ilustrasi difabel. sumber: puslapdik.kemdikbud.go.id

Tak sedikit jumlahnya komunitas atau kelompok sosial yang menjadi korban ekslusi sosial. Stigma, marginalisasi, subordinasi, tidak diakui kewargaannya merupakan contoh sedikit dari ekslusi sosial tersebut. Hal ini didera oleh kelompok-kelompok tertentu katakanlah organisasi atau komunitas terlarang karena ideologi, perbedaan orientasi seksual bahkan kecacatan. Kelompok-kelompok ini tentunya akan merasakan subordinasi atau pemiskinan oleh suatu sistem (negara).

Pada tahun 2017 lalu, Lisa Cameron dan Diana Contreas (2017) dalam penelitiannya tentang disabilitas di Indonesia mengatakan bahwa terdapat 10 juta jiwa yang mengalami beragam kecacatan. Angka tersebut diperkirakan sejumlah 4,3 persen dari jumlah penduduk Indonesia pada waktu itu. Secara lebih dalam, mereka menganalisa dampak kultural terhafap penyandang disabilitas di Indonesia. Baginya, penyandang disabilitas akan menjadi korban atas pemiskinan yang tersistem oleh negara. Bahkan ia juga menyebut jika disabilitas juga akan memengaruhi individu di sekitarnya seperti keluarga. Dalam hal ini, keluarga mengalami diskriminasi, subordinasi, dikucilkan dan menerima banyak stigma dari masyarakat.

Pada sektor lain pun disabilitas juga dirugikan secara sistematis. Misalnya, belum terpenuhinya fasilitas publik yang ramah bagi penyandang disabilitas, regulasi bagi tenaga kerja yang belum ramah, dan rendahnya kualitas pendidikan bagi penyandang disabilitas. Bahkan rata-rata penyandan disabilitas hanya mengenyam pendidikan selama 4,4 tahun berbeda dengan kalangan tanpa cacat yang dapat berada pada 6,5 tahun.

Disabilitas: Diskriminasi Berawal dari Istilah

Disabilitas bukan sekadar identitas yang dialamatkan pada individu atau kelompok yang memiliki kekurangan. Namun lebih dari itu, sebelum abad 19 M untuk merujuk pada individu atau kelompok yang memiliki kekurangan istilah disabilitas belum digunakan. Pada waktu itu istilah yang digunakan ialah affiction (penderitaan). Tentunya istilah tersebut memiliki makna yang negatif, seakan-akan menuju pada suasana atau kondisi yang tidak mengenakkan dan jauh dari kebahagiaan.

Selanjutnya, pada tahun 1976, WHO melalui International Classification of Diseases memasukan affiction (penderitaan/disabilitas) sebagai konsekuensi atas penyakit. Lantas 5 tahun kemudian diterbitkan International Classification of Impairment, Disabilities, and Handicaps (ICIDH) yang mendefiniskan secara rigid apa itu disabilitas.

Majalah Tebuireng

Dalam naskah tersebut didefinisikan bahwa disabilitas merupakan keterbatasan atau kekurangan kemampuan untuk melakukan aktivitas sebagaimana orang pada umumnya. Selain disabilitas, dalam naskah tersebut juga diiringi dengan definisi impairment dan handicap.

Namun bukannya menghasilkan napas segar bagi penyandang disabilitas, dengan definisi seperti yang dipaparkan di atas justru semakin membuahkan sitgma negatif yang kuat. Dengan gentar, para aktivis disabilitas menyerukan demonstrasi terhadap definisi yang disahkan oleh WHO tersebut.

Pasalnya, definisi yang dilontarkan oleh WHO tersebut belum memandang dimensi sosial terhadap penyandang disabilitas. WHO pun merevisi ICIDH menjadi ICIDH-2 dengan menyertakan biopsychososial yang mana turut memasukan faktor penentu lain selain fisik dan psikologis untuk mengidentifikasikan seorang penyandang disabilitas.

Di Indonesia sendiri perhatian mengenai disabilitas sudah tercerahkan sebut saja Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang mengatur tentang hak asasi penyandang disabilitas, UU No 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas dan Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 2018 tentang Penyandang Disabilitas.

Disabilitas dalam Pandangan Islam

Allah SWT menciptakan mahkluk secara beragam dan memiliki keuinikan masing-masing. DIbalik keragaman dan keunikannya masing-masing tentunya tersirat hikmah yang terkandung di dalamnya.

Manusia, sebagai mahkluk pilihan Allah SWT pun demikian, keragaman tidak hanya terletak pada kepribadiannya saja namun juga bentuk, sifat, kemampuan dan lain sebagainya. Mengutip Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya at-Tafsir al-Munir dengan merujuk pada surat az-Zukhruf ayat 32 dikatakan bahwa hikmah dari keragaman ini ialah keniscayaan tolong menolong diantara mereka dan sebab kehidupan mereka akan mengakibatkan kehidupan sebagian yang lain (az-Zuhaili, 1997).

Namun secara tegas terdapat ayat lain yang cukup tegas menerangkan bahwa keragamaan ini tidak dapat diterima begitu saja sebagai identifikasi kemuliaan manusia secara hierarkis. Pada surat al-Hujurat ayat 13 diserukan bahwa kemuliaan suatu manusia bukan berpijak dari kemampuan, stasus sosial dan variabel duniawi lainnya melainkan dilihat dari ketaqwaannya kepada Allah SWT. Sehingga di sini diketahui bahwa disabilitas tidak dapat diartikan tidak mulia dan lebih rendah dari manusia yang tidak cacat.

Fiqh Ramah Disabilitas: Menuju Masyarakat Muslim yang Inklusif

Fiqh sebagai yurisprudensi Islam mengatur berbagai lini kehidupan manusia entah yang bersifat ibadah mahdah maupun ibadah ghairu mahdah. Dalam konteks ini tentunya fiqh menjadikan manusia sebagai subyek dan objek kajian. Sebagai subjek artinya manusia melakukan perumusan aturan-aturan peribadatan manusia. Sedangkan sebagai objek diketahui bahwa manusia perlu untuk menaati aturan-aturan yang telah disahkan oleh fuqaha yang dijadikan pedoman manusia dalam kehidupan keseharian.

Penyandang disabilitas pun menjadi salah satu concern para fuqaha demi terciptanya masyarakat Islam yang inklusif. Dalam berbagai literatur fiqh ditemukan beragam istilah yang merujuk para penyandang disabilitas sebut saja syalal (kelumpuhan) yang berarti ketidakberfungsiannya atau kerusakan organ tubuh, al-a`ma (difabel netra) al-a`raj (difabel daksa kaki), al-aqtha` (difabel daksa kaki).

Islam sebagai agama tentunya mengakomodir umatnya dalam peribadatan. Dalam hal ini, penyandang disabilitas memiliki berbagai kemudahan dalam menjalankan aturan-aturan agama. Bukan tanpa dasar, hal ini dapat dilacak dalam surat al-Baqarah ayat 185 yang berseru bahwa Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

Fiqh selain sebagai peraturan legal-formal juga memuat nilai etik, moral dan kebijaksaan. Dimana para fuqaha telah merumuskan beragam kaidah fikih yang dapat digunakan umat ketika menghadapi situasi-situasi tertentu. Misalnya kaidah fiqh yang dirumuskan oleh Jalaluddin as-Suyutuhi yang berbunyi “Bahaya itu (harus) dihilangkan”, “mencegah kerusakan harus lebih utama daripada mengambil kemaslahatan”.

Secara mendasar penyandang disabilitas tetap dibebani kewajiban untuk melakukan peribadatan selama akal mereka masih berfungsi dengan baik, namun mereka memiliki keistimewaan dalam menjalankannya. Keistimewaan ini mengimplikasikan kewajiban beribadah sesuai dengan kondisi dan kemampuan penyandang disabilitas dengan tanpa mengurangi keutamaan ibadah sedikit pun.

Baca Juga: Teladan Para Sahabat Penyandang Disabilitas

Ditulis oleh Satrio Dwi Haryono, Santri Pondok Ngeboran, Boyolali