Oleh: Almara Sukma Prasintia*

Pernikahan adalah momen yang paling ditunggu-tunggu oleh semua orang. Dalam Islam menikah merupakan sunnah, bahkan untuk menyempurnakan separuh agama. Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin mengatakan:

وقال صلى الله عليه وسلم من تزوج فقد أحرز شطر دينه فليتق الله في الشطر الثاني وهذا أيضا إشارة إلى أن فضيلته لأجل التحرز من المخالفة تحصنا من الفساد فكأن المفسد لدين المرء في الأغلب فرجه وبطنه وقد كفى بالتزويج أحدهما

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “ Siapa yang menikah, berarti melindungi setengah agamanya. Karena itu bertaqwalah kepada Allah untuk setengah agamanya yang kedua.” Ini merupakan isyarat tentang keutamaan nikah, yaitu dalam rangka melindungi diri dari penyimpangan, agar terhindar dari kerusakan. Karena yang merusak agama manusia umumnya adalah kemaluannya dan perutnya. Dengan menikah, maka salah satu telah terpenuhi. (Ihya ‘Ulumiddin, 2/22)

Khitbah (lamaran) merupakan salah satu kesunnahan sebelum melaksanakan acara pernikahan. Khitbah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah peminangan kepada wanita untuk dijadikan istri. Khitbah secara umum adalah prosesi lamaran di mana pihak keluarga calon mempelai laki-laki mengunjungi kediaman calon mempelai perempuan. Dalam pertemuan tersebut, pihak mempelai laki-laki akan mengutarakan permintaannya untuk mengajak sang mempelai perempuan berumah tangga.

Majalah Tebuireng

Pernyataan tersebut boleh disampaikan langsung oleh laki-laki yang akan mengkhitbah atau perwakilan dari orang yang dipercaya.  Khitbah sendiri harus dijawab “Ya” atau “Tidak”. Jika sang mempelai perempuan mengiyakan, maka dirinya disebut sebagai makhthubah, atau perempuan yang telah resmi dilamar. Dengan demikian, dia tidak diperkenankan untuk menerima lamaran dari laki-laki lain.

Namun dikarenakan adanya suatu sebab tertentu, tidak jarang hubungan terpaksa diputuskan sebelum terjadinya akad pernikahan baik dari pihak laki-laki ataupun pihak perempuan. Lantas, apakah hukumnya membatalkan khitbah tersebut?

Dalam permasalahan ini, perlu dipahami bahwa khitbah bukanlah suatu perkara yang mengikat karena khitbah merupakan ungkapan permintaan bukan ungkapan akad pernikahan. Imam Al Buhuti menjelaskan dalam Kitab Kasyaf Al Qana terkait hal demikian:

( وَلاَ يُكْرَهُ لِلْوَلِيِّ ) الْمُجْبِرِ الرُّجُوْعُ عَنِ اْلإِجَابَةِ لِغَرَضٍ ( وَلاَ ) يُكْرَهُ ( لِلْمَرْأَةِ ) غَيْرَ الْمُجْبَرَةِ ( الرُّجُوْعُ عَنْ اْلإِجَابَةِ لِغَرَضٍ) صَحِيْحٍ ِلأَنَّهُ عَقْدُ عُمْرٍ يَدُوْمُ الضَّرَرُ فِيْهِ فَكَانَ لَهَا اْلاحْتِيَاطُ لِنَفْسِهَا وَالنَّظَرُ فِيْ حَظِّهَا وَالْوَلِيُّ قَائِمٌ مَقَامَهَا فِيْ ذَلِكَ (وَبِلاَ غَرَضٍ ) صَحِيْحٍ ( يُكْرَهُ ) الرُّجُوْعُ مِنْهُ وَمِنْهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ إخْلاَفِ الْوَعْدِ وَالرُّجُوْعِ عَنِ الْقَوْلِ وَلَمْ يَحْرُمْ ِلأَنَّ الْحَقَّ بَعْدُ لَمْ يَلْزَمْ

“Tidak dimakruhkan bagi pihak wali yang memiliki kuasa atas perempuan untuk menarik kembali lamaran yang sudah disetujui sebab sebuah tujuan. Tidak pula dimakruhkan bagi perempuan yang independen. Keduanya itu jika dengan tujuan yang dibenarkan. Sebab pernikahan merupakan ikatan berkelanjutan yang dampaknya akan dirasakan selamanya. Maka seorang perempuan atau wali bisa lebih berhati-hati dalam mempertimbangkannya. Dan bila tanpa adanya tujuan yang dibenarkan, maka dimakruhkan menarik kembali dari lamaran yang sudah disetujui. Sebab hal ini termasuk bentuk pengingkaran terhadap janji ataupun menarik kembali kata-kata yang telah terucap. Namun tidak sampai mencapai taraf haram, sebab hak yang ada dalam lamaran yang telah disetujui itu bukanlah hak yang mengikat.” (Kasyaf Al Qana’, V/20)

Dari pernyataan di atas, dapat diperinci bahwa hukum membatalkan khitbah apabila ada alasan yang dapat dibenarkan maka hukum membatalkannya tidak makruh. Apabila tidak ada alasan yang dapat dibenarkan maka hukum membatalkannya makruh karena termasuk mengingkari kesepakatan. Dalam hal ini tidak ada hukum haram karena khitbah bukanlah hal yang mengikat.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari