Oleh: Quratul Adawiyah*

Di tengah arus radikalisme yang semakin menguat, nilai-nilai yang terkandung di dalam Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) menjadi signifikan untuk dimunculkan dan diaktualisasikan. Nilai-nilai Aswaja dapat dijadikan sebagai counter untuk membendung arus radikalisme. Melalui rekonstruksi nilai-nilai Aswaja yang kemudian disosialisasikan secara masif. Salah satunya melalui jalur pendidikan,diharapkan dapat memberikan pemahaman masyarakat terhadap signifikansi ajaran Islam yang moderat.

Islam sesungguhnya tidak identik dengan kekerasan. Cara-cara damai yang membuat Islam bisa hadir dan menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan Indonesia selama ratusan tahun. Karena itulah ajaran Aswaja tidak setuju dengan ajaran-ajaran akidah yang dimiliki oleh kelompok-kelompok Islam radikal. Aswaja tidak setuju dengan respons dan penyelesaian persoalan melalui jalan kekerasan, pemaksaan, apalagi dengan perusakan. Aswaja juga menolak  terhadap eksistensi kelompok-kelompok yang menutup diri dari golongan mayoritas kaum muslimin. Pengalaman sejarah Islam Indonesia yang mengedepankan interaksi sosial yang harmonis penting untuk diperhatikan agar masa depan Islam Indonesia tidak terpuruk dalam konflik.

Rekonstruksi Aswaja menjadi penting dilakukan karena tuntutan transformasi kehidupan yang semakin cepat. Tanpa melakukan rekonstruksi dikhawatirkan Aswaja akan kehilangan relevansi dan aktualitas. Lebih jauh, umat Islam khususnya generasi muda tidak lagi mengenal ajaran Islam moderat sebagaimana yang diusung Aswaja. Tidak tertutup kemungkinan mereka justru menjadi pengikut dan aktivis gerakan Islam radikal. Paradigma pemikiran Aswaja bertumpu pada sumber ajaran Islam: Al-Quran, al-Sunnah, al-Ijmā’, dan qiyās.  

Sementara pada tataran praktik, umat islam yang menganut Aswaja mengikuti produk pemikiran ulama di masa lalu. Ada tiga pilar inti yang menandai karakteristik Aswaja, yaitu mengikuti paham al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam bidang teologi, mengikuti salah satu dari empat imam mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) dalam bidang fikih, dan mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali dalam bidang tasawuf. Selain tiga pilar inti, Aswaja juga memiliki nilai-nilai yang menarik.

Majalah Tebuireng

Nilai-nilai tersebut, yang pertama adalah tawassuṭ (moderat). Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia, moderat memiliki dua arti, yaitu: (1) selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem; (2) berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah. Pemikiran moderat penting karena dapat direkonstruksi untuk menjadi spirit perdamaian. Moderat menjadi modal penting untuk mengakomodasi berbagai kepentingan yang ada dan mencari solusi terbaik atas pertentangan yang terjadi.

Kedua, tawāzun (berimbang). Berimbang yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil untuk menghasilkan sebuah keputusan yang bijak. Tawāzun (berimbang) ini merupakan manifestasi dari sikap keberagamaanyang menghindari sikap ekstrem. Kelompok radikal disebut sebagai kelompok ekstrem karena kurang menghargai terhadap perbedaan pendapat dan tidak mengakomodasi ‘kekayaan khazanah kehidupan.

Ketiga, toleransi (tasāmuḥ) yang sangat besar terhadap pluralisme pikiran. Berbagai pikiran yang tumbuh dalam masyarakat Muslim mendapatkan pengakuan yang apresiatif. Keterbukaan yang demikian lebar untuk menerima berbagai pendapat menjadikan Aswaja memiliki kemampuan untuk meredam berbagai konflik internal umat Islam.

Corak ini sangat tampak dalam wacana pemikiran hukum Islam. Wacana hukum Islam oleh banyak ahli dinilai sebagai wacana pemikiran keislaman yang paling realistik dan paling banyak menyentuh aspek relasi sosial. Dalam sosial budaya, Aswaja banyak melakukan toleransi terhadap tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan tetap berusaha untuk mengarahkannya.

Formalisme dalam aspek-aspek kebudayaan dalam Aswaja tidaklah memiliki signifikansi yang kuat. Sikap toleran Aswaja telah memberikan makna khusus dalam hubungannya dengan dimensi kemanusiaan yang luas dengan nilai-nilai tersebut, Islam menjadi agama yang mampu berdialektika secara dinamis dengan budaya lokal.


Disarikan dari buku Ajaran Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama karya Masyhudi Muchtar, dkk.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari