Seri Kiprah KH. Hasyim Asy’ari #23

Oleh: M. Abror Rosyidin*

Sebelumnya penulis sudah pernah membahas soal indikator rumah tangga “sakinah” yang ditulis oleh Kiai Hasyim dalam kitab Dhau’u al Mishbah fi Bayani Ahkam an Nikah. Lengkapnya pembaca dapat membeli kitabnya dan membacanya. Jika tak paham dengan Arabnya, bisa pula membeli terjemahnya yang sudah diterbitkan oleh Pustaka Tebuireng. 

Penulis melanjutkan pembahasan dengan mengutip satu cerita menarik dari Almarhum Gus Zaki Hadzik, kepada penulis duduk berdua di ruang tamu rumah beliau pada 2017 silam. Saat itu, penulis masih-masih ruwet-ruwetnya mengerjakan skripsi, dan beliaulah salah satu yang cukup berjasa membantu proses itu berlalu dengan lancar. 

Penulis betul-betul ingat, cerita salah satu cucu Kiai Hasyim itu. Gus Zaki memang mengakui bahwa dalam kitab itu tidak tertera secara eksplisit mengenai rumah tangga sakinah melainkan Kiai Hasyim memberikan klu dan indikator bahwa untuk menuju keluarga sakinah, maka harus mengikuti syarat, rukun, ketentuan, hukum, anjuran yang digariskan oleh agama, termasuk juga panduan memilih istri yang baik dan mengetahui hak dan kewajiban masing-masing yang tertera dalam kitab Dhau’u al-Mishbah fi Bayani Ahkam an-Nikah. 

Majalah Tebuireng

Gus Zaki menganggap jika ingin mengkaji kitab itu, maka harus juga mengkaji kehidupan sehari-hari Kiai Hasyim, terutama hubungannya dengan keluarga. Gus Zaki mengungkapkan ada satu hadits yang menjadi pedoman Hadratussyaikh dalam menjalani kehidupan, yaitu:

  أَرْبَعٌ مِنْ سَعَادَةِ اْلمَرْءِ أَنْ تَكُوْنَ زَوْجَتُهُ صَالِحَةً وَأَوْلاَدُهُ أَبْرَارًا وَخُلَطَائُهُ صًالِحِيْنَ وَأَنْ يَكُوْنَ رِزْقُهُ فِى بَلَدِهِ. (رواه الديلمى)

“Ada empat pilar untuk kebahagiaan seseorang, yaitu istri yang salehah, anak-anak yang baik, pergaulannya dengan orang-orang saleh, dan (mendapatkan) rizkinya di negeri sendiri,” (HR. Dailami).

Dalam hadits tersebut disebutkan yang paling awal adalah suami yang mempunya istri yang salehah, disusul dengan anak-anak yang baik. Jika melihat pada Kiai Hasyim, maka Kiai Hasyim sudah mengamalkannya, karena memilih istri-istri yang baik dan mempunya anak-anak yang baik-baik. 

Beliau juga bergaul dengan orang-orang saleh, yaitu para ulama, kiai, dan majlisnya juga majlis ilmu dan perjuangan. Putra-putrinya juga dididik dengan pendidikan yang baik dan ditempatkan di sekitar Pesantren Tebuireng, supaya tidak jauh dari orang-orang saleh.

Beliau juga tidak pernah bepergian jauh dalam waktu yang lama, sebab sumber penghidupannya ada di sekitar Tebuireng saja.  Keempat poin di atas, menurut Gus Zaki adalah pilar-pilar kehidupan rumah tangga sakinah yang penuh mawaddah dan rahmah.

Pola hidupnya tidak jauh dari bagaimana membentuk keluarga yang sakinah, karena kehidupannya ada dalam batasan-batasan agama, khususnya melalui hadits Rasulullah SAW.

Kiai Hasyim juga menganut konsep integrasi ta’abud dan ta’allum, beribadah dan belajar. Konsep Integrasi dua hal ini, disadari betul oleh Gus Zaki tertera dan tercermin dalam doa yang sering dibaca oleh Kiai Hasyim setiap hari.

Doa itu berbunyi:

اللّهُمَّ اجْعَلْنَا وَ أَوْلَادَنَا وَ أَهْلَنَا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَ أَهْلِ الْخَيْرِ وَ لَا تَجْعَلْنَا وَ إِيَّاهُمْ مِنْ أَهْلِ الشَّرِّ وَ الضَّيْرِ

“Ya Allah, jadikanlah kami, anak-anak kami dan keluarga kami menjadi ahli ilmu dan ahli kebaikan, dan jangan jadikan kami dan mereka menjadi ahli keburukan dan kebahayaan”.

Dalam doa itu termuat konsep integrasi antara ilmu dan ibadah, belajar dan menghamba. Kita meminta agar diberikan anak dan keluarga yang menjadi ahli ilmu dan ahli khair (kebaikan).

