru setelah Perang Korea, Islam mulai tumbuh secara signifikan di Korea. Islam diperkenalkan ke Korea oleh Brigade Turki yang datang untuk membantu Korea selama perang. Sejak itu, Islam telah terus tumbuh di Korea dan diadopsi oleh kalangan penduduk asli Korea secara signifikan.

Penyebaran Islam oleh Brigade Turki

Selama Perang Korea, Turki mengirim sejumlah besar pasukannya untuk membantu Korea Selatan di bawah perintah PBB, yang disebut Brigade Turki. Selain kontribusi mereka di medan perang, Turki juga membantu dalam misi kemanusiaan, membantu mengoperasikan sekolah selama waktu perang untuk anak yatim korban perang. Tak lama setelah perang, beberapa orang Turki yang bertugas di Korea Selatan sebagai pasukan penjaga perdamaian PBB mulai mengajar di Korea tentang Islam. Pada mulanya mendirikan Korea Muslim Society pada tahun 1955, pada saat di mana masjid pertama di Korea Selatan didirikan. Korea Muslim Society tumbuh cukup besar dan kemudian menjadi Korea Muslim  Federation pada tahun 1967.

Islam di Korea Saat Ini

Pada tahun 1962, pemerintah Malaysia menawarkan hibah sebesar US$ 33.000 untuk sebuah masjid yang akan dibangun di Seoul. Namun, rencana itu gagal karena inflasi. Tidak sampai 1970-an, ketika hubungan ekonomi Korea Selatan dengan banyak negara Timur Tengah menonjol, menunjukkan bahwa minat terhadap Islam mulai bangkit kembali. Beberapa warga Korea yang berkerja di Arab Saudi masuk Islam, ketika mereka menyelesaikan masa tugas kerja mereka dan kembali ke Korea, mereka didukung sejumlah Muslim penduduk asli. Masjid Pusat Seoul akhirnya dibangun di Seoul lingkungan Itaewon pada tahun 1976 yang berdiri di atas sebidang tanah seluas 1.500 m2 yang disumbangkan oleh President Park Jung Hee, penguasa Korsel waktu itu. Saat ini ada juga masjid di Busan, Anyang, Gwangju,Jeonju dan Daegu. Menurut Lee Hee-Soo (Yi Hui-su), Presiden Korea Islam Institute, ada sekitar 40.000 Muslim yang terdaftar di Korea Selatan, dan sekitar 10.000 diperkirakan penganut yang sangat aktif.

Korea Muslim Federation (KMF) mengatakan akan membuka Sekolah Dasar Islam pertama bernama SD Pangeran Sultan Bin Abdul Aziz pada Maret 2009 dengan tujuan membantu Muslim di Korea belajar tentang agama mereka melalui kurikulum sekolah resmi. Rencana sedang dilakukan untuk membuka sebuah pusat budaya, sekolah menengah dan bahkan universitas. Abdullah Al-Aifan, Duta Besar Arab Saudi di Seoul, menyerahkan $500.000 untuk KMF atas nama pemerintah Arab Saudi.

Jauh sebelum dibentuknya sekolah formal berupa SD, sebuah madrasah bernama Madrasah Sultan Bin Abdul Aziz, telah berfungsi sejak tahun 1990 dan di situlah anak-anak diberi kesempatan untuk belajar bahasa Arab, budaya Islam, dan Inggris.

Sebagaimana Muslim lainnya di dunia, Muslim Korsel juga menjalankan ibadah haji ke Makkah. Jamaah haji pertama dipimpin oleh Haji Subri Seo Jung Gil pada 1960. tahun 1970-an jumlah jamaah haji terbesar berjumlah 130 pada 1978 dan 104 orang pada 1979.

Banyak Muslim Korea yang mengatakan gaya hidup mereka yang berbeda membuat mereka lebih berat dalam menjalani hidup. Gaya Hidup berbeda, Modernitas, susahnya menjaga pergaulan, dan langkahnya makanan halal juga menjadi masalah serius mereka. Namun, kekhawatiran terbesar mereka adalah prasangka yang mereka rasakan setelah Serangan 11 September pada tahun 2001. Namun perlahan Islam diterima dengan baik. Prasangka itu perlahan hilang bersamaan dengan kenyataan prilaku umat Islam Korea yang santun dan damai. Bahkan sejak tuduhan terorisme pada mereka meningkat, malah banyak dari penduduk Korea yang mempunyai keingintahuan tinggi terhadap Islam. Sehingga membuat mereka mengenal Islam bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin bukan agama terorisme.