Ahli khair ini merupakan ringkasan dari orang-orang yang menghambakan diri kepada Allah. Penghambaan ini bisa dilihat dari sisi ubudiyah mahdhah (shalat, puasa, zakat, haji, dll), juga dilihat dari ubudiyah sosial, bagaimana dapat bermuamalah (bergaul) dengan baik dengan sesama. 

Integrasi antara belajar dan beribadah ini nampaknya sangat tercermin dalam kehidupan keseharian beliau. Rajinnya beliau dalam menuntut ilmu merupakan indikator utamanya, ditambah lagi beliau sangat suka dengan majlis ilmu, mengkaji ilmu bersama para santri, dan tidak ingin meninggalkan kegiatan belajar mengajar di Tebuireng. 

Namun, beliau juga ada waktu-waktu khusus yang memang dipakai untuk beribadah, baik itu ibadah langsung kepada Allah, seperti puasa sunnah, shalat tepat waktu dan jamaah, dzikir, wirid, sholawat, dan bahkan memberikan ijazah-ijazah amalan-amalan kepada para santri, maupun, ibadah sosial seperti bersedekah, bekerja, memberikan upah yang adil kepada pekerja-pekerja beliau, berlaku jujur, berakhlak baik, dan lain sebagainya. 

Pembahasan soal rincian itu, sudah lewat pada seri-seri sebelumnya, tercermin dalam kehidupan beliau. Tidak heran, doa itu menjadi harapan beliau bagi masa depan generasi penerus beliau, baik itu generasi biologis beliau, yaitu putra-putri beliau, maupun generasi ideologis beliau, yaitu para santri beliau.

Kita lihat saja, putra-putri beliau sangatlah hebat dan mumpuni dalam bidang masing-masing, banyak di antara mereka dapat mengawinkan ta’allum (ilmu pengetahuan) dan ta’abbud (spiritualitas).

Almarhum Kiai Wahid Hasyim misalnya, yang tidak diragukan keilmuannya, perannya, dan kiprahnya. Tapi Kiai Wahid juga merupakan pribadi yang senang beribadah, dan bersosial tinggi.

Gus Dur apalagi, doyan sekali ziarah, sowan kepada para kiai, dan tingkat spritualitasnya sangat tinggi, bahkan ada yang menyebutnya wali. Tapi, dalam tataran keilmuan, jangan ditanya, walau tidak ada gelar akademis yang didapat, Gus Dur adalah contoh kecerdasan tak perlu bergelar. Jiwa sosialnya juga tinggi, apalagi kalau sudah berhubungan dengan kemanusiaan. Wafatpun dijuluki Bapak Kemanusiaan. 

Almarhum Gus Sholah, juga demikian, setiap malam shalat tahajud, wirid rutin dan rajin, tapi masyaallah, kehidupan sosial beliau juga sangat tinggi, saling berbagi, tanpa berkabar sering beramal, dan begitulah selama hidup.

Tak hanya contoh dzurriyah pria, yang perempuan pun ada yang sangat hebat, missal Nyai Khoiriyah Hasyim, perempuan tangguh mendobrak zaman. Peserta bahtsul masail pertama dari kaum wanita, serta mendirikan madrasah pertama bagi perempuan di tanah Haramain.

Namun, selain itu, juga menjadi Bu Nyai dan memimpin pesantren putri yang disokong sang Ayah, Pesantren Seblak.  Ketercerminan keluarga Hasyim dapat dilihat dengan baik, integrasi antara ilmu pengetahuan dan spiritual.

Tapi penulis ini bicara secara global ya. Jadi sisi kemanusiaan dari setiap orang, wali sekalipun tentu ada. Dan itu bukanlah fokus pembahasan dalam tulisan ini. Penulis fokus pada bagaimana Kiai Hasyim mendidik putra-putrinya untuk seimbang dalam dunia-akhiratnya.

Tak hanya dari segi usaha fisiknya saja, tapi harapan itu tertuang dalam huruf perhuruf doa yang beliau udarakan bersama nafas munajatnya kepad Sang Khalik. Sebagaimana doa yang disebutkan Gus Zaki di atas. 

Dari situ, sisi menariknya adalah, dalam membina rumah tangga sakinah harus dapat membentuk iklim keluarga yang senang beribadah dan mencari ilmu, sehingga dapat membentuk anak-anak yang menjadi generasi berilmu luas, rajin beribadah, dan ahli kebaikan (berakhlak mulia).

Rumah tangga sakinah, sangatlah luas cakupannya, tidak hanya anak baik, rezeki lancar, dan tenang-tenang aja, tapi ya harus ada jiwa petarungnya, harus ada sisi menantangnya, dan ketegasan dalam memutuskan perkara. Dan menurut Gus Zaki hal itu semua sudah diterapkan oleh Kiai Hasyim dalam kehidupannya. Wallahua’lam bishawab.

#Wawancara dengan Gus Zaki Hadzik, pada 2017 silam di Ndalem beliau, di Pondok Putri al Masruriyah Tebuireng.

*Penulis adalah salah satu Tim Pusat Kajian Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari.

[fb_plugin comments width=”100%”